Rabu, 30 Desember 2009

Selamat Jalan Kawan

Detik jarum jam menyadarkanku akan malam yang terus merayap larut. Sunyi dan dingin, gagal mengusikku dari ketermenungan dan lamunan panjang. Ada gundah, yang membuat mata ini terus ingin terjaga. Sebuah duka yang turut membekas begitu dalam demi kisah seorang kawan.....

Sore tadi, kabar itu sampai di telinga ini. Hidup memanglah sebuah misteri Illahi. Setiap jiwa, tak kan pernah tahu kapan ‘pemiliknya’ berniat untuk memperpanjang kontrak hidup, atau memutuskan untuk mengakhirinya saat itu juga. Tiba – tiba. Mungkin itu yang membuat rasa sakit dan sulit menerima ini jadi begitu berlebih. Memang tak seharusnya dan sepantasnya, sesosok manusia yang merupakan lakon dari Sang Sutradara Hidup berkata “Kenapa” atau “Mengapa” atas semua yang telah menjadi kehendak-Nya. Namun kisah ini, kembali ajarkanku tentang betapa lemahnya hati makhluk Allah yang bernama manusia. Yang masih begitu sering mengkufuri nikmat, angkuh terhadap puja dan puji dunia, merasa lebih dari yang lain, dan kesombongan – kesombongan lain karena merasa dirinya merupakan makhluk yang paling mulia. Hingga nyatanya, merekapun tetap menangis dan berkubang dalam sedih saat harus kehilangan....

Kisah ini kembali membuka mata hatiku, bahwa tak ada yang berhak memproklamirkan apapun dan siapapun yang ia sayangi adalah miliknya. Harta, kuasa, keluarga, bukankah semuanya pun hanya singgah sementara? Harta bisa saja lenyap dalam seketika karna keserakahan. Kuasa pun bisa kapan saja luntur karna kedzoliman. Dan keluarga terkasih pun, bisa pergi begitu saja karna takdir-Nya.
Sungguh, tak ada yang abadi. Dialah pemilik mutlak segala apa yang ada di semesta ini.

alladziina idzaa ashobathum musibatun qoolu innalillahi wa innailaihi roojiuun....
Semua telah terekam jelas di Lauhul Mahfudz. Hari, jam, menit, detiknya. Dan tak ada kuasa sesuatu apapun yang mampu melawannya. Terus meratap dan menyesali yang tlah berlalu, tak akan mengembalikan “ia” yang pergi. Jalan terbaik adalah sabar dan mengikhlaskan, karna Sang Khaliq selalu memiliki rencana terindah dan terbaik.

Selamat jalan kawan... semoga Allah mengampuni segala dosa dan menerima semua amalmu semasa di dunia... Ikhlaskan semua yang kau cinta, titipkan pada-Nya. Karna Dia lah sebaik – baik penjaga.

*Tuk seorang sahabat, ikhlas dan bersabarlah tuk terus melangkah. Bumi akan terus berputar, dan hari pun tak kan berhenti di sini. Jangan berlarut dalam sedih. Percayalah bahwa Allah telah menyiapkan yang terbaik dan akan selalu melimpahkan cinta-Nya bagi hamba yang bersabar. Jangan pernah takut dan ragu, karna kau tak sendiri saudariku..... Kami pun sangat menyayangimu.......



Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.



إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10).

Senin, 07 Desember 2009

Tanahku

Langit hari ini, semendung hatiku. Deru mesin kendaraan bermotor yang biasanya begitu kunikmati, kini terasa sangat mengganggu. Belum lagi, udara yang terasa begitu sesak oleh sampah - sampah knalpot mereka. Hitam... bau... batuk - batuk.........!

Aku butuh kosong... butuh tenang.... butuh sunyi.... ke mana aku harus mencarinya? Kota kelahiran semasa aku masih bermain betengan yang dulu begitu bersahabat, kini benar - benar berubah. Gedung - gedung megah di mana - mana, lampu jalanan juga semakin semarak di malam hari, tak beda dengan keadaan ibu kota seperti yang kulihat di televisi.

Aku belum mengenal betul seperti apa ibu kota. Sekali pun, aku juga belum pernah menginjakkan kaki di sana.
"Jangan Nduk, jangan di Jakarta...", terekam betul wanti2 bapak saat sebuah perusahaan di sana memanggilku untuk sebuah interview kerja.

Beberapa rekan yang hingga kini bertahan dan mengadu nasib di sana, sedikit banyak memberiku gambaran, apa dan siapa Jakarta. Bukan hanya Monas, Ancol, Taman Mini.... dan tempat - tempat hiburan lainnya yang begitu sering aku impikan sewaktu masih kecil.

"Banyak kemunafikan di sana..., tak ada kawan dan lawan.. kalo bisa semua sama..."

"Pagi - pagi mu disambut dengan bau2an sedap dari got - got depan kontrakan yang meluber.."

"Tak usah tanya... berapa lama kau habiskan waktumu di jalan, di tengah kemacetan ibu kota...."

Masih banyak serangkai kisah yang mereka bagikan untukku. Dan sepertinya ber-inti satu... "Gak perlu jauh2 ke Jakarta...."

Tak ada yang mengingkari, begitu mudahnya mencari pundi - pundi emas di sana. Lahan begitu terbuka, bagi mereka yang mau berusaha walau hanya bermodal sedikit ilmu.
Beberapa sesepuh pun bilang, "Jadi pengamen dan pengemis di sana, dah bisa hidup berkecukupan kok!"

Ah.. Jakarta... Jakarta.... kau benar - benar begitu sering membuatku bertanya - tanya.
Apa yang sebenarnya kau miliki, hingga begitu banyak pemuda - pemuda yang rela meninggalkan desanya untuk mengadu nasib bersamamu. Apa yang kau janjikan pada mereka, hingga mereka rela menempuh ratusan, ribuan, bahkan jutaan kilometer untuk meraihmu. Sekalipun harus direwangi menahan kerinduan, karna terpisah jarak dengan keluarga & orang - orang yang mereka sayangi....

Kau nyaris memonopoli semuanya ibu kota. Apa karna itu... lantas kau disebut ibu kota? Semua terpusat padamu.... Coba, apa yang tak kau punya? Semua bisa kau berikan..layani..dan tawarkan... Tak tertinggal, kebahagiaan dan penderitaan yang juga berjalan seiring dan seimbang di kehidupanmu. Baiklah... kau punya semuanya......

Perubahan, sepertinya memanglah bagian dari kehidupan. Tanah kelahiran yang membentang di hadapanku kini pun, sepertinya mulai menggeliat dan terus bergerak. Usia yang mendewasa, membuatku tak bisa menemukan kampung halamanku yang dulu nyaris seperti kota mati. Tanahku kini riang, tanahku berwarna - warni... tanahku penuh polusi.... tanahku bising......
Ah..aku berharap jangan sampai tanahku mengalami sakit "macet" seperti yang diderita ibu kota. Walau kutahu jelas, beberapa kawan sepermainanku, telah pamer dan adu motor - motor baru milik mereka. Bodohnya, aku pun seakan tak mau ketinggalan.

Kini hanya bisa berimajinasi... tentang apa yang kira - kira akan terjadi pada tanahku ini, 3 hingga 5 tahun lagi....


- repost, demi tanahku yg terus menggeliat -

T_T

"Maaf, jika akhirnya aku menangis........ lagi......"

Rabu, 25 November 2009

Refleksi Sempurna

"Kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan segala kekurangan adalah murni dari saya sebagai seorang manusia biasa..."

Begitu sering kalimat indah itu kudengar di akhir penyampaian sebuah sambutan, ceramah, maupun prakata sebuah buku. Refleksi nyata dan bentuk penekanan akan lemah dan tak berdayanya diri kita, makhluk bernyawa yang bernama manusia. Meskipun jelas, dibanding makhluk Allah yang lain manusialah makhluk yang paling mulia dan tinggi derajatnya, karna anugrah akal dan hati nurani.

Tak ada yang sempurna di dunia ini. Semua unsur memiliki kekurangan dan kelebihan yang nantinya akan saling dilengkapi dengan unsur - unsur yang lain. Tak ada yang mampu berdiri sombong sendirian dengan kesempurnaannya. Apalah kita ini dibanding hamparan kuasa dan kesempurnaan hakiki - Nya.
Lalu masih pantaskah kita saling membanggakan apa yang kita punya ? Mencari dan menonjolkan berbagai cela milik orang lain, supaya diri mendapat banyak harga dan puja.

Nyata....tak ada yang mampu menandingi kuasa semesta oleh Sang Esa....

Selasa, 24 November 2009

Bukan Maya

Ini tentang hati.
yang kemarin menyapamu dengan gemerlap duniawi....

Seakan terlalu banyak kisah tuk ditekuri,
bukan karna terlalu indah.... bukan pula karna tak layak puji....
semata hanya karna waktu yang melindasnya menjadi memori.....

Geliat warna - warni topeng usik lamunan sang peri senja,
mata indahnya mengedip manja, layaknya lakon di panggung opera

Maukah bertaruh denganku?
Pelataran sukma, pastilah inginkan nyata..bukan maya....

Desau angin surga, membawa bisik - gemerisik palung hati jiwa - jiwa yang bertakwa,
ucapnya.....
"Sungguh, cintai aku hanya karna agama dan akhlaq yang melekat padaku,
karna hanya itu yang tak lekang termakan oleh waktu....."

Senin, 26 Oktober 2009

Putra

Bapak dan ibuku sudah meninggal, mbak…. tabrakan di Klakah…” Jawaban yang begitu polos ini meluncur dari bibir bocah itu. Bocah lelaki yang suaranya beberapa menit lalu kudengar menggema memenuhi bus jurusan Surabaya – Banyuwangi yang kutumpangi ini.
Muhammad Syahputra. Itu jawabnya saat kutanya siapa namanya. Dia mungkin satu dari ribuan, bahkan mungkin jutaan seniman – seniman jalanan kecil di negeri ini. Bermodal ‘alat musik’ sederhana, berupa kayu kecil yang di ujungnya tergantung beberapa seng yang dipotong bulat sehingga mampu menghasilkan bunyi – bunyian saat digoyang – goyangkan atau ditepukkan ke telapak tangan, ia bekerja dengan menumpang bus – bus antar kota dari pagi hingga malam hari. Perjuangannya tidak mudah, hidupnya keras, terlihat dari raut wajah kecil dan sorot matanya yang sayu namun tetap tajam. Di usianya yang baru 12 tahun, dia harus bekerja menanggung hidup kakek, nenek, dan seorang adik perempuannya yang masih kecil. Ia yatim piatu, yang hidup bersama sepasang orang tua yang tak mampu bekerja lagi.

Bus terus melaju, semakin kencang menyeruak gelap dan dinginnya malam itu. Semakin ke timur, makin banyak pula penumpang yang turun. Bus kian lengang. Tanggul, tempat tujuan Putra masih sekira 45 menit lagi. Sesekali kulihat dan amati wajah bocah kecil di sampingku. Kepalanya mulai terantuk – antuk, dia pasti sangat lelah.
Tidur aja Put, nanti deket – deket Tanggul mbak bangunin…” Perkataanku disambutnya dengan senyuman dan anggukan kepala.
Aku semakin asyik memandang ke luar jendela. Menelusuri sungai Bondoyudho yang memanjang di sebelah kanan jalan. Sungai yang memiliki aliran cukup unik di setiap pertemuan atau persimpangannya. Ya, seperti air sungai itu. Hidup ini akan terus mengalir bukan ? Di sepanjang alirannya, kita akan dipertemukan dengan banyak sekali kisah. Aliran yang deras ataukah tenang, semuanya tetap akan membawa kita hingga tiba di muara kehidupan dan bertemu lautan hikmah. Putra, adalah setitik dari kisah yang aku temui di sepanjang aliran kehidupanku. Bocah kecil itu, harus merelakan untuk menahan dahaga kasih sayang orang tua terutama ibu di usianya yang masih sangat dini. Belum lagi, roda kehidupan yang terus mengejar dan memaksanya untuk terus berlari lebih dan lebih kencang lagi. Hidup ini benarlah sebuah perjuangan, itu yang diajarkan Putra padaku lewat tatap matanya.

“Kinccrriiinngg…!!!!” Bunyi yang cukup keras, sempat membuat seisi bus yang memang sudah semakin sepi penumpang itu, menatap ke arah kami. Apa yang salah ? Dalam hati aku bergumam. Aku mencoba melihat ke bawah kursi tepat di bawah kaki Putra. Ternyata, senjata sekaligus sahabat yang menemani Putra bekerja setiap hari itu yang terjatuh. Alat musik sederhana dari kayu dan seng. Segera kupungut dan kutengok Putra. Benar saja, dia memang telah terlelap hingga tak sadar barang yang tadi digenggamnya begitu erat, kini terjatuh.
Bus tetap melaju. Tikungan – tikungan yang cukup tajam, tak membuat sang sopir sedikit mengurangi kecepatannya. Tapi kuakui, kau memang sopir yang lihai dan cekatan, pak. Bawa kami dengan selamat hingga tujuan ya…
Bus yang sesekali bermanuver, membuat Putra yang pulas terlelap tiba – tiba terjatuh ke lenganku. Sedikit kubenahi posisi dudukku, agar membuatnya lebih nyaman bersandar dan tak terbangun. Istirahatlah, Put… kutahu kau pasti sangat lelah….
Mendekati daerah Tanggul, aku membangunkannya. Tampak dia begitu kaget dan tergambar rasa tidak enak di wajahnya. Saat menyadari dia telah tertidur bergitu nyenyak dan bersandar di lenganku. Aku tersenyum sambil menepuk pundaknya dan menyerahkan ‘senjata’nya yang terjatuh dan kupungut tadi.

Makasih ya, mbak… Kalo maen ke Tanggul mampir aja ke rumah. Rumahku di belakang pasar. Nanti kalo Mbak keliatan aku ngamen di lampu merah Mangli Jember, panggil aja ya… aku juga kadang ke sana…” dia telah berdiri dan bersiap untuk turun.

InsyaAllah… Ati2 ya, Put… Salam buat mbah dan Siti adekmu. Tetep terus belajar lho, ya…” perkataanku yang terakhir sebelum ia turun sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Mendung tak bergelayut di langit malam itu. Namun tiba – tiba air menetes dari langit hati yang beratapkan haru………


Jember, 9 Agustus 2009

Kamis, 22 Oktober 2009

Untukmu Adinda Kecil....

Dik… kemari sayang…
berlarilah ke dalam pelukku,
kuberjanji tuk hadirkan hangat itu untukmu…

Dik… jangan takut manis…
Tak kan ada yang biarkanmu sendiri,
tuk hadapi hari agar terus berseri…

Dik… janganlah bersedih…
Walau tak kan pernah serupa,
rasa sayang ini kan mengalir untukmu seperti bunda…

Dik… menangislah dalam dekapku…
menangislah selagi kau mampu,
walau sejatinya air mata itu, belumlah kuasa artikan dunia dan hatimu yang mungkin beku

Dik… berjanjilah untuk tak marah…
Tak ada yang pergi meninggalkanmu,
Kau hanya butuh waktu, tuk bisa pahami semua itu…

Cantik… sungguh mata itu terlalu cantik,
Biarlah warna - warni pelangi yang semakin meng-indahkannya
Suci… sungguh hati itu terlampau suci,
Cukuplah lantunan doa dan nyanyian surgawi yang menghiasinya…

Suatu hari nanti, ya.. suatu hari nanti…
Kala kau tlah bisa melangkah dengan hatimu,
Kan kukisahkan tentang seorang wanita kuat dan hebat,
yang tak pernah lelah berjuang demi buah hati dan cintanya…

Suatu masa nanti, Dik… sungguh suatu masa nanti…
kala kau tlah menyapa dunia dengan dewasamu,
kan kuajarkan semua yang ku tahu…
Bahwa dengan berbekal ‘solihah’,
kau mampu iringi perjalanan wanita mulia itu



Percayalah, Dik..
Bunda dengan segenap jiwanya,
mencintaimu…..

Jember, 20 Oktober 2009

Senin, 19 Oktober 2009

Wanita Sholehah

Wanita solehah adalah sebaik2 keindahan
menatapnya menyejukkan qolbu
mendengarkan suaranya menghanyutkan batin
ditinggalkan menambah keyakinan

wanita solehah adalah bidadari surga yang hadir di dunia
wanita solehah adalah ibu dari anak2 yang mulia
wanita solehah adalah istri yang meneguhkan jihad suami
wanita solehah adalah penebar rahmat bagi rumah tangga
cahaya dunia dan akhirat

Perhiasaan yang paling indah bagi seorang abdi Allah
itulah ia wanita solehah
ia menghiasi duniaa...

itulah ia wanita solehah
ia menghiasi duniaa...

Aurat ditutup demi kehormatan
Kitab Al Quran didaulatkan
Suami mereka ditaatinya
walau bertahan di rumah saja

karena iman dan juga islam
telah menjadi keyakinan
jiwa raga mampu dikorbankan
harta kemewahan dilabuhkan

Di dalam kehidupan ini
ia memancarkan kemuliaan
Bagai sekuntum mawar yang tegar
di tengah gelombang kehidupan

Aa' Gym - The Fikr

Kamis, 17 September 2009

Perempuan

Siapapun wanita itu...
sekuat apapun dia....
semandiri apapun keberadaannya.....
sesombong apapun caranya.....
sekeraskepala bagaimanapun dirinya.......
sehebat apapun posisinya.....
segengsi apapun lagaknya.....
sesempit apapun pintu hatinya.....
setegar apapun karang jiwanya.....

"Perempuan tetaplah perempuan....slalu ingin ditinggikan walau sebenang....."


*Thank's for Nagabonar Jadi 2, yang sudah ciptakan senyum dan airmataku dalam satu waktu...

Rabu, 09 September 2009

- Ironi -

Kemarin, katamu kau tak akan pergi,
namun semenit lalu, bayangmu pun sudah tak kutemui...
Baru kemarin, nafasmu sadarkan aku akan sebuah sinergi,
tumpang tindihnya qalbu yang terbalut imaji.....

Ya, baru kemarin...
yang kubilang kelabu, katamu pelangi....
Nyatanya? Kini mentari tak buat langitku warna - warni.....

Ah, cemburuku hanyalah api....
Tak mau lagi kusapa kau walau dalam mimpi
nuraniku semakin menyadari,

Illahi Rabbi,
yang cintanya sejati.. tak menyakiti, dan mengkhianati.....



Untukmu sobat, yang terkungkung cinta duniawi

Selasa, 08 September 2009

Cinta Ramadhan

Tak ada kata yang lebih indah dan pantas, selain beribu syukur pada Rabbku, Pemilik Kerajaan Cinta yang tak pernah bosan memberiku begitu banyak nikmat dan keindahan hingga detik ini. Terlebih kurasakan, percintaanku dengannya yang semakin mesra dan romantis. Ramadhan.... sungguh kau buai aku dengan nuansa kental ruhiyahmu.
Delapan belas hari percintaanku dengan Ramadhan telah berjalan. Alhamdulillah, tak ada halangan yang terlalu berarti bagiku untuk melaluinya. Allah pun masih memberiku kesempatan beribadah hingga hari ini, komplit! Semoga tak ada ruang yang akhirnya memisahkanku dengan Ramadhan, seperti yang kualami di tahun 2006 lalu. Indahnya, bisa menyempurnakan ibadah puasaku. Dan tentunya tanpa tanggungan hutang di bulan – bulan selanjutnya ^_^

Ramadhan kali ini, Allah kembali mengijinkanku untuk bisa melaluinya di kampung halaman tercinta. Sebuah status baru yang mengharuskanku mengabdi di sini, di tanah kelahiranku. Tentunya yang paling indah, ya bisa merasakan buka, sahur, dan tarawih bersama keluarga tercinta. Tahun ini, aku juga tak sengaja bergabung dengan kelompok pengajian ibu – ibu di musholla tempat kami biasa berjamaah tarawih. Dan bersama mereka, selepas tarawih kami tadarus bersama. Sungguh indah. Mengkaji dan saling mengoreksi satu sama lain setiap bacaan yang salah. Mengingatkan kembali tentang ilmu – ilmu tajwid dan pelafalan huruf – huruf yang pernah aku pelajari dulu. Ramadhan, selalu memberiku ilmu dan kisah – kisah baru.

Aktivitas lain yang aku suka dan nyaris tak pernah terlewatkan, adalah mengikuti setiap episode ‘Para Pencari Tuhan 3’ di waktu sahur dan berbuka. Banyak sekali pesan moral yang aku dapatkan dari film berseri itu. Sering aku dibuat larut dalam haru sekaligus tawa, oleh tiap tokoh yang menurutku memiliki kekuatan karakter masing – masing. Dan bagiku, tayangan – tayangan seperti ini lah yang seharusnya banyak dilahirkan di negeri ini. Tayangan yang menginspirasi, mengedukasi, dan memotivasi.

Kekuatan dan aura Ramadhan juga semakin aku buktikan kini. Dan itu paling terlihat di tempatku beraktivitas sehari – hari. Mereka yang kutahu di bulan – bulan lalu nyaris tak pernah memasuki masjid untuk beribadah, di Ramadhan ini jadi memenuhi masjid di waktu Dhuhur dan Ashar. Ada lagi rekan yang tiba – tiba situs kunjungannya berubah 180 derajat. Tiap hari yang dibaca artikel – artikel Islami sambil diiringi alunan playlist di winamp yang bertemakan rohani. Malam – malamku atau bahkan malam – malam umat muslim di seluruh dunia yang tentunya lebih terasa spesial, karna sebuah kebersamaan untuk membuat raga terjaga dari lelap dan buaian mimpi.
Ramadhan juga sepertinya melembutkan hati – hati yang sombong dan keras, dalam ikhlas dan tulusnya berbagi. Indahnya..... ^_^

Oh iya, ini mungkin juga termasuk berkah Ramadhan yang aku rasakan. Di bulan nan suci ini, aku secara tak sengaja satu demi satu dipertemukan kembali dengan kawan dan sahabat – sahabat lama di sini. Silaturahim yang sempat termakan waktu, alhamdulillah dapat terjalin kembali. Ah, Ramadhan... kau membuatku jatuh hati. Jatuh hati pada keindahan akhlak insani yang kau naungi. Jatuh hati pada lembutnya hati hadapi hari. Janganlah cepat berlalu, karna ku pasti merindukanmu.....
Tentunya sebuah harap terbersit di hati ini. Semoga semua keistiqomahan, semangat yang memburu, dan lingkungan yang mendukung ini akan bertahan dan tidak lekang oleh waktu. Terkikis begitu saja, setelah Ramadhan berlalu. Semoga saja tidak.

Kamis, 27 Agustus 2009

Warna

Wa’alaykumsalam warohmah... hehe, afwan mbk bru bls... iya nih alhamdulillah lbih nikmat puasa ma suami. G terasa cpek pulang pergi Ngawi – Pnorogo. Bgitu liat wajahnya, langsung hilang cpeknya... apalgi pnya anak ya.. psti lbih seru! Hehehe..

SubhanAllah... sebuah pesan balasan dari seorang sahabat yang kuterima di awal Ramadhan, menumbuhkan “warna” itu lagi di hatiku. Warna sama, yang selalu muncul setiap kudengar kabar tentang kerabat yang akan atau telah menyempurnakan separuh diennya. Warna serupa yang selalu hadir saat kulihat senyum dan kebahagiaan di wajah – wajah mereka yang telah bersatu dengan pujaan hatinya dalam ikatan suci pernikahan.
Jika ditilik lagi isi dari pesan singkat di atas tadi, tergambar jelas kekuatan cinta dan kebahagiaan itu. Sahabat yang terbilang berusia satu tahun di bawahku ini, benar – benar berani mengambil sebuah keputusan yang mulia. Keputusan untuk siap menanggung dan menghadapi segala resiko yang terbentang di episode hidup selanjutnya. Dia yang saat ini bertugas di Ponorogo, rela harus pulang pergi setiap hari dari Ngawi demi tetap berkumpul bersama suami tercintanya. Lelah itu pasti tetap tak mampu dihindari. Namun baginya cukup terbayar dengan indah wajah dan kehangatan berkumpul bersama sang suami. Ah, sekali lagi kau membuatku iri, ukhti...

Kami serumah sewaktu masih pendidikan di Malang dulu. Dan aku tahu betul bagaimana karakter terlebih kekerasan hatinya. Prinsip sekaligus komitmen yang ia miliki, sekalipun didera oleh berbagai uji dan coba nyata tetap mampu ia pegang teguh. Kagumku untukmu saudariku. Dan keresahan itu kini terbayar sudah. Bintang yang selama ini kau simpan dan jaga dalam hatimu, dan selalu kau bawa serta dalam alunan doa dan derai air mata di sujud – sujud panjangmu, telah dihadiahkan oleh Allah seperti yang kau impikan. Semoga kebahagiaan dan berkah senantiasa menyelimuti kalian berdua ^_^

Lalu bagaimana dengan “warna” itu? Apa dan siapakah ia? Warna yang selalu hadir itu, tak lain adalah doa. Doa yang tak hentinya mengalir mengiringi setiap jejak langkah menjemput semua mimpi dan harapan. Semoga warna itu tetap terjaga hingga saatnya tiba. Aku percaya, bahwa Allah akan menjaga siapapun dia dengan rencana – Nya yang cantik. Biarlah kini kularut dalam penantian dan “warna” yang kan hiasi hari – hari indahku.....

Senin, 17 Agustus 2009

Hanya Dia

Jika mereka bertanya, "ke mana dan pada siapa ?"

Lantang kan kujawab,

"Pada Ia yang kasih sayangnya tak bertepi.....
pada Dia yang kekuatannya tak terukur...
tentu pada-Nya, yang cintanya tak perlu diuji........."

Selasa, 14 Juli 2009

130709

Benarkah cinta tak mengenal logika?
Ia pun terlihat begitu permisif, terhadap warna dan budaya
Pagi baginya senja....
petang pun tak urung katupkan payung.....
Ketika hijaunya dedaunan, tak mampu lagi menjemput gersang ilalang...
Cinta seakan hadir menjadi hujan....

Adakah itu cinta?

Minggu, 12 Juli 2009

Sang Bapak

Penampilannya begitu sederhana namun tampak bersahaja. Wajah senjanya tersembunyi di balik topi putih lusuh yang dikenakannya. Senyum itu ramah menyambutku.

Ya, mbak?”

Mo nyuci motor, pak.” Kubalas tersenyum padanya.

Bentar ya, mbak.. tinggal dikit lagi. Monggo pinarak dulu...” Ujarnya lalu melanjutkan memoles motor yang telah lebih dulu datang sebelumku.

Tak akan lama, batinku. Motor yang sedang diselesaikan oleh bapak tadi tlah tampak bersih dan mengkilat. Pasti sebentar lagi selesai, dan akan tiba giliran Ega ku tersayang. InsyaAllah masih bisa untuk hadir tepat waktu di kantor.


Siang yang panas itu, pasti memaksa siapapun untuk lebih memilih menikmati waktu santai di rumah. Bertemankan kesejukan, makanan ringan, atau mungkin memanjakan saraf – saraf tubuh yang telah letih berjuang selama sepekan terakhir. Ya, bukankah tak ada yang lebih dinanti di setiap minggu selain akhir pekan tiba ?

Segala kenikmatan dan rekreasi akhir pekan itu, bagi beberapa orang yang terlibat aktivitas dan tanggung jawab yang harus ditunaikan, tentunya mau tak mau tertunda atau lebih indahnya harus dialihkan ke lokasi lain. Dan keputusan untuk membunuh segala rasa ‘aras - arasen’ itu, kembali memberiku hadiah yang manis siang ini.

Bapak yang tak sempat kutanya siapa namanya itu, menetesi hatiku dengan embun – embun kesejukan lewat sedikit dari kisah hidupnya.


Griyone teng pundi, mbak?” bapak itu membuka obrolan di tengah aktivitasnya memandikan Ega.

Mboten tebih saking mriki kok, pak..” sahutku sambil mengamati tangan – tangan beliau yang lincah membersihkan sudut – sudut mesin Ega.

Asli mriki berarti... kulo tebih mbak.. teng Mangli.”

Ooo... Bendinten wangsul Mangli pak?.”, balasku sambil tersenyum.

Nggih, mbak... lha wong chedak. Lha niku, ngengkol bendinten!


Ucapan bapak yang terakhir, kubalas hanya dengan senyuman dan akhirnya membuatku terdiam sesaat. SubhanAllah... begitulah perjuangan seseorang untuk bertahan hidup. Jarak dari Mangli ke sini, memang tak terlalu jauh. Tapi juga bukan jarak yang dekat jika ditempuh dengan sepeda oleh bapak seusia itu. Jarak yang ditempuh pulang pergi, jika ditotal bisa mencapai 30 km. Dan itu dilakukan olehnya setiap hari. Yang membuatku lebih kagum, tak tampak sedikitpun gurat penyesalan ataupun ratapan – ratapan cengeng dan keluh kesah dari wajahnya. Setiap tuturnya terdengar begitu ikhlas dan tanpa beban menjalani rutinitas yang menurutku tidaklah mudah itu.


Dibandingkan dengan aku, tentu beliau lebih hebat. Jauh lebih keren. Bagaimana tidak, di saat orang – orang pusing memikirkan dan berjuang menumpuk harta untuk memenuhi kebutuhan duniawinya, sang bapak memilih bertirakat dan terus berjuang menyemai manfaat di sisa usianya. Saat para pengendara motor (termasuk aku) dengan bangganya menodai kota dengan polusi ampas mesin mereka, beliau memilih berpeluh dan merasakan letih yang teramat sangat.

Enak lho, mbak... Alhamdulillah saya merasa sehat sampe sekarang!” ujarnya riang.

Beliau melanjutkan, “Kalo manut umurnya kanjeng nabi, umur saya di dunia mpun mboten dangu malih. Mergo niku, kulo milih ngisi dinten – dinten niki kaliyan kegiatan ingkang ndhugiaken manfaat, mbak. Kulo mboten purun ngoyo – ngoyo, tapi sia – sia. Terus mensyukuri nikmat dan berjuang jalani hidup sesuai porsi yang dimiliki . Ngoten lak enak to mbak... ” sang bapak mengakhiri ucapannya dengan senyum yang mengembang.


Batinku berbicara. Betapa indah jika hati tiap – tiap insan bisa terasuki kebijakan bapak tadi. Mungkin tak akan ada tragedi saling menyikut, saling tendang, saling gencet, demi mencapai dan memuaskan kebutuhan pribadinya. Benar. Bukankah semua telah memperoleh dan akan berjalan di porsinya masing – masing. Sang Khalik pun, telah menjamin dan menjanjikan yang setara bagi yang mau berusaha.

“Waduh, kulo niki tiyang alit, dudu sopo – sopo, tapi ngomonge katah nggih, mbak! Tapi nggih mung niku kekayaan kulo. Sugih omong! Hehehe...” Bapak itu tertawa sambil memoles ban Ega sehingga lebih terlihat mengkilap.

Mbak, kuliah ?”

Mboten, pak...” aku berusaha menjawab di tengah ketermenunganku.

Lha terus? Mpun ngasto? Wah... hebat nggih. Taksih enom tapi mpun pinter golek rizqi.

Ucapan bapak yang terakhir, sama sekali tak kujawab. Termenung. Aku tenggelam dalam ketermenunganku sambil membatin, “Aku semakin sadar, bahwa aku memang bukan siapa – siapa.....

Rabu, 08 Juli 2009

Celoteh yang Menginspirasi

"Mbak, kalo nerjemahin ini gimana?"
Celotehnya yang begitu sering hadir di tengah kesibukanku terkadang sedikit membuatku sebal. Namun ketekunan dan semangatnya yang tak pernah surut untuk terus belajar, membuatku semakin kagum dan merasa malu. Di usianya yang bisa dibilang tak lagi belia, tak ada kata "tidak" untuk tetap dan terus belajar. Dari situ aku semakin tahu, menjadi guru itu ternyata memang tak mudah. Musti ekstra sabar dan mengerti. (Salut dan salam kagumku untuk semua pahlawan tanpa tanda jasa di bumi ini) Lebih - lebih yang jadi murid bukanlah anak - anak yang mungkin dalam hal pemikiran lebih mudah dan "cepet nyandak".

Ya Rahman... maafkan aku yang sempat merasa tidak sabar untuk lebih bersemangat menyamai semangat beliau yang tak pernah padam. Berilah aku kemudahan dan kekuatan untuk tetap bisa menjadi tempat baginya berbagi dan saling belajar. Bukankah tak ada yang lebih indah bagi seorang insan, saat ia mampu memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi sekelilingnya ? Lebih - lebih jika itu untuk seseorang yang bermakna dan dicinta.
SubhanAllah... ibundaku.... terimakasih tlah kembali menginspirasiku......


Dedicated for,
Ibu yang sedang giat belajar bahasa inggris
Luph u mom, forever and ever....

Rabu, 24 Juni 2009

Definisi Cinta

Sebagai obat kepenasaranku sama filmnya KCB, beberapa hari ini di sela - sela waktu sibuk dan menjelang tidur, kusempatkan untuk membaca bukunya lagi. Ada sebuah paragraf yang membuatku tertarik. Yakni saat Anna mendefinisikan tentang cinta di bedah buku 'Menari Bersama Ombak'. Setelah kucari tahu, paragraf indah itu ternyata merupakan petikan puisi Rumi dalam Diwan Shamsi Tabriz diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.

=================================================================

Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar.

namun jika cinta kudatangi aku jadi malu pada keteranganku sendiri.

Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang.

namun tanpa lidah, cinta ternyata lebih terang

Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya.

kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta.

Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya.

Bagaikan keledai terbaring dalam lumpur,

Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan.

=================================================================

Sumber : Novel Ketika Cinta Bertasbih 2 (Habibburrahman El Shirazy) : hal. 69, cetakan ke-1, Nopember 2007



-Yang masih terlalu takut untuk mendefinisikan cinta-

Minggu, 14 Juni 2009

Wisata Hati

Sekali lagi aku membuktikan tentang kebenaran dan kekuatan sugesti. Entah siapa yang terakhir mendengarnya, yang jelas aku pernah tak sengaja berujar, “SubhanAllah, gimana ya.. rasanya di opname… diinfus…. Hiiiiiii….!!!” Walau sangat jelas rasa tak ingin dan gidik ngeri dari hatiku saat mengatakannya, namun rasa penasaran itu memang tak mau pergi. Aku terlalu sering seperti itu. Diam – diam berimajinasi dan membayangkan bagaimana kalau… seandainya… jika….

Dan sayangnya, itu bukan sesuatu yang selalu indah – indah.

Jika benar, ekspresi dari hati pun dapat menjadi doa yang ampuh, sepertinya lain kali aku memang harus lebih berhati – hati dalam mengendalikan imajinasi liarku.

Merasakan sakit memang bukanlah cita – cita bagi siapapun. Tapi percayalah, saat kita berhasil menemukan mutiara di balik lumpur – lumpur yang melelehkan keluh demi kesah, kenikmatan tiada tara itu akan membuat kita selalu merasa beruntung telah melewati setiap episode dengan cermat dan tekun. Kurang lebih seminggu lamanya, Allah memberiku rizqi berupa wisata hati. Ya… waktu yang sangat singkat bagiku untuk berlama – lama menikmati perjalanan gratis berhadiah itu. Dia kembali membawakan kisah untukku tentang senyum, ikhtiar, dan sabar. Tiga hal indah yang sebetulnya telah begitu sering aku tonton, namun entah terkadang masih sulit aku temukan dalam diriku. Seminggu lamanya, Ia juga pertemukan ku dengan begitu banyak wajah – wajah indah anak manusia yang bercahaya dalam doa tulus keikhlasan dan rasa peduli. Sungguh, jika perjalanan seperti ini selalu bisa aku tangkap sempurna tanpa diembel – embeli segala prasangka, betapa beruntungnya aku.

2 Juni 2009 malam, ibu dengan nada khawatir menghubungiku yang memang sudah dua hari lamanya absen masuk kerja dan istirahat di rumah. Beliau mengabarkan tentang hasil cek darah yang aku lakukan sore harinya. Positif Typhus dan trombosit yang berada di kisaran angka 130.000. Masih belum jauh dari normal sebenarnya, tapi dokter yang terakhir memeriksaku, menyarankan pada ibu untuk “mengamarkan” aku malam itu juga.

“Minta tolong adek mbak, siapin baju – baju. Bentar lagi tak jemput…” itu kalimat terakhir yang diucapkan ibu di balik keresahannya.

Bak seseorang yang hendak bepergian dan akan menginap untuk waktu yang lama, adek menyiapkan semua keperluanku. Aku hanya bisa tersenyum lemah, membayangkan betapa liburan ini akan segera aku lewati. Kira – kira seperti apa perjalananku nanti hingga oleh – oleh apa yang akan aku bawa, semua membuatku terus dan terus merenda imajinasi.

Tak berselang lama, ibu datang. Bersama motor kesayangan, ibu memboncengku menuju tempat berlibur itu….

Sampai di UGD, aku berjalan sendiri menuju ranjang yang telah disediakan. Dari pengalamanku semasa kecil yang begitu sering “ngriwuki” ibu dinas, aku tahu sebelum masuk kamar semua pasien harus diinfus dulu di sini. Suasana dan aromanya sama sekali tak asing. Ranjang putih dengan korden memutar sebagai pembatas, tabung – tabung oksigen, seperangkat botol – botol dan jarum suntik, semuanya khas rumah sakit. Aku berbaring di ranjang itu cukup lama. Menunggu perawat yang akan memasukkan jarum infus ke tanganku. Bersamaan denganku, ada seorang bocah kecil yang sepertinya juga akan “ngamar”, dan dia menangis begitu keras di balik gendongan sang nenek, mungkin karena takut diinfus. Aku hanya bisa melemparkan senyumku pada nenek dan cucu itu. Sambil berbaring, aku sempat sedikit berbincang dengan mereka. Ternyata, adek kecil tadi juga terkena demam berdarah. Kasihan. Tubuh mungilnya harus merasakan sakit dan dia hanya bisa menyampaikan semua itu dengan tangisnya.

Diinfus itu sakit. Terbayar sudah rasa penasaranku. Dan semoga itulah pertama dan terakhir kalinya aku berurusan dengan benda runcing tajam yang tebalnya hanya beberapa mili itu. Setelah sang jarum tertanam di punggung tangan kananku, dibawalah aku menuju istana tempatku berlibur beberapa hari ke depan. Sebuah kamar mungil, dengan satu ranjang dan sebuah kamar mandi di dalamnya. “Wah.. bener – bener nginep di hotel ini!” celetukku diikuti senyuman perawat yang mendorongku di kursi roda tadi. Namun, belum berselang lama aku menikmati tempat tidur baruku itu, tiba – tiba aku merasakan selang kecil yang menghubungkan botol infus dan jarum di tanganku itu basah. Sepertinya bocor. Dan, o lala! Ibu memutuskan, agar jarum infus itu dipindahkan saja. Aku yang sebenarnya sudah jera untuk ditusuk – tusuk lagi, hanya bisa mengangguk dengan pasrah. Rasa sakit yang luar biasa itu, harus aku nikmati lagi. Seorang perawat lelaki memindahkan tusukan jarum ke punggung tangan kiriku. Malangnya, setelah dicoba ternyata pembuluh darah di tanganku pecah. Sang jarum harus bergerilya lagi mencari lokasi. Bagaimana denganku? Tentu saja, masih dengan pasrah. Alhamdulillah, di tusukan yang ketiga tuan jarum mau bersahabat denganku. Dia sepertinya baru merasa nyaman berada di pergelangan tangan kananku. Dan malam itu, adalah malam pertamaku bertemankan botol infus yang terus menetes teratur satu … satu ….

Keesokan paginya, babak baru sudah menantiku. Hari itu kumulai dengan menyapa tuan jarum kembali. Ya, aku harus cek darah lagi. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan trombositku. Cek darah yang akhirnya kulalui setiap pagi ini, jadi terasa biasa bagiku. Sakitnya memang tidak seperti pada saat memasukkan jarum infus, tapi yang namanya berhubungan dengan tuan jarum sebisa mungkin sangat ingin aku hindari. Hasil cek darah pagi itu, membuatku terutama ibu semakin cemas. Angka trombositku menurun menjadi 110.000 saja. Dan penurunannya terus terjadi hingga ke nilai 54.000. Namun, betapa di sini kembali Allah menunjukkan tak terhingga kasih sayang – Nya. Aku yang seharusnya lemah dengan kondisi trombosit seperti itu, masih diberi – Nya kekuatan untuk tetap bercanda, tertawa, dan tentunya makan. Ya, untuk yang terakhir, perawat pun sampai kubuat heran. Nafsu makanku tidak terlalu signifikan berkurang. Menu makanan yang rutin hadir di setiap harinya, selalu berhasil kutuntaskan. Rekan, sahabat, saudara, dan semua yang berkunjung bahkan sering menyeletuk tak percaya bahwa seorang gadis dengan jarum dan botol infus di depannya saat itu, adalah pasien demam berdarah dengan trombosit yang sudah sangat rendah.

Aku yakin, semua hal menakjubkan yang terjadi padaku selama ‘liburan’ kemarin, tak lepas dari doa dan semangat dari mereka yang menyayangiku. Syukur dan rasa terima kasih tak terhingga terus mengalir, karena Allah membuatku sadar akan begitu banyaknya cinta dan kasih sayang di sekelilingku. Terutama untuk wanita tangguh dan hebat yang tak pernah melepaskan perhatiannya untukku, ibundaku tercinta. Telah lama aku tak merepotkannya hingga seperti kemarin :p. Aku pun jadi bisa banyak menghabiskan waktu berdua dengannya.

8 Juni, ba’da maghrib aku bersiap untuk kembali ke rumah. Dokter sudah mengijinkan pulang, walau kondisi trombositku saat itu masih 60.000. Ibu meyakinkan, bahwa aku akan semakin membaik dengan suasana di rumah. Aku pun sudah terlalu lama absen dari rutinitas sehari – hari. Itu yang paling menjadi beban pikiranku, tanggung jawab dan amanah yang seharusnya aku emban.

Alhamdulillah, malam itu aku merasakan kembali nikmatnya kasur, bantal, dan guling di rumah.

Pasca opname itu ternyata warna – warni rasanya. Yang paling nyata, adalah pipi yang semakin tidak proporsional. Melepas status sebagai pasien, ternyata berat badanku bertambah. Ketembeman pun semakin melekat nyata dalam wajahku. :p Pulang dari RS, aku belum boleh beraktivitas berlebihan. Walau sudah ingin berlari saja rasanya diri ini, tapi aku berusaha bersabar. Dua hari kuhabiskan untuk istirahat total di rumah. Di hari ketiga, bismillah, aku memutuskan untuk memulai aktivitas kembali. Kuakui ini terbilang bandel dan sedikit melanggar titah dokter. Karena kondisi trombosit yang dicek terakhir, masih jauh dari normal, 75.000! :p Tapi kuyakinkan hatiku, bahwa aku kuat dan bisa. Telah banyak yang menanti tuk aku selesaikan. Aku juga sudah kangen sama dunia luar! :D

Terimakasih ya Robb, wisata kali ini mengajarkanku banyak hal. Syukurku yang paling tak terkira, aku memiliki banyak kawan, sahabat, saudara yang menyiramiku dengan bgeitu banyak cinta.

Semoga aku selalu bisa mengambil hikmah di balik setiap kisah.

Minggu, 17 Mei 2009

Tersenyumlah

Detik melangkah, tinggalkan memori masa lalu
peluk kenang tentang ambisi, emosi dan beribu gengsi,
kerucutkan kisah pada sebentuk rasa benci
Malu dikalahkan, enggan dilemahkan....

Sepasang insan berkaca tentang takdir,
debatkan makna kodrat, yang mulai tersingkir...
Aku, diriku dan keegoisanku
dia, dirinya, dan dunianya......

Jubah keangkuhan tertanggalkan,
tatkala mereka ajarkan tentang
ikhlas, sabar, dan tawakal....
Benarkah aku terkalahkan?

Cemburu, rindu, dan rasa malu...
bersatu menggoyah telaga hati
Aku belum kalah, setidaknya pada hatiku sendiri....

Langkah yang menggontai, kukuatkan...
jiwa yang terkulai, kutegarkan....
demi suatu kalimat yang pernah teralun lampau,
"Bukankah setiap kau tersenyum, Aku hadir di sisimu.... ? "

Kamis, 14 Mei 2009

Tangan Ajaib

"Ma... suapin yah?!"
Hehehe... gak biasanya aku semanja kemarin. Dan gak biasanya pula ibundaku tercinta langsung mengiyakan permintaanku itu. Mungkin baginya, juga tak setiap hari putri terbandelnya ini minta disuapin makan.
Si adek juga sepertinya terkompori ulahku. Dia me-request hal serupa, minta disuapin makan. :D
Alhasil, ibu mengambil sepiring nasi yang menggunung.
"Wes, ayo dimaem orang tiga..."

SubhanAllah.. kemesraan itu sungguh begitu indah. Andai aku bisa terus menikmatinya setiap saat. Biasanya aku cuma sebatas "ngampung" dan gangguin "icip2" ibu yang lagi makan. Sambil minta beberapa suap. Tapi kemarin, benar - benar kunimati tiap suap dari tangannya sampai tak ada yang tersisa di piring yang awalnya menggunung nasi tadi.
"Ayo..... mbak....", ujarnya sambil menyodorkan tangannya yang telah terisi nasi dan lauk. Aku membuka mulutku lebar - lebar dan "AAeeemmm......." Hihihi.. benar - benar seperti sosokku 10 atau 15 tahun yang lalu. Yang masih harus dikejar ke sana ke mari jika waktu makan tiba. Sungguh berbeda dengan kini. Yang tanpa diingatkan pun, selalu tak pernah absen dalam urusan makan :P

Entah mengapa, ide itu tiba - tiba muncul. Aku kangen dan begitu ingin disuapin ibu. Dan aku pun tak menyangka respon ibu yang demikian semangat hingga tak menyadari betapa banyaknya nasi yang telah ia tumpahkan di sepiring nasi itu. Sekalipun di keroyok bertiga, adek dan ibu menyerah dan gugur lebih dulu dari pertempuran penghabisan nasi itu. Dan aku.. tetaplah yang terus bertahan... hehehe...
Bahkan hingga nasi di piring tidak tersisa pun, aku masih tetap semangat membuka mulutku menanti suapan berikutnya. "Heh, mbak... dah habis ini lho.... nambah lagi ta?"
Ups! Kenapa aku belum merasa kenyang ya? Telor ceplok dan kering tempe yang sungguh biasa, jadi begitu istimewa di lidahku. Apa ini karena bercampur ramuan khusus dari tangan yang menyuapkannya padaku? Ramuan kasih sayang, cinta, dan doa..... ^_^
Tangan ibunda memang ajaib... Mampu merubah sesuatu yang biasa menjadi begitu luar biasa....

"Gimana, nambah lagi ta,mbak?"
Sambil sedikit mesam - mesem, "Hehehe.. kalo ndak ngrepotin.. boleh deh... " :P

Rabu, 06 Mei 2009

-AIR MATA CINTA-

Ia menetes lagi. Air yang dulu begitu sulit kutemui, bahkan dari diriku sendiri. Masa – masa remaja adalah saat di mana aku begitu merindukan air mata. Aku memang sulit menangis. Bahkan bisa dibilang, aku nyaris tak bisa menangis setelah masa balitaku berakhir.
Aku masih ingat. Saat itu usiaku 8 tahun. Bersama anak – anak tetangga sebayaku, aku selalu menghabiskan waktu sore di kebun belakang rumah. Kami senang bermain petak umpet di balik semak dan pohon – pohon yang besar. Tak jarang pula kami beradu panjat pohon. Siapa yang bisa meraih dahan tertinggi, dialah pemenangnya.
Aku paling menyukai permainan ini. Dan di antara teman – teman perempuanku saat itu, akulah yang paling hebat. Tapi aku belum pernah bisa mengalahkan satu orang teman lelakiku. Kami biasa memanggilnya dengan Aan, begitu saja.
Dia selalu mengalahkanku di detik – detik terakhir pijakan ini hendak menggapai puncak. Aan memang lincah dan gesit. Gerakannya seakan tak pernah meleset, sekalipun dahan yang dipijaknya bergoyang karena ukurannya yang kecil dan letaknya yang cukup tinggi dari permukaan tanah. Aku tak pernah mau kalah dengannya. Setiap ejekan dan sindiran darinya, membuatku selalu berusaha dan berjuang lebih, dan lebih lagi. Karena ‘keakraban’ kami pada dahan – dahan pohon inilah, teman – teman saat itu menjuluki kami ‘kera jantan dan kera betina’. Dan si kera jantan inilah, yang selalu membuatku menjadi nomor 2.
Sore itu, aku begitu berambisi mengalahkannya. Kupingku sudah panas dengan semua celotehnya yang meremehkanku. Tinggal satu dahan lagi, dan.... hup! Berhasil! Aku mendahuluinya meraih dahan ini. Tapi belum sempat aku bersorak girang, pohon rambutan yang biasanya begitu bersahabat denganku ini, tiba – tiba mengeluarkan bunyi ‘krak’ yang cukup keras. Lalu dalam hitungan sepersekian detik, dahan yang kupijak sekaligus tubuh mungilku, terjun bebas ke bumi.
Yang kudengar saat itu hanya teriakan teman – teman. Dan kira – kira beberapa detik kemudian, sepasang tangan kecil menangkap tangan kiriku. Wajah pemilik tangan itu pucat khawatir, namun matanya tetap menyebalkan.
Dasar, betina ceroboh!
Belum sempat aku membalasnya, tubuhku sudah sukses mencium tanah. Tangan kiriku yang berkeringat tak mampu menahan genggaman tangan Aan. Semua teman langsung mengerubungiku. Ada yang berteriak histeris, ada yang menangis, ada pula yang hanya diam tak mampu bersuara. Semuanya panik. Aku yang saat itu berlumur darah di dahi, tangan, dan kaki hanya bisa meringis. Tak sedikitpun air mata kurasakan jatuh mengalir di pipi. Bahkan saat mengetahui bahwa kaki dan tangan kananku patah, sesaat setelah ayah menggendong dan membawaku ke klinik.

Itu adalah salah satu kenangan tentang betapa sombongnya mataku untuk menyapa air mata. Namun kini, kesombongan itu mulai luluh. Aku jadi begitu mudah bahkan sering berair mata. Mungkin ini bisa menjadi hobi baruku. Ya, kini aku jadi gemar menangis. Setelah aku tahu bahwa air mata jauh lebih bisa membuat hati ini lega dan tenang dibanding berteriak – teriak di alam bebas. Setelah aku sadar, bahwa menangis juga mampu menghadirkan kenyamanan, selain hanya berkeluh kesah pada lembaran – lembaran kertas.
Kau pasti ingin tahu mulai kapan aku jadi mudah menangis. Jawabannya, cukup membuatku malu dan bersemu merah. Sejujurnya, aku mulai mengenal air mata lagi (tentunya setelah masa balita dulu) saat dia hadir dalam hidupku. Dia yang mampu hadirkan senyum dan tangisku dalam satu waktu. Dialah lelakiku. Lelaki hebat yang kusayangi dan selalu kutatap senyumnya setiap ku membuka mata dan menyapa pagi. Dialah suamiku tercinta.
Dan, tidakkah kau penasaran tentang siapa lelaki yang berhasil merobohkan dinding - dinding pertahanan air mataku ? Kini akan kumulai untuk mengisahkannya.

Lima tahun yang lalu, kami tak sengaja berjumpa di sebuah even tentang fotografi. Kehadiran seorang fotografer nasional sekaligus lokasi acara yang sengaja dibuat outdoor, membuatku yang mencintai alam liar dan dunia fotografi semenjak SMP, tak ragu untuk segera mendaftarkan diri.
Acara berlangsung sehari penuh dan aku begitu menikmatinya. Hingga tiba di satu sesi acara yang mengharuskan setiap peserta mempraktekkan langsung materi yang sudah didapat sehari tadi. Learning by doing.
Tanpa ragu mataku menerawang liar. Mencoba menemukan ‘spot - spot’ unik sekaligus mencari angle ter-apik. Dan sebuah pohon tua yang cukup besar, mencuri perhatianku. Dari sana, kuyakini target yang aku buru dari tadi akan terekam dengan indah. Anglenya cukup bagus, dan pasti landscape ku nanti akan mencuri decak kagum orang – orang yang hadir di sini.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk mencapai bagian tengah pohon tua ini. Kepiawaianku memanjat saat masih kecil, masih tersisa hingga kini. Setelah mendapat pijakan yang nyaman, kukeluarkan Canon EOS 30D ku dari sarungnya. Aku rekam dan abadikan lukisan hidup di hadapanku sambil tak henti – hentinya berdecak kagum. SubhanAllah... sedemikian indah ciptaan-Nya. Lantas bagaimana indahnya Sang Pencipta ?

Tiga puluh menit bertengger di atas pohon, cukup membuatku pegal. Hingga seorang lelaki yang tak kukenal, tiba – tiba muncul dan ikut – ikutan bertengger di dahan yang sama. “Hmm... ada yang mencoba menjadi plagiat caraku menangkap objek.”, batinku bergumam.
Sengaja kuurungkan niatku untuk turun. Aku ingin mengamati bagaimana hebatnya ‘si plagiat’ ini memainkan kameranya. Beberapa menit berselang, tak ada juga salam maupun sapa darinya. Rasa sebalku bertambah. Betapa cuek, sombong dan tidak sopannya orang ini.
Andri. Andri Syahputra”, ujarnya tiba – tiba sambil mengulurkan tangan. Tak kubalas uluran itu, hanya jawaban ketus yang meluncur dari bibirku.
Panggil aja aku, Priya”.
Tak lama setelahnya, aku memutuskan untuk turun. Tak ada lagi percakapan yang mengalir selain pertukaran nama tadi. Pihak panitia juga sepertinya sudah memanggil para peserta untuk berkumpul kembali.
Tibalah saat penilaian karya peserta hasil ‘learning by doing’ tadi. Dan ternyata, aku menghadapi peserta - peserta yang sepertinya memang telah mahir dan profesional di bidang ini. Hasil jepretan mereka bagus – bagus. Untuk itu, aku mengakui kekalahanku dengan hati lapang. Tiga foto terbaik ditampilkan, dan fotografernya diundang ke depan. Saat sebuah nama disebutkan, aku cukup terkejut. Karena salah seorang lelaki yang berdiri di depan sana adalah Andri Syahputra, lelaki yang tadi juga bertengger bersamaku di atas pohon.
Kuakui karyanya memang indah. Aku malu telah berburuk sangka padanya tadi. Walau posisi membidik targetnya sama denganku, tapi foto yang dia hasilkan jauh berbeda denganku. Dan, hei.. sebentar! Sepertinya aku mengenal nama itu. Tapi siapa ya? Ah... aku selalu payah dalam mengingat nama. Biarlah, yang pasti akan kutemui dia selepas acara ini. Aku ingin minta maaf padanya.

Begitu acara berakhir, aku langsung berlari menghampirinya. “Ehm... mas Andri!” agak kikuk aku menyebut namanya.
Ya ?” yang kupanggil menoleh.
Emm.. anu.. aku mo minta maaf. Soal yang..... emmm.. di atas pohon tadi!
Dalam hati aku merutuki diri sendiri. Kenapa aku jadi begitu payah dalam memilih bahasa yang pantas, baik, dan benar? Aku yakin, dalam hati dia pasti tertawa menyaksikan kekonyolanku.
Ooh.. iya, gak papa, lupain aja! Ternyata ‘kera betina’ ini gak berubah yah? Masih tetep galak dan hebat seperti dulu!
Apa?! Barusan dia bilang apa? Aku yang sedari tadi tak terlalu berani menatap wajah apalagi matanya, serta merta memelototinya tajam – tajam.
Maaf, anda bilang apa tadi?
Iya. Kamu kan, ‘kera betina’ yang galak itu? Priyanti Kusuma Asmoro.” Dengan tetap kalem dia menjawab pertanyaanku.
Masya Allah! Bahkan dia kini menyebutkan nama lengkap & julukan masa kecilku. Siapa sebenarnya lelaki ini? Kutatap lekat – lekat wajahnya. Tak kutemukan sedikitpun garis – garis wajah seseorang yang pernah kukenal di masa lalu pada wajah itu. Hanya satu yang terasa tak asing bagiku. Mata itu. Mata yang selalu bersinar dan menyorot tajam tetapi begitu menyebalkan. Dan yang memiliki mata seperti itu hanyalah....

Aan?! Kamu Aan si ‘kera jantan’ itu?!” aku dengan sedikit histeris tapi tetap ragu.
Bingo!”, ia meringis memamerkan giginya yang putih dan bergingsul.
Ya Robbi...! Bagaimana mungkin kamu di sini? Kamu beda banget ya, sekarang? Makan apa? Tambah tinggi... berjenggot..blablablabla..
Jahat ya, baru nyapa aku! Kesibukanmu apa sekarang?” aku memberondongnya dengan begitu banyak pertanyaan dan pernyataan. Tak kubiarkan dia sedikitpun memiliki ruang untuk menjawab. Aan teman kecilku. Bocah lelaki yang selalu jadi rivalku dalam setiap permainan. Kini dia benar – benar berbeda. Wajar jika aku nyaris tak mengenali wajahnya sama sekali.
Jika tak mengingat perutku yang mulai terasa lapar, interview dadakan itu tak akan kubiarkan terhenti. Kusudahi pertemuan itu di sebuah rumah makan bersama teman semasa kecilku dengan bertumpuk pertanyaan.

Singkat cerita, pertemuanku dengan Aan di hari itu menjadi awal bagi jalinan silaturahim kami yang sempat termakan waktu. Kami jadi sering berkomunikasi walau tak terlampau sering bertemu. Kegemaran dan hobi kami yang serupa, membuat kami semakin ‘klop’ dan akrab. Sms, email, dan sesekali telepon. Itulah yang menjadi penghubung kami yang memang terpisah oleh jarak dan waktu. Aku yang saat itu sedang melanjutkan kuliahku di Yogya, dan dia yang menekuni karirnya di sebuah perusahaan surat kabar nasional di Sumatera.
Menjadi seorang fotografer sepertinya, memang memerlukan sebuah ketekunan dan tentunya keberanian. Tapi menurutku peran yang dilakoninya sekarang, sangat keren dan menantang. Bagaimana tidak, dalam satu waktu dia bisa saja hinggap lebih dari satu titik, kota, bahkan pulau. Dan dari itu semua, aku hanya bisa mendengar semua cerita dan tentunya iming – iming darinya.
Persahabatan kami mengalir begitu saja, dan kami menikmatinya. Kami berusaha saling menguatkan dan mengingatkan dalam segala langkah. Walau pertengkaran dan perdebatan tak pernah bisa lepas menghiasi pertemanan ini. Aan tetap menyebalkan. Dia memang pintar dan selalu mengalahkanku seperti dulu.
Tapi tidak di hari itu. Aku merasa, aku telah mengalahkannya.

13 Desember 2003, dia mengirimiku sepucuk surat. Aku sempat dibuatnya heran. Karena saat itu, bukanlah waktu yang tepat untuk seseorang berkirim kartu lebaran. Akupun tidak sedang berulang tahun atau mengalami sesuatu yang bisa menjadi alasan baginya untuk mengirimiku sebuah kartu ucapan selamat atau sejenisnya. Yang membuatku lebih heran lagi, adalah isi suratnya yang seratus persen memberiku teka – teki. Dari selembar kertas A4 yang dikirimnya kepada itu, hanya ada satu kalimat yang ditulisnya. Kalimat itupun hanya terdiri dari dua kata.
“Aku kalah....
Ya, hanya itu yang terekam oleh indraku dari surat itu. Aku hanya bisa bertanya – tanya dalam hati dan berusaha berfikir positif. Hingga malam harinya, dia menghubungiku.
Dah terima suratku ? ” suara dari seberang.
Iya, surat aneh yang sama sekali tak kumengerti.”
Sebentar lagi kamu pasti juga tahu. Sudah dulu ya, jaga diri baek – baek.” Singkat. Hanya itu yang dia sampaikan untuk menjelaskan surat aneh itu.
Seminggu berselang tak juga ada kejelasan maupun kabar darinya berkaitan dengan surat itu. Aku pun memutuskan, untuk menganggap surat yang tak berisi itu adalah salah satu keanehan dan keisengannya padaku. Harusnya aku tak perlu memikirkannya, tapi kenapa aku jadi penasaran dan begitu ingin tahu ?

Keesokan harinya, sepulang dari kampus dia akhirnya menghubungiku. “Aku 2 jam lagi sampe sana.” begitu yang diucapkannya di telepon. Aku kaget, tapi masih bisa menguasai diri. Fikirku, dia pasti sedang bertugas di dekat sini dan sengaja mampir. Semenjak pertemuanku dengannya di even fotografi dua tahun yang lalu, kami memang belum pernah bertemu lagi. Ada sedikit rasa bahagia yang tanpa permisi muncul dari balik hati. Dan restoran tempat kami pernah ngobrol dan makan waktu itu, menjadi pilihan tempat pertemuan kami.
Sore itu Aan tampil berbeda dari yang pernah kujumpai terakhir. Dia begitu rapi dan terlihat dewasa dengan dandanan seperti itu. Mungkin dia sedang bertugas meliput sebuah acara formal.
Assalamu’alaikum…. Apa kabar ?” terwujudlah seukir senyum dari sudut bibirnya. Indah. Ah… aku benci desir – desir aneh ini! Bukankah terpesona dengan keindahan senyum seseorang adalah hal yang wajar. Namun mengapa aku jadi begitu kikuk dan seakan merasa berdosa seperti ini. Berulang kali aku berusaha membuang muka saat berbincang dengannya. Hingga detik itu membuatku terpaku.
Priya.. aku minta maaf sebelumnya jika kamu tidak berkenan. Tujuanku datang kemari, bukan karena suatu tugas atau even apapun. Aku datang untuk sesuatu yang sangat penting bagi langkahku di masa depan.” Aku mendengar nada serius dari apa yang diucapkannya.
Wah,pasti kamu mo cerita kalo resign dari tempat kerjamu yang lama, trus dapet kerja di Jawa. Iya? Bener kan? Selamat ya... jadi deket ma keluarga kan!” kenapa aku jadi bersemangat dengan dugaanku itu.
Dia tersenyum lagi,”Sok tahu! Makanya, dengerin dulu kalo ada orang mo ngomong!”
Aku hanya menanggapi ucapannya itu dengan meringis.
Aku kalah, Priya… baru kali ini aku merasa begitu dikalahkan. Tetapi kekalahanku ini justru memberiku kebahagiaan dan lembar baru.” Kedua alisku menyatu ke tengah, pertanda rasa bingungku terhadap apa yang disampaikannya barusan.
Ini....” Ujarnya sambil menunjuk dadanya. “Aku tak bisa lagi membohonginya…
Ia telah kalah Priya… ia harus mengakuinya. Hati ini tlah terpaku pada keindahan pesona yang dititipkan Allah pada makhluk-Nya yang bernama manusia. Dan aku ingin menjaganya, melindunginya, dengan tulus dan dasar kasihku pada Penciptaku.
Sudah saatnya, aku memiliki seseorang yang bisa mengiringi perjuanganku. Agar langkah ini semakin kuat, agar peluh letihku ini tak terasa mengganggu dengan hadirnya di sisiku Aku memilih kamu, Priya… Hatiku kalah padamu….

Deg! Dunia seakan membisu. Detik serasa terhenti dan tak ada kehidupan bergeliat di sekitarku. Aku terdiam cukup lama demi memahami dan menenangkan hatiku yang saat itu terasa kocar – kacir. Air hangat yang meleleh di pipiku, membuatku sadar bahwa ia masih ada di hadapanku. Seseorang yang baru saja membuat sebuah pengakuan dan memintaku menjadi pendamping hidupnya. Sungguh, aku tak mampu berkata - kata. Hanya air mata, ya… air mata yang asing ini mewakili seribu aksara dari lisanku yang tak kuasa berkata. Itulah air mata pertamaku yang mengalir karenanya.



Tiga tahun telah berlalu sejak sore bersejarah itu. Dan kini aku resmi menyandang gelar nyonya / ibu Andri. Kera jantanku itu yang saat ini memenuhi hati dan hari – hariku dengan cinta dan kasihnya. Hidup kami lebih dari cukup untuk sebuah kebahagiaan. Walau hingga kini kami belum dipercaya untuk memiliki generasi penerus, hari – hari kami tetap berwarna. Bang Andri, adalah sosok suami yang sabar dan bertanggung jawab. Dia tak pernah bosan menguatkanku terutama dalam hal momongan. Bang Andri selalu bilang, bahwa anak itu adalah rizqi dan titipan dari Allah. Dan apa yang kami alami saat ini hanya masalah waktu. Mungkin kami memang belum mampu dan siap. Bukankah sabar menunggu lebih baik daripada ketidaksiapan itu malah menjerumuskan kami dalam dosa karena tak bisa menjaga amanah dari Allah dengan baik.

Aku masih belum menyerah dan akan terus berusaha, masak bidadariku ini gak percaya ma aku?” senyum yang khas itu muncul di wajahnya. Ah… Bang Andri selalu bisa membuatku tenang dan tersenyum lagi. Salah satu hal yang membuatku terus yakin dan kuat, adalah kehadirannya. Dan itu membuatku semakin mencintainya.
Wanita mana yang bermimpi untuk tak memiliki keturunan. Hati kecil para wanita, pasti begitu merindukan dirinya dipanggil dengan julukan “umi, ibu, bunda, ataupun mama”. Aku sering tiba – tiba menangis saat menyaksikan kemesraan seorang ibu dan anaknya, walau itu hanya dalam sebuah acara yang ditayangkan di televisi. Lebih – lebih saat Bang Andri membelai lembut rambutku sambil berujar, “Sabar ya sayang, kita pasti bisa…”. Air mata ini seakan tak mau berhenti mengalir. Tangisku semakin deras dalam pelukannya.
Sebenarnya, untuk apa dan siapa air mata yang kini jadi begitu sering menetes ini? Untuk sebuah kekecewaan dan penyesalankah? Untuk sebuah pengakuan kelemahan dirikah? Belakangan aku baru sadar. Air mata ini sejatinya hadir karena sebuah alasan yang cukup erat dengan diri Bang Andri. Sungguh aku tak ingin mengecewakannya. Betapa aku ingin melihat kebahagiaan selalu hadir di hati dan wajahnya. Aku takut tak bisa menjadi seorang istri yang sempurna baginya.
Bang, apa abang pernah merasa menyesal telah memilih, Priya?” ujarku suatu pagi saat kami sarapan.

Maksud mu apa, sayang?” balasnya dengan penuh rasa heran.

Emm… apa abang tidak pernah berfikir untuk mencari istri lagi misalnya?” suaraku terdengar mulai bergetar.

Istri lagi? Untuk apa? Satu aja, makannya dah banyak bangeeet dan suka rewel…. Gimana kalo 2 ?!” dia tertawa.

Uuuuh.. Abang ini bercanda mulu’! Priya serius, bang. Kalo memang dengan memiliki istri lagi abang bisa punya keturunan dan bahagia, insyaAllah Priya ikhlas.” mulai ada yang terasa menggenang di sudut mataku.

Wah.. sayang serius? Bener abang gak papa nikah lagi?!” terdengar nada semangat di ucapannya.

Hu’uh…” satu per satu air mata ini mulai menetes lagi.
Perlahan terdengar ia menarik nafas panjang, lalu menggenggam tanganku kuat – kuat. “Sayang yakin?” suaranya melembut, dan aku berusaha mengangguk dengan mantab, namun tak berani memandang wajahnya.
Sayang bener – bener sudah siap?” sekali lagi aku mengangguk, kali ini lebih mantab dan berusaha tersenyum di balik air mataku yang semakin deras mengalir.

Masalahnya, aku yang belum yakin dan siap, sayang. Tak sepantasnya aku berharap akan sebuah kesempurnaan, saat diriku sendiri belum bisa menjadi wujud yang sempurna itu. Aku pantang untuk dikalahkan dua kali. Cukup hati ini kalah karenamu…. Dan memilikimu, adalah hal yang tak pernah berhenti kusyukuri hingga kini.” kulihat bayangan mataku yang memerah karena tangis, di matanya yang bening. Pagi itu aku kembali menangis dalam pelukannya.

Hari kami terus berlalu. Tentunya dengan tangis dan tawa yang silih berganti. Kami tak pernah berhenti berusaha dan berdoa, untuk meraih kesempurnaan keluarga kami. Saling menguatkan dan memberikan keyakinan, itu yang tak pernah bosan kami lakukan. Hatiku juga mulai terasa lebih ringan dan tak terlalu merasa terbebani seperti dulu. Sedikit demi sedikit aku berhasil meyakini, bahwa titipan itu seberapapun kita mencintainya, wujud dan sejatinya adalah tak abadi. Ada Pemilik mutlak yang lebih berhak memiliki secara utuh. Aku pun tak sepantasnya terlalu menuntut dan memaksakan sesuatu yang memang mungkin belum mampu untuk aku jaga. Allah selalu lebih tahu siapa dan bagaimana diriku. Ia pun tak kan pernah mendhzolimi hamba-Nya.Terbukti aku tetap bisa menyalurkan kasih dan sayangku sebagai ibu kepada anak – anakku yang jumlahnya lebih dari satu. Ya… menjadi seorang guru di salah satu yayasan di kota kecil tempat kami tinggal, cukup menghiburku. Mereka semua memanggilku ibu, dan itu yang sangat menyanjungku. Saat aku meminta satu, Dia justru memberiku lebih dari itu. SubhanAllah…. Lalu masih pantaskah aku menuntut lebih?
Aku dan Bang Andri kini lebih bertawakkal dalam melangkah. Kami yakin, Dia tak pernah menutup mata dari hamba – hambaNya yang terus berusaha dan mendekatkan diri kepadaNya.
Lantas, apakah ini pertanda bahwa air mata itu telah mengering? Sayangnya tidak. Aku masih sering menangis, terutama saat suami tercintaku pergi bertugas ke luar kota bahkan pulau untuk waktu yang lama. Bang Andri terkadang suka cuek dan lupa akan dunia nyata, saat ia telah disibukkan oleh pekerjaannya. Sering tiba – tiba dia tidak menghubungiku hingga berhari – hari. Ponselnya pun seakan tak terjangkau oleh satelit manapun, saat aku mencoba balik menghubunginya. Saat – saat seperti itu, tentu aku hanya bisa menangis. Menangis karena rasa rinduku padanya, dan menangis karena aku merasa cemburu. Bagaimana tidak, saat kasih sayangnya berpaling total karena pekerjaannya. Saat mata beribu kaum hawa dengan bebas silih berganti berlalu di hadapannya.. Ah… aku memang sedikit pencemburu. Tapi bukankah itu pertanda bahwa aku mencintainya? Hihihi… Nakalnya bang Andri, tak jarang dia melakukan itu semua dengan niat memang untuk menguji kesabaranku katanya. Bagaimanapun dirinya, dia adalah salah satu lelaki yang kupercaya di dunia ini selain ayahku.
Potongan – potongan kecil kisah hidupku itu, perlahan kurangkai menjadi sebuah fragmen yang sepertinya mampu bercerita kepadaku anak – anakku kelak. Air mata itu, tak lain adalah air mata cinta. Ia tak selalu pertanda duka dan luka. Hadirnya tak jarang adalah senyum haru dan kebahagiaan pemiliknya. Pun wujudnya yang sering mengisahkan sebentuk rasa syukur akan beribu nikmat dalam diri setiap makhluk yang bernyawa. Aku akan meyakinkan anak – anakku kelak, bahwa air mata yang paling indah dan kekal adalah air mata cinta karena Illahi. Yang menetes karena rasa takut, tunduk, dan patuh kepadaNya. Yang mengalir di setiap sujud panjang perjuangan hamba yang senantiasa memohon kasih sayangNya. Ya… air mata cinta karena Illahi Robbi…..




Jember, 04 Mei 2009 (23:05)

Minggu, 19 April 2009

17 April 2009

Peluh itu menetes semakin deras. Terik mentari yang biasanya tetap bersahabat, seakan menusuk - nusuk kepalaku kini. La hawlaa walaa kuwwata illa billah..... Hanya itu yang terus mengalir dari lisan ini. Seseorang pernah mengingatkanku bahwa kekuatan fikiran kita, akan menjadi motor yang paling berperan atas terealisasinya sesuatu.
"Aku kuat... aku bisa!" Hatiku terus menerus teriakkan itu.
Tiba - tiba pandangku menerawang. Duniaku menguning. Sejenak di antara ada dan tiada, kurasakan bumi ini bergoyang hebat. Aku tak mampu merasa dan mengindra. Lalu..........
Brukkk! Aku tlah tersungkur lemah terpengaruh gravitasi. Ah... seandainya jatuh bisa ke atas, mungkin tak kan ada rasa sakit itu.
Tak ada yang sempurna dan terlalu hebat di dunia ini. Terlebih makhluk berjudul manusia sepertiku. Semua memiliki limit dan takaran kekuatan. Pun jangan melempar tatapan heran, saat kau temui aku yang biasanya berlari dan meloncat ke sana kemari, kini terkulai lemah.
Aku juga manusia biasa......

Sabtu, 04 April 2009

Ayah

engkaulah nafasku
yang menjaga di dalam hidupku
kau ajarkan aku menjadi yang terbaik

kau tak pernah lelah
sebagai penopang dalam hidupku
kau berikan aku semua yang terindah


aku hanya memanggilmu ayah
di saat ku kehilangan arah
aku hanya mengingatmu ayah
jika aku tlah jauh darimu


Semalam, sebuah lagu yang dipopulerkan oleh seventeen ini, tak henti - hentinya mengalun. Sengaja kubiarkan ia bertengger sendirian di playlistku. Menemaniku menikmati tetes - tetes kerinduan yang tak pernah berhenti mengalir hingga detik ini. Aku.... tak pernah tak merindukannya. Merasakan terus desah hangat nafasnya saat mencium lembut keningku, yang hendak terlelap. Menatap tajam dan teduh kedua matanya saat mengajariku tentang bagaimana menghargai hidup. Dan semua itu, bukan alasan bagiku untuk menjadi cengeng dan lemah. Karna kutahu, ia tak pernah mengajariku demikian.

Yang kutahu, dia hebat.... sungguh lelaki terhebat dalam hidupku!


Senin, 30 Maret 2009

- dalam doaku -

"Nduk pengen, jadi yang terbaik bagimu........."

Rabu, 25 Maret 2009

Dwiwulan I

Tak terasa dua bulan telah berlalu. Walau kusadari jalan itu masih terbentang begitu panjang, tapi mimpi dan angan yang tlah lama kurangkai dan masih tersimpan jauh di dalam hati, perlahan namun pasti melambai memanggilku. Ingin berlari rasanya, namun aku takut ada yang tertinggal. Detik - detik itu tlah turut menyertai semedi panjangku. Dalam doa, peluh, dan air mata.
Ladang ini, baru saja disuburkan tanahnya. Tinggal kini, bisakah aku mengolah, menjaga dan melindunginya dari hama, hingga tiba saat indah untuk menyemai nanti.
Ibu selalu bilang, jangan pernah takut untuk memilih. Dan beranilah dengan setiap resiko yang memboncenginya. Tak akan ada senyum jika tak lahir air mata. Itu yang selalu membuatku berdiri tegak hadapi semuanya.

Waktu yang mungkin terlalu singkat untuk membuat sebuah kesimpulan, tlah mampu sedikit membuka mata dan hatiku. Semua tak seperti teorinya. Palsu, kejam, dan penuh kebohongan. Dilema pasti, saat harus memilih berdiri dan bersandar di mana? Lebih - lebih saat sering terdengar suara - suara dari sekitar yang melemahkan. "Wajar, sekarang masih idealis. Tapi arus itu terlalu deras untuk dilawan. Hanya ada dua pilihan, hanyut... atau tenggelam..."

Sungguh, babak ini baru saja dimulai. Tapi serta merta pula aku langsung dihadapkan pada fragmen - fragmen yang tidak aku harapkan. Benarkah jalannya manusia itu, terkadang harus sedikit berliku, berbelok, bahkan menanjak curam? Hidup jadi tidak 'berasa', saat semuanya mempeng dan lurus - lurus saja. Sah kah?

Senin besok evaluasi dwiwulan yang pertama, moga semua berjalan lancar dan sesuai dengan semua perjuangan selama 2 bulan terakhir.
Dan sepertinya saran dari seseorang untuk sekali - kali 'bolos' biar hasilnya gak terlalu bagus perlu dicoba juga! Hehehehe.....