Rabu, 23 Februari 2011

20 Februari 2011

Kota Malang. Ya, kota bunga berhawa sejuk yang pernah kusinggahi kurang lebih 3 tahun lamanya. Kota di mana aku belajar banyak sekali tentang kehidupan. Kota yang menjadi saksi saat aku berproses dari masa - masa remaja menuju dewasa. Kota di mana aku menemukan dan  belajar begitu banyak hal tentang ilmu, teman, persahabatan, dan cinta. Sekalipun tak dilahirkan di kota ini, tak kupungkiri betapa aku mencintainya. Mencintai setiap jengkal memori yang pernah aku torehkan di sana :-)

Hari Minggu lalu, saat ayam jantan masih lelap dalam buaian mimpi dan belum berfikir akan bernyanyi apa pada kokoknya di pagi hari nanti, kami bersembilan (Aku, Kiki, Linda, Fandi, Fathur, Bogi, Mas Dopo, Mas Arif, dan April sebagai driver yang tangguh) menuju ke barat meninggalkan kota Jember. Bukan untuk mencari kitab suci, kami membawa sebuah misi mulia untuk menghadiri momen penting dan bahagia salah seorang sahabat kami di sana. Ya, di kota sejuta kenangan yang selalu aku rindukan itu, Kota Malang, Denik sahabat kami akan menikah. Semangat sekali kami di pagi buta itu. Sepanjang perjalanan penuh berisi tawa dan kelakar - kelakar menggelikan, terutama dari Kiki salah seorang dari kami yang paling ceria dan seakan tak pernah kehabisan baterai. Mulai terbayang akan ke mana saja kami di Malang nanti, karena selain tujuan mulia tadi, tentu saja nafsu touring dan jalan - jalan yang selalu bergelora, tak boleh dilupakan :-P
'Niki' pun sengaja kubawa serta, demi mengabadikan wajah - wajah keceriaan kami di sana nanti.

Tepat pukul 06 : 30 WIBAM (waktu Indonesia bagian Malang), kami tiba. Semerbak hawa sejuk sudah kami rasakan semenjak memasuki Lawang. Ah.. kota ini, setiap kujatuhkan pandang pada sudut - sudut tertentu, selalu saja membuatku tersenyum - senyum sendiri.
Tujuan awal kami pagi itu, tentu saja menuruti hasrat perut yang sudah menggelitik, kami semua kelaparan. :-D Dan betapa bahagianya hatiku, saat mengetahui keputusan akhir yang disepakati adalah mencari tempat makan sekaligus tempat bersih - bersih diri di Sawojajar. Hey...hey.. coba dengar kata - kata yang terakhir itu. Bukankah, itu nama sebuah perumahan tempat almamaterku tercinta berada? Perumahan serupa labirin, karena mereka yang baru pertama kali memasukinya dijamin akan sulit untuk menemukan jalan keluar.  

Velodrome yang menjadi lokasi pilihan kami, sebuah stadion cycling track yang entah saat ini masih digunakan atau tidak.  Selain karena memang banyak sekali pilihan menu makanan di sana (karena selalu ada semacam pasar tumpah di setiap hari Minggu), tentu saja aku bisa sambil memanfaatkan momen itu untuk bernostalgi. :-) Tak banyak yang berubah dengan suasana Minggu pagi di velodrome. Masih begitu ramai dengan mereka yang hendak sekedar berjalan - jalan pagi baik bersama teman, pasangan, maupun keluarga. Mereka yang berjogging, mereka yang bersemangat dalam barisan untuk melakukan senam pagi, dan berbagai macam penjaja dagangan yang sering sekali menggoda mata, mulai dari makanan,pakaian, peralatan dapur, hingga handphone bahkan sepeda motor. 
Tentu saja, pagi itu jadi begitu berwarna - warni. Dan tahukah kawan, mengapa dulu aku begitu gemar berjalan - jalan pagi ke sini? Selain untuk berolahraga dan  kuliner pastinya, hal utama lain yang membuatku ketagihan adalah banyak sekali malaikat - malaikat kecil nan imut bertebaran di pagi itu. Senang dan gemas rasanya memandangi wajah dan tatapan polos mereka. Tak ada beban, tak ada kebohongan, yang tergambar hanya kesucian dan ketulusan. That's why i really love kids..
Seusai sarapan, kami langsung menuju ke lokasi pembersihan diri. Beruntung ada Bogi, yang rumahnya bisa menjadi tempat kami bersinggah dan melepaskan lelah. Thank's boy... :-)

Pukul 10.00 tepat, kami tiba di lokasi acara. Menyaksikan langsung prosesi akad nikah yang selalu, lagi dan lagi, membawa 'warna' itu menyapaku. Haru dan bahagia, tergambar jelas di wajah kedua sahabat kami hari itu. Indahnya mengamati kebahagiaan yang terpancar dari mata mereka yang hatinya telah diikat dalam ikatan yang suci dan halal. Sambil membayangkan, kapan giliran diri ini berada di posisi yang sama dengan mereka :-P
Dan seperti biasa, sesi poto - poto pun tak akan kami lewatkan.....

penampakan Denik, sahabat kami yang cantik :-)
Barokallahulakum..... :-)

Dan... ini lah kamiii.... :-D
Menjelang Duhur, kami pamit. Tentu saja, bukan untuk kembali ke Jember, tapi melanjutkan misi yakni jalan - jalan, hehe.... Keputusan pun telah dibuat, kami akan mengunjungi salah satu wisata alam di kota Batu yang cukup terkenal, Coban Rondo. Sebuah wana wisata air terjun yang terletak di desa Pandesari, kecamatan Pujon, Batu, dengan jarak tempuh sekira setengah jam dari pusat kota Malang

Mendengar namanya saja, tlah cukup membuatku kembali tersenyum - senyum sendiri lagi. Mengingat pernah beberapa pagi, siang dan malam, aku bersama sahabat - sahabatku semasa di SMK dulu, pernah berjuang di sini. Tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit, menahan dingin yang menusuk hingga tulang. Aktivitas dan kegemaran khas muda - mudi seusiaku saat itu. Beberapa villa tua peninggalan Belanda, jajaran pohon pinus yang tertata begitu rapi dan artistik, pohon berbunga menyerupai terompet yang menguning, posko polisi hutan, warung - warung yang berjajar di bagian depan lahan yang biasa digunakan untuk camping, semua masih sama. Dan kenangan - kenangan itu, terus menari - nari di kepalaku.


Tiba di lokasi, telah ramai sekali pengunjung. Aku baru ingat, hari itu memang hari Minggu. Setelah memastikan kendaraan kami terparkir dengan benar (mengingat lahan parkir yang kemiringannya nyaris 45 derajat :-D) dalam barisan tak beraturan, kami memasuki areal wisata. Beberapa meter dari pintu masuk, sebuah papan informasi langsung menyita perhatian kami, lebih tepatnya delapan kawanku. Aku langsung tahu, itu adalah asal mula dari air terjun yang bernama Coban Rondo ini. 


rame - rame


Kisah dibalik Air Terjun Coban Rondo, bermula dari sepasang pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Mempelai wanita bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi, sedangkan mempelai pria bernama Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Setelah usia pernikahan mereka menginjak usia 36 hari atau disebut dengan Selapan (bahasa jawa). Dewi Anjarwati mengajak suaminya berkunjung ke Gunung Anjasmoro, yang merupakan asal dari suami. Namun orang tua Anjarwati melarang kedua mempelai pergi karena usia pernikahan mereka baru berusia 36 hari atau disebut selapan. Namun kedua mempelai tersebut bersikeras pergi dengan resiko apapun yang terjadi di perjalanan.

Ketika di tengah perjalanan keduanya dikejutkan dengan hadirnya Joko Lelono, yang tidak jelas asal-usulnya. Nampaknya Joko Lelono terpikat dengan kecantikan Dewi Anjarwati, dan berusaha merebutnya. Akibatnya perkelahian antara Joko Lelono dengan Raden Baron Kusumo tidak terhindarkan. Kepada para pembantunya atau disebut juga puno kawan yang menyertai kedua mempelai tersebut, Raden Baron Kusumo berpesan agar Dewi Anjarwati disembunyikan di suatu tempat yang terdapat di Coban atau air terjun. Perkelahian antara Raden Baron Kusumo dengan Joko Lelono berlangsung seru dan mereka berdua gugur. Akibatnya Dewi Anjarwati menjadi seorang janda yang dalam bahasa jawa disebut Rondo. Sejak saat itulah Coban atau air terjun tempat bersembunyi Dewi Anjarwati dikenal dengan COBAN RONDO. Konon batu besar di bawah air terjun merupakan tempat duduk sang putri yang merenungi nasibnya. 


pose di sisa2 tenaga

Aku langsung tersenyum geli, setelah membaca ulang asal muasal Coban Rondo itu. Teringat selorohku saat perjalanan berangkat menuju ke Malang pagi hari tadi, menjawab seorang kawan yang bertanya, apa itu coban rondo. Dan dengan entengnya aku berkata "Air terjun yang banyak jandanya...".
"Wah, kalo gitu mari kita cari janda di sana.....", ditimpali seorang kawan yang lain. :-D


terbentang angkuh dan gagah

Jadilah kami di siang menjelang sore itu, menikmati sejuk dan dinginnya percikan - percikan air terjun sambil terus mengagumi indah dan gagahnya bentangan tebing yang mengelilingi areal itu. Dan tentunya yang tak pernah boleh lupa, mengabadikan semua keindahan itu berbalut dengan warna - warni ekspresi kami. 'Niki'ku benar - benar bermanfaat dan bekerja keras seharian itu.
Tepat menjelang ashar, kami memutuskan untuk mengakhiri petualangan. Selain karena khawatir malam segera menjelang dan esok kami sudah harus kembali beraktivitas, kami juga sudah cukup merasa puas dan telah hinggapnya lelah di wajah - wajah kami.
Petualangan kami hari itu, diakhiri dengan mampir di salah satu kedai bakso yang cukup terkenal di Probolinggo, Bakso Edy. Bagaimana tidak terkenal, sedang bangku yang kududuki saja, bertuliskan "Di sini pernah duduk Adjie Masaid dan Reza Artamevia" lengkap dengan tanda tangan keduanya :-D




Terima kasih teman, tuk warna - warni yang kalian lukiskan di 20 Februari 2011 ini.  Untuk Denik dan Mas Roni, selamat berbahagia. Moga ridho Allah selalu menyertai kalian berdua, dan cepat buatkan kami ponakan yang lucu - lucu ya.. :-D
Dan bagi seseorang, atau siapapun yang merasa pernah melewatkan waktu bersamaku dalam setiap tempat yang kukisahkan pada paragraf - paragraf di atas tadi, aku merindukan kalian..... :-)

Senin, 21 Februari 2011

Curhat Colongan Pagi Ini

"Ya gini ini, mbak... kalo sudah jam 7-an, anak sekolah dah pada berangkat, ya mesti sepi..... Dah terlalu banyak yang punya motor soalnya....."

Begitulah sekilas percakapanku dengan bapak sopir angkot yang tak sempat kutanyai siapa namanya pagi tadi. Jelas, beberapa kalimat yang meluncur dari lisan lelaki paruh baya itu, tak bisa disembunyikan sirat kekecewaan, betapa semakin banyaknya pengguna dan pemilik sepeda motor, membuat mereka secara tidak langsung namun pasti, jadi kehilangan pelanggan/penumpang. Kebanyakan orang memang lebih memilih jalan untuk mengkredit sepeda motor, sambil menikmati cicilan per bulannya dan terus beraktivitas sehari - hari.

Tak kupungkiri, adanya kendaraan pribadi, membuat seseorang jauh lebih fleksibel dalam hal mobilitas. Terlebih mereka yang termasuk dalam golongan MSSS (Manusia Sangat Super Sibuk). Yang dalam sehari, bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, lebih dari 10 kali :-P Jika ingin melakukan kalkulasi perhitungan dalam bentuk nilai rupiah, tentu saja melakukan cicilan tiap bulan untuk membayar kredit kendaraan, tak kan jauh berbeda dengan biaya yang harus dikeluarkan jika harus berpindah ke sana ke mari dengan menggunakan angkot atau kendaraan umum. Bahkan mungkin lebih hemat. Dengan kendaraan pribadi pun, kita tak perlu khawatir dan resah dalam penantian jika angkot yang dinanti tak kunjung lewat, tak perlu bersusah payah berebut atau berdesak - desakkan ketika kondisi angkot penuh penumpang, dan pastinya kita bebas memutuskan atau memilih bagaimana rute perjalanan sesuai dengan kepentingan dan kesibukan kita. (Masak iya, kita mo ngatur2 angkot buat jalan dan berhenti semau kita! :-D)

Kembali ke curhat colongan pak sopir di atas tadi, selama di perjalanan menuju kantor, aku jadi mencoba melihat keberadaan angkot vs motor pribadi ini dari sudut yang berbeda. Betapa memang keberadaan salah satunya turut mempengaruhi nasib subjek pelaku salah satu lainnya. Aku jadi berfikir, selama menjadi pengguna kendaraan pribadi beroda dua beberapa tahun ini, aku memang bisa dibilang jarang, bahkan mungkin tak pernah merasakan lagi yang namanya naik angkot. Beda dengan jaman masih memakai putih biru dulu. Pagi - pagi sudah berpeluh karena harus berjalan sekira 1 km-an ke ujung jalan besar tempat angkot biasanya lewat. Belum lagi jika harus berlari dan berebut dengan anak - anak sekolahan lainnya. Aku pun masih ingat, saat harus nekat bergelantungan di pinggir pintu bus kota bersama para lelaki berbaju SMA (karena waktu itu aku masih SMP), demi mengejar waktu yang mendekati detik - detik ditutupnya gerbang sekolah. Seru dan lucu sekali jika mengingat masa - masa itu. Aku jadi punya banyak kenalan sopir angkot, bapak - bapak tukang becak, dan anak - anak sekolahan lain yang bernasib sama, menjadi angkoter's setiap harinya :-)
Kebiasaan yang tak kusengaja ini, juga terbukti menjadi salah satu olahraga tak langsung yang menyehatkan. Ya, bukankah jalan kaki juga termasuk cabang olahraga yang sangat bermanfaat? :-)

Dan setelah bekerja dewasa ini, rasanya bisa dihitung kawan - kawan akrabku dari kalangan mereka. Pun, berapa kali aku bisa melontarkan salam atau minimal senyum  pada orang yang kutemui selama di perjalanan berangkat dan pulang. (Suatu kekonyolan saat aku harus tersenyum atau ngobrol sendiri dari atas sepeda motor yang kukendarai :-D)
Ternyata, bergantung pada angkot pun, tak semata - mata berkaitan dengan kata panas, lelah, berdesak - desakkan , dan terlambat. Semua hal tadi, sebetulnya bisa diatasi jika kita mau sedikit saja berperang dengan rasa malas dan mau berdisiplin waktu. Kesibukan sehari - hari pun dijamin akan menyisakan sedikit saja waktu untuk berolahraga, atau bahkan tak ada sama sekali. Dengan naik angkot sesekali, potensi terbakarnya kalori dan lemak - lemak jahat dijamin akan semakin besar. Apalagi jika ditambah harus berjalan kaki. Dan yang terpenting, kita jadi secara tak langsung bersodaqoh pada bapak - bapak sopir dan tukang becak itu. Setidaknya membuat mata air pencarian nafkah mereka sehari - hari, tetap deras mengalir. Atau minimal, dengan salam dan senyum yang kita punya. Bukankah Rasulullah pun bersabda, bahwa tersenyum juga adalah salah satu bentuk amal yang terkecil ? - Apabila kamu tidak dapat memberikan kebaikan kepada orang lain dengan kekayaanmu, berilah mereka kebaikan dengan wajahmu yang berseri-seri, disertai akhlak yang baik -
Dan tentunya, kenikmatan lain yang tak bisa didapat dengan hanya bergantung pada kendaraan pribadi adalah, indahnya silaturrahim. :-)

Aku bersyukur duduk di kursi penumpang saat mendengarkan curahan hati bapak sopir angkot pagi tadi. Walau sisi hati kecilku yang lain sempat terketuk, betapa aku pun pernah berada di posisi mereka yang keberadaannya membawa keresahan tersendiri bagi bapak sopir angkot. Turun dari angkot, selesai mengucapkan terima kasih padanya, aku tersenyum. Dan menyadari bahwa hari ini aku telah belajar lagi satu hal. Bahwa tak selamanya, kehilangan itu selalu menyisakan kesedihan. Dan terima kasih untuk seseorang yang sudah ikut menguatkan dengan kata - katanya, "Bukan belajar hidup susah, tapi belajar bersyukur dalam kondisi apapun....."

Senin, 14 Februari 2011

Long Distance Marriage

Tak pernah terbersit sebelumnya dalam benak, jika suatu hari nanti harus dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Cita - cita atau cinta ?
Tak bisakah kita menggapai keduanya bersama? Benarkah harus selalu ada yang dikorbankan?
Ada seorang sahabat yang berujar, tiap orang bolehlah punya cita - cita, namun tanpa cinta, dapat dipastikan hidup mereka akan hampa. Cita - cita bisa disusun kembali bersama cinta di sisi kita. Namun benarkah semudah itu? Bagaimana jika ternyata bersama cinta, ada sebuah penyesalan, kekecewaan, ketidaktulusan, karena cita - cita yang sesungguhnya belum pernah berhasil diraih.

Kemarin, tak sengaja menemukan sebuah artikel tentang LDM (Long Distance Marriage), ya, hubungan pernikahan jarak jauh. Dari cerita dan kisah - kisah di dalamnya, agak serem dan ngeri juga membayangkan. Saat semua tentunya akan begitu indah, manis dan halal dalam sebuah biduk pernikahan, namun nyatanya raga harus terpisahkan dari yang terkasih.
Lalu kira - kira, bagaimana agama sendiri memandang hal tersebut ?

Yang jelas ada sebuah atsar atau contoh dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu kali Khalifah ‘Umar bin Khattab mendengar seorang perempuan berkeluh kesah karena merindukan suaminya yang belum juga kembali dari medan perang, dan ketakutannya akan berbuat dosa karena mengharapkan sentuhan kasih sayang. Maka Khalifah ‘Umar pun bertanya kepada putrinya sendiri, Hafsah, sang Ummul Mu’minun (ibunda kaum beriman) yang juga istri Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berapa lama kiranya seorang istri dapat bersabar ditinggal oleh suaminya. Empat hingga enam bulan, ujar Hafsah. Maka sejak itu, ‘Umar bin Khattab’ menetapkan bahwa seorang prajurit Muslim tidak boleh pergi ke medan perang lebih dari empat bulan.
Di masa ini – bukan perang fii sabililah yang memisahkan suami dari istrinya – maka perlu kita pertanyakan benar se-urgent apa long distance marriage. Tidak sedikit rumah tangga rusak kesuciannya karena si istri atau si suami pergi dalam jangka waktu sangat lama. Di surat kabar, majalah dan media elektronik bertaburan cerita tentang seorang lelaki yang melampiaskan nafsu seksualnya kepada yang haram, karena si istri bekerja sekian tahun lamanya di Saudi Arabia atau tempat-tempat lain. Kita dapati juga berita-berita tentang perempuan-perempuan yang rusak akhlaqnya – berzina dan kemudian hamil - dengan lelaki – lelaki asing di tempat mereka bekerja.

Pernikahan, tentu saja, bukan sekedar sarana memperoleh kepuasan seksual namun melibatkan seluruh fungsi pernikahan yang ditetapkan oleh Syari’ah dan dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya saja, suami adalah pemberi nafkah istri dan anak-anak nya, tapi dia juga seorang Imam yang harus memastikan kelurusan aqidah dan ibadah keluarganya. Dia seorang pelindung yang menjaga anak istrinya dari marabahaya fisik, sekaligus mata air kasih sayang rumah tangga sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu bersikap lembut dan penuh cinta kepada anak-anak dan istri-istrinya.

Rumah Tangga adalah jalinan hak dan kewajiban kepada Allah Ta’ala dan jalinan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Suami memikul segerobak tanggung jawab kepada Allah dan kepada istrinya, selain tentu saja memiliki hak-hak atas istrinya yang tak boleh dilanggar oleh siapa pun, termasuk oleh si istri sendiri. Demikian pula, seorang perempuan memikul beban syariah yang luar biasa karena statusnya sebagai istri. Mereka memikul beban tanggung jawab kepada sang suami, sekaligus memiliki segerobak hak yang dia bisa tuntut dari suami nya dan hak ini tak boleh dilanggar oleh siapa pun apa lagi oleh suaminya.

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya seorang istri belum dapat dikatakan telah menunaikan kewajibannya terhadap Allah sehingga ia telah menunaikan kewajibannya terhadap suaminya seutuhnya. Dan Jika suami nya memerlukannya sedangkan pada waktu itu dia sedang berada di atas kendaraan, maka tidak boleh ia menolaknya” (HR Thabrani)
Lalu bagaimanakah bergudang-gudang hak dan kewajiban ini bisa tertunaikan dan terpelihara baik bila suami dan istri hidup berjauhan? Memang ada masa nya ketika perpisahan tidak bisa dielakkan misalnya ketika berperang atau berdagang dan seorang istri yang baik didefinisikan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 34 sebagai “Wanita yang shalihah adalah wanita yang taat pada Allah dan memelihara diri di balik suaminya (saat suami tidak ada) oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…  ”
Namun selayaknyalah long-distance marriage tidak dijadikan norma atau malahan dianggap biasa. Semestinya model rumah tangga seperti ini justru harus dijadikan keadaan darurat yang memaksa baik suami dan istri untuk terus berdoa kepada Allah Ta’ala dan berikhtiar untuk segera berkumpul.

Masalah juga bisa timbul akibat tidak terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing tadi. Suami dan Istri sama-sama memiliki kebutuhan lahir dan batin yang bisa muncul setiap saat dan tentu akan sulit terpenuhi bila berjauhan jarak. Ketika pasangan tidak ada disamping bila tidak disertai kekuatan iman, bisa jadi tergoda.
Ya, sebagaimana disentuh diatas, kesulitan utama saat jauh dari pasangan adalah menjaga diri. Hal inilah yang harus ditanamkan pada masing-masing pasangan untuk menjaga aqidah dan seluruh jiwa dan raga agar tetap memelihara kesucian dan kehormatan diri dan rumahtangga.
Dibutuhkan komitmen luar biasa besar bagi suami dan istri untuk terus memelihara diri agar berjalan dalam syari’ah saat terpisah jauh dari pasangan mereka. Jangan lupa pula untuk memilih lingkungan dan pergaulan yang baik. Bila istri ditinggal suami, maka pastikan tempat tinggal istri memang aman sehingga istri juga bisa menjaga diri.
Selain itu, pasangan harus membuat program komunikasi yang baik. Jangan berpisah begitu saja. Misalnya jadwal kunjungan yang rutin, baik si suami yang pulang ke rumah setiap dua minggu sekali, atau si istri yang berkunjung ke kota atau negara tempat suami bekerja.

Menjalani long distance marriage memang ibarat memakan buah simalakama. Pilihan untuk hidup bersama atau hidup terpisah sama-sama mengandung resiko yang tak ringan. Maka, yang penting pasangan harus bisa menetapkan sebuah pilihan ingin membentuk sebuah keluarga seperti apa. Lalu, mintalah kepada Allah dalam do’a yang sungguh-sungguh agar bisa membentuk keluarga seperti itu. InsyaAllah do’a yang penuh keikhlasan akan dikabulkan Allah.

Bagi siapapun yang mungkin kini berada dalam kondisi ini, -sedang menjalani LDM, atau baru berkehendak memutuskan ber-LDM- esensi dari semuanya adalah, hidup tetaplah sebuah pilihan. Jikalau memang mungkin teraih seluruh yang kita inginkan, pasti ada salah satu atau bahkan salah dua yang prosentasenya akan menjadi lebih kecil dari yang lain. Yang menjadi target utama adalah, betapa hati dan raga itu sesungguhnya telah terjaga dalam sebuah ikatan yang suci dan halal. Bukankah menikah termasuk dalam ibadah yang sangat bagus untuk disegerakan :-) Tentang jarak yang masih memisahkan, kembali pada kekuatan azzam dan komitmen dari kedua belah pihak. InsyaAllah Rabb, akan menunjukkan jalan dengan kuasa-Nya. Karna bukankah Ia tak akan pernah memberikan masalah tanpa solusi kepada hamba, padahal keadilan dan keseimbangan adalah Maha Sifat-Nya...


sumber + nara sumber : teman, sahabat, saudara, berbagai artikel

Sabtu, 12 Februari 2011

.............................

Mengertilah....
dalam diamku, aku tak pernah berlari...
Percayalah....
dalam diamku, kuhanya ingin terus merenungi...
sudahkah diri ini menjadi seperti,
yang kuingini sendiri pada insan yang kunanti......

karna mungkin,
hanya waktu yang tahu,
kumasih menjaga hati.......

Rabu, 02 Februari 2011

Purple Day

Pernahkah mengalami sesi perkuliahan yang rasanya sudah seperti pesta kostum ? Di mana semua hadirinnya, memakai kostum dan pernak pernik yang identik sama. Itu terjadi beberapa hari yang lalu. Di salah satu jam praktikum di kampusku. 
Tepat seusai maghrib, kumasuki halaman kampus yang sudah mulai penuh celoteh dan lalu lalang para mahasiswa kelas sore sepertiku. Jam pertama ini, adalah praktikum di labotorium A yang letaknya di sebelah selatan gedung utama. Kubelokkan motor kesayangan menuju lahan parkir. 
Tak begitu mengamati satu per satu, teman - teman sekelas ternyata sudah membentuk semacam gerombolan di dekat pintu keluar lahan parkir. "Pasti sedang membahas tugas", batinku menggumam. Sesaat setelah memastikan motorku terkunci dengan benar, kuhampiri gerombolan mereka. Sambil mengucap salam, dan meringis khas seperti yang biasa kulakukan untuk menyapa kawan - kawanku.

"Weleh...ungu rekk... janda..janda....", seloroh Hariz, teman sekelas yang paling banyak bicara menurutku.
"Opo ae to yoo....", kutimpali selorohnya sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, datang Ayu, dan disusul oleh Yanti di belakangnya. "Iki dino opo seh? Kok semua cewek2 pada pake ungu?", Pak Soleh ikut bersuara.
Tanpa sadar, kami para perempuan di gerombolan itu, saling mengamati satu sama lain. Terdiam sejenak, lalu tertawa bersama. Kami baru sadar, kami berlima saat itu, Heny, Cici, Ayu, Nurul, dan aku, memakai baju dengan warna yang sama, ungu.
"Wah kudu dipoto sek iki engko... jarang2..." Cici menimpali dengan semangat.
"Iya.. iya... ini tanggal berapa se, kok bisa kita kompakan gini tanpa rencana....Wajib dicatet iki!" Ayu ikut - ikutan tak kalah menggebu.
Sambil masih tersenyum - senyum gerombolan kami mulai memecah dan membentuk barisan tak beraturan, berjalan menuju laboratorium. Karna beberapa menit setelah itu, sebuah sedan berwarna gelap melintas. Dan kami tahu, itu mobil yang biasa membawa Bu Yeni, dosen praktikum kami.

Di dalam laboratorium, dengan lampu penerangan yang cukup, semakin terlihat ungu - ungu bertebaran di mana - mana. Terlihat manis dan cantik sekali ( Sejak kapan aku jadi kagum sama warna ini.. hadeehh... >,< ) Kami sengaja duduk menyebar seperti biasa. Biar adil dan merata, begitu kata teman - teman. Mengingat kaum hawa di kelas kami yang hanya 7 gelintir. Tak berselang lama, Bu Yeni masuk kelas.
"Assalamu'alaykum...." seperti biasa, Bu Yeni memasuki kelas sambil menyapa kami dengan tas ransel besar di punggungnya. 
"Wa'alaykumsalam..... lho yaaa......." serempak, salam yang seharusnya cukup Wa'alaykumsalam itu, jadi mendapat imbuhan kalimat - kalimat seru dari kami. Dan tahu karna apa?
Tanpa kami duga - duga, ternyata Bu Yeni juga memakai baju berwarna ungu............... :D