Jumat, 16 Desember 2011

Bontotan?

Sebenarnya sangat sederhana. Ini hanya tentang sekotak nasi, lengkap dengan lauk pauk yang biasanya akan begitu akrab kita lihat di jam - jam makan siang. Entah itu di sekolah, kantor, bahkan mungkin di dalam bis kota yang tengah melaju di keramaian.
Bekal, bontotan, atau apalah kita biasa menyebutnya, adalah salah satu cara yang dipilih oleh mereka yang berusaha pintar dan bijak dalam hal keuangan dan kebutuhan. Kebutuhan untuk memberikan nutrisi bagi tubuh, kebutuhan untuk tetap dan selalu sehat, sekaligus kebutuhan untuk mengendalikan arus keuangan sepintar mungkin.
Bagi kebanyakan orang tua, membawakan bekal bagi putra - putri tercinta, selain lebih ekonomis dari segi finansial, tentunya juga akan lebih menjamin kebersihan dan kualitas makanan yang dikonsumsi buah hati mereka. Dan ternyata pertimbangan ini pun, tak berubah di kalangan para pekerja. Atau malah justru kalangan pekerja inilah yang lebih perhitungan dalam hal ini,ya.. :D


Cukup dengan berkorban untuk bangun lebih pagi dan tentunya sedikit saja rasa repot berkutat di dapur, untuk bisa menghadirkan bekal makan siang ini. Imbalannya, kita tak perlu pusing lagi, berfikir dan mencari tempat makan siang yang mungkin kita sudah merasa bosan dengan menu dan kondisi yang itu - itu saja. Dengan si kotak nasi yang ajaib ini, kita pun tak perlu capek - capek dan berlama - lama meninggalkan pekerjaan kita. Terutama mungkin bagi mereka yang lokasi kantornya jauh dari warung atau para penjaja makanan. Bolehlah jika dibilang, membawa bekal dari rumah juga salah satu jurus ampuh mengatasi bos yang sedikit cerewet dalam hal jam makan siang :P
Dan tentu yang terpenting dari semuanya, dengan menyiapkan sendiri bekal makanan yang akan kita konsumsi, kita akan selalu yakin tentang kebersihan dan kualitas makanan kita. Tanpa perlu khawatir tentang sayuran atau ikan yang belum benar - benar bersih tercuci, cara mengolah masakan yang kurang matang, atau hal - hal lainnya.

Perasaan bosan atau mungkin kondisi yang benar - benar tidak memungkinkan untuk menyiapkan semuanya dari rumah, bolehlah menjadi alasan bagi kita untuk sesekali makan di luar. Toh pun, kita juga pasti butuh bersosialisasi dengan rekan - rekan di luar kepentingan pekerjaan. Dan biasanya di waktu jam makan siang inilah momen ngobrol - ngobrol santai selalu bisa tercipta.


Hummm...jujur jadi kepikiran sama sang kekasih yang berjuang di ibu kota. Bekerja di kota besar yang tentunya menuntut pengorbanan hidup yang juga besar.
Sungguh betapa inginnya aku, bisa selalu menyiapkan untuknya bekal makan siang orisinil buatanku sendiri. Memastikan ia selalu sehat dengan makanan - makanan yang terjamin kualitas & kebersihannya. Sedikit membuat desain icon - icon lucu dengan nasi dan lauk pauknya, demi mencuri secuil senyumnya di tengah hari itu. Sambil sesekali, menyelipkan sepucuk surat di kotak makannya, yang bercerita tentang betapa aku mencintainya..Aiih.... :">


Maaf jika belum bisa menghadirkan itu semua ya, sayang...
Moga saat - saat itu, akan segera tiba, aamiin.....

Senin, 12 Desember 2011

Rimba Amniotik

Beberapa hari lagi sebelum kehadiranmu, atau bahkan beberapa jam?
Aku tak persis tahu.

Banyak yang ingin kuucapkan, tapi sepertinya kaulah yang sudah tahu.                                             
Sekian lama kita bernapas bersama, bergerak bersama, merasa bersama.                                            
Kau begitu dekat bahkan bersatu dengan tubuhku,                                                                               
tapi tetap saja, di sini aku menanti kehadiranmu.


Perjalananmu kelak hanyalah dari perutku menuju dekapanku.                                                           
Namun itulah perjalanan yang akan mengubah kita berdua.                                                             
Mengubah dunia.
Saat kau tiba, aku tak lagi menjadi manusia yang sama.                                                                        
Dan kau juga akan melihat dunia yang berbeda: terra firma.                                                                  

Selapis kulit saja tabir yang membatasi kita, tapi sungguh berkuasa.

Kau datang, dengan segala kegenapanmu.                                                                                           
Kau datang, bahkan sudah dengan nama.                                                                                                  
Kau datang, dengan segala pelajaran dan kebijaksanaan.
                                                                   
Aku memilihmu karena kita pernah sama-sama berjanji pada satu sama lain, lanjutmu lagi.                         
Saat kita berdua masih sama-sama ingat.                                                                                               
Saat kita berdua masih sama-sama di sisi lain dari koin ini.



Entah bagaimana harus aku mencintaimu.                                                                                             
Kau lebih seperti guru sekaligus sahabat.                                                                                            
Waktu kau tiba dalam bentuk mungil dan rapuh nanti, biarlah alam yang mengajarkanku untuk mencintaimu lagi dari nol.                                                                                                                                         

Seolah kita tak pernah bertemu sebelumnya, seolah kita tak pernah bercakap-cakap bagai dua manusia dewasa, karena dalam bahasa jiwa semua “seolah” yang kusebut barusan tiada guna.                                 
Waktu, usia, dan perbedaan jasad kita, lagi-lagi hanyalah hadiah dari sisi koin di mana kita sekarang tinggal. Hadiah yang harus direngkuh dan diterima.


Sembilan bulan ini mereka bilang aku tengah mengandungmu.                                                                

Aku ingin bilang, mereka salah.                                                                                                      

Kamulah yang mengandungku.                                                                                                                

Seorang ibu yang mengandung anak di rahimnya sesungguhnya sedang berada dalam rahim yang lebih besar lagi.                                                                                                                                                        
Dalam rahim itu, sang ibu dibentuk dan ditempa.                                                                                    
Embrio kecil itu mengemudikan hati, tubuh, dan hidupnya.



Terima kasih telah mengandungku;                                                                                            

menempatkanku dalam rimba amniotik di mana aku belajar ulang untuk mengapung bersama hidup,             
untuk berserah dan menerima apa pun yang kau persembahkan.                                                              
Kini dan nanti.                                                                                                                                 
Manis, pahit, sakit, senang,                                                                                                                      
kau ajari aku untuk berenang bersama itu semua,                                                                                
sebagaimana kau tengah berenang dalam tubuhku dan merasakan apa yang kurasa,                                      
mengecap apa yang kumakan,                                                                                                         
menghirup udara yang kuendus—tanpa bisa pilih-pilih.                                                                             
Kau terima semua yang kupersembahkan bagimu.



Terima kasih untuk perjalanan ini.                                                                                                       

Untuk pilihanmu datang melalui aku.                                                                                                  

Untuk proses yang tak selalu mudah tapi selalu indah.



Aku tak sabar untuk mengenalmu lagi.

Lagi dan lagi.


Salah satu fragmen dalam buku Madre,
ditulis ketika Dee sedang mengandung Atisha

Kamis, 08 Desember 2011

^_^


Thank you, Allah......

Selasa, 29 November 2011

....karena Kita.....


......penaku sepertinya patah, tintaku seakan mengering, untuk apalagi jutaan kata, ketika KAU saja, kini tlah cukup mewakilinya...
you and me = us ^_^

Sabtu, 08 Oktober 2011

08 Oktober 2011

Cukup lama kutekuri gundukan tanah kering di depanku. Panasnya cuaca karena musim kemarau, semakin menambah nuansa kering di tengah hari itu.Tanah yang kuingat jelas berwarna merah 5 tahun lalu, kini tlah banyak bercampur batu dan kerikil – kerikil kecil. Kuingat – ingat lagi, kapan terakhir aku mengunjungi tempat itu. Seminggu yang lalu? Sebulan? Tiga bulan? Ah.. saking seringnya, hingga aku sama sekali tak mampu mengingat, kapan terakhir kali menaburkan bunga mawar di atasnya.
Semenit….Dua menit….hingga 10 menit berselang, tak ada doa maupun lafadz – lafadz Illahi yang mengalir dari lisanku. Aku masih begitu asyik menikmati perenunganku, sambil sesekali mencoba menggelar adegan latar yang kulakonkan sendiri. Siang itu, rasanya begitu mudah menghadirkan sosok lelaki hebat yang sangat kucintai dalam hidupku itu. Walau hanya dalam bayang – bayang imajinasiku, ia seakan begitu nyata. Teduh suaranya, lembut belainya, wangi tubuhnya, dan segala tentang dirinya,membuatku semakin hanyut dan sejenak lupa tentang kapan dan di mana aku berada.
Tak terasa, sudah 5 tahun berlalu sejak kepergian lelaki sederhana nan penuh canda tawa itu. Rasanya tak perlu lagi kuceritakan, bagaimana rindu dan air mata ini slalu membuncah dan mengalir untuknya. Sama sekali tak ada maksud hatiku, untuk membuka dan kembali bernostalgi degan segala kisah dan kenang tentang dirinya. Namun di saat – saat seperti ini, sungguh tak mampu kucegah hatiku untuk sekedar menyapa dan tersenyum pada rangkaian kisah yang pernah ada. Saat – saat di mana, Allah memberi hadiah yang begitu indah di 23 tahun hidupku.
Ah.. Bapak… gadismu yang manja dan dulu begitu nakal, ingin mengabarkan sebuah berita bahagia untukmu. Seorang lelaki sederhana nan bersahaja sepertimu, telah memenangkan hatiku. Tapi kau tak perlu cemburu, Pak… Karena Ia sangat cerewet, sama sepertimu. Ia begitu perhatian, serupa sosokmu. Tentu ia juga cerdas dan pandai, seperti dirimu. Dan insyaAllah yang paling utama, ia adalah sosok lelaki solih yang kelak akan selalu membimbingku, berjuang, dan sejalan dalam iman.
Bapak… sungguh tak ada maksud hatiku untuk membuatmu cemburu. Aku masih ingat bagaimana sewot dan sebal rautmu, saat beberapa kali aku berceloteh riang tentang sahabat – sahabat lelakiku semasa masih kanak – kanak dulu. Aku sangat tahu bahwa kau tak ingin, ada lelaki yang lebih spesial di hatiku selain dirimu. Tapi beberapa saat lagi,pak… ketika kedewasaan telah menyapaku, izinkan putri kecilmu ini, untuk memutuskan & melabuhkan hati pada imam pilihannya. Beberapa jam lagi pak… walau tanpa kehadiranmu, ikhlaskanlah seorang wali hakim yang mengambil wewenang untuk menikahkan putrimu ini. Aku berjanji, rasa sayang itu tak akan pernah berubah. Kau tetap lelaki & ayah terhebat yang memiliki tempat tersendiri di hatiku. Dan bersamanya, Pak… kuingin menjadi pribadi yang jauh lebih baik & solihah, hingga terus bisa mengiringi perjalananmu dengan doa – doaku.

Malam ini, di ruang yang telah berhias bunga – bunga wangi nan cantik ini, di tengah sedu sedan dan air mata bahagia bercampur rindu, kumantabkan hati dalam sebuah harap dan doa, Ya Rabbanaa… persatukanlah aku kelak, dengan mereka yang kucintai, di Jannah-Mu…… aamiin….

Kamis, 15 September 2011

....Tik....tuk....

....tik....tuk.....tik...tuk.....tik...tuk....
ada bahagia yang menyelinap,

....tik....tuk.....tik...tuk.....tik...tuk....
namun ada pula rasa takut yang senyap - senyap hinggap,
....tik....tuk.....tik...tuk.....tik...tuk....
dan sang waktu, ia tetap saja terus merayap........




Sabtu, 20 Agustus 2011

Semua tentang Kita

Gemuruh yang memecah keangkuhan sunyi....
kita tertawa lepas di bawahnya,
berlarian dan saling berteriak seperti anak kecil,
sahut menyahut seakan tak mau kalah oleh gemuruh air,
ingin tunjukkan pada semesta, bahwa kita ada......

Setapak yang kadang terjal dan mendaki,
kita lalui bersama tanpa sedikitpun peduli.
Kita tahu.... Kita telah sama - sama lelah,
namun senyum dan celoteh itu, yang menguatkan kita untuk terus melangkah...

Beralaskan pasir putih,
dan ombak yang datang dan pergi membawa gelitik buih.
Berbalut semangat dan tawa,
mengalir berjuta mimpi dan cita dari lisan kita
Sambil tak kapok - kapoknya menebak, mana benua Australia.
Lupa waktu,
memandangi laut lepas, seakan kita pun bersama - sama ingin terbang bebas....

Gubug kecil di pinggiran danau yang menjadi saksi.
Bagaimana kita berdebat tentang rajawali,
dan sok peduli mengomentari sampah yang berserak di sana - sini.
Satu yang paling kuingat dalam perjalanan ini.
Kita yang saling menertawakan,
kekonyolanku berteriak histeris tak karuan,
saat kita nekat mencuri jalan,
dan harus meniti jembatan yang cukup tinggi..

Malang ( Coban Rondo - Coban Talun - Coban Pelangi - Coban Rais - Balekambang - Lembah Dieng )
Kita pernah ada dan menoreh senyum di sana.......
 Aku merindukan kita..........

Sabtu, 06 Agustus 2011

Bintang



Bintang - bintang itu, berkelip isyaratkan sesuatu,
adakah ia merindu..... ? 

Rabu, 03 Agustus 2011

Ibu atau Istri

Ketika seorang lelaki dihadapkan pada pilihan, ibu atau istrinya, mana yang harus ia dahulukan ?

Tergelitik sekali hati ini, ketika melihat salah satu scene sinema Ramadhan 'Para Pencari Tuhan 5' yang menceritakan tentang bagaimana seorang suami dihadapkan pada kondisi dilematis, harus memilih atau mendahulukan siapa, antara ibu atau istrinya. Azam (Agus Kuncoro) memilih untuk keluar rumah dan pura - pura tidak mendengar apapun, ketika ibu dan Aya (Zaskia) istrinya, memanggil namanya dari dalam kamar mereka pada waktu yang bersamaan. Baginya itu adalah yang paling adil, ketimbang bingung memutuskan harus masuk ke kamar yang mana. Hingga celetuk Azam yang terakhir kudengar, "Ibu dan istriku... keduanya adalah pintu surga yang sama - sama sulit......"
Dan masih banyak scene - scene lain, yang mengisahkan hal serupa. Yang dari kesemuanya, selalu membuatku tersenyum - senyum geli sendiri namun akhirnya merenung dan tergelitik untuk menuliskan ini.

Hasil surveyku terhadap beberapa kawan lelaki, hampir keseluruhan dari mereka, adalah 'anak ibu'. Bukan. Bukan berarti anak ibu yang aku maksud di sini adalah anak manja yang selalu bersembunyi di balik ketiak ibunya. Anak ibu yang kumaksud, adalah mereka yang begitu menyayangi dan sangat dekat sekali dengan ibunya. Ya, sebengal apapun dia, secuek apapun sosoknya, tapi saat dihadapkan pada satu kata, ibu, semua tadi langsung berganti dengan kelembutan dan kasih sayang. Aku pribadi, adalah seseorang yang begitu mengagumi siapapun lelaki yang sangat menyayangi dan memuliakan ibunya. Karena biasanya, dengan sikap dasar itu, mereka pun akan selalu memuliakan wanita, termasuk istrinya nanti.

Lalu bagaimana jika suatu hari nanti kita dihadapkan pada kondisi, memiliki suami yang begitu menyayangi ibunya ? Atau sebaliknya, memiliki ibu mertua yang sangat menyayangi anak lelakinya ? Tak perlu meriang dan panas dingin dulu. Yuk, coba kita pahami lagi bagaimana kedudukan ibu, suami dan kita sebagai seorang istri.
Ibu, adalah seseorang yang mengandung, melahirkan, merawat, serta mendidik suami kita hingga bisa sesempurna saat ini. Suatu hal yang wajar jika seorang ibu begitu mencintai dan menginginkan yang terbaik bagi buah hatinya. Bukankah demikian juga yang tercermin dari ibu kita sendiri. Dan dalam Islam, bagi seorang lelaki yang telah menikah, yang paling berhak atas ketaatan dirinya adalah ibunya. Sedangkan yang paling berhak atas ketaatan dan diri seorang istri adalah suaminya. Tentunya ini juga tidak berarti bahwa seorang suami hanya wajib memberikan ketaatan dan perhatian lebih kepada ibunya seorang, karena hak seorang istri kepadanya, juga menuntut sebuah tanggung jawab besar yang harus ditunaikan. Seorang suami yang berbekal ilmu, dan tentunya iman dan taqwa, pasti mampu dengan adil mengkondisikan hal ini sesuai keadaan dan kebutuhan saat itu. Suami jugalah yang wajib mendidik dan mengajarkan pada istrinya, bagaimana adab kepada kedua orang tua. Baik kepada kedua orang tuanya sendiri, maupun kedua orang tua suami. Mendidik melalui teladan yang diberikan, mungkin adalah cara yang terbaik. Dengan suami yang menghormati dan memuliakan orang tua istri, maka seorang istri pun diharapkan juga akan menghormati dan memuliakan orang tua suaminya.

Seorang istri, siapapun dan bagaimanapun sosoknya, pastilah ingin diperhatikan dan disayangi secara utuh. Terlebih oleh seseorang yang telah mengkhitbah dan menikahinya. Dan satu hal penting yang harus disadari oleh seorang istri nanti, bahwa mereka tidak hanya menikahi seorang lelaki saja, melainkan juga apa - apa saja yang suaminya miliki, termasuk orang tua dan seluruh keluarganya. Ibu suami kita nanti, juga adalah ibu kita. Jadi tidak perlu ragu untuk bersahabat dengannya. :-)

Perselisihan dan perbedaan pendapat yang terjadi di tengah perjalanan nanti, tentu adalah hal yang sangat lumrah. Karena justru disitulah letak indahnya sebuah pernikahan. Ketika beragam perbedaan tidak harus selalu dileburkan, melainkan diselaraskan walau tetap dengan warna warninya masing - masing. Dan yang terpenting, dari situlah kita dapatkan hikmah yang mendewasakan.
Jauhkan diri dari segala prasangka. Ikhlaskan setiap langkah hanya untuk beribadah dan mencari keridhoan-Nya. Ketika kita berjuang sekuat tenaga untuk menjadi istri yang baik, ibu suami kita pun pasti dengan otomatis akan menyayangi dan menghargai perjuangan kita. Karna beliau tahu, bersama kita, putra tercintanya pun mendapatkan kebahagiaan.

Rasa cemburu adalah rasa yang begitu wajar dan sangat manusiawi. Namun jika hal ini bisa sama - sama kita sadari dan pahami, tak ada alasan lagi bagi seorang istri untuk cemburu berlebihan terhadap ibu suaminya, bukan? :-)


~lecutan semangat bagi diri sendiri,untuk terus belajar dan belajar~

Selasa, 02 Agustus 2011

Menyapamu (kembali)

Tak ada yang lebih pantas terucap dari lisan ini selain ungkap syukur tak terhingga, karena Allah telah sekali lagi memberi aku, kamu, dan kita semua kesempatan untuk menyapa Ramadhan.
Selalu ada semangat baru.... selalu ada kisah dan hikmah baru.....selalu ada jiwa - jiwa yang terlahir baru.... Itulah yang kurasakan setiap kali Ramadhan datang. Bagaimana mungkin bahagia tak menyapaku pula di saat - saat seperti ini. Hari - hari yang tak pernah tak kurindukan kehadirannya di sepanjang tahun.

Entah kebetulan atau apa, Ramadhan kali ini dimulai di tanggal 1 Agustus, dengan harinya yang Senin pula. Hari di mana semua orang mengawali aktivitasnya seminggu ke depan. Bagiku, ini terasa pas sekali. Dan pagi tadi, walau masih dengan mata sedikit lengket dan jiwa yang aras - arasen, kupaksakan raga ini membelah dinginnya udara pagi bersama 'Upik' yang kini adalah teman setia ke manapun aku pergi.
Tiba di halaman parkir kantor, tak terlalu banyak yang berbeda. Hanya yang kurasakan, pagi itu terasa sunyi dan lengang. Entah aku yang kepagian, atau memang mayoritas orang lebih memilih 'beribadah' lebih maksimal di awal Ramadhan ini.

Ada hikmah dan kisah baru yang langsung dihadirkan oleh Allah, di awal Ramadhanku ini. Ya, aku, mungkin lebih tepatnya kami, baru saja kehilangan seorang sahabat, kakak, istri, sekaligus ibu yang ketegaran & ketabahannya patut diteladani. Duka menyapa kami.
Mbak Yurike, begitu kami biasa memanggilnya, dipanggil oleh Allah di usianya yang masih begitu muda hari Sabtu lalu. Mbak Rike adalah kakak kelas yang terpaut 4 tahun di atasku saat SMK dulu. Aku sendiri baru mengenalnya saat telah benar - benar hijrah di kota kelahiranku ini. Kala itu, aku bersama rekan sesama alumni yang berdomisili di Jember, mengunjungi mbak Rike untuk menjenguk sekaligus menyampaikan amanah dari rekan - rekan alumni Wikusama yang tersebar di berbagai kota dan provinsi.
Sudah cukup lama memang, mbak Rike harus berjuang dan bertahan dengan Diabetes yang semakin waktu makin melemahkan tubuhnya. Hingga terakhir, ia harus benar - benar bergantung pada suntikan insulin yang tidak pernah boleh telat waktu sekaligus takarannya.
Dengan kondisi kesehatan seperti itu, mbak Rike tidak pernah berhenti untuk terus berkarya. Ia memang sosok perempuan yang lincah dan selalu ingin memanfaatkan setiap peluang yang ia miliki. Terlihat jelas sekali di matanya, ia tak pernah mau bergantung dan menyusahkan siapapun. Kemauannya tinggi, walau sesungguhnya ia sangat menyadari itu tak didukung oleh kondisi fisiknya.
"Aku cuma ndak pengen nganggur dan akhirnya malah ngerasain + kepikiran sama sakitku.... tambah stress..." itu yang selalu ia ucapkan saat kami, sahabat - sahabat dan keluarga, mengingatkan tentang kondisi kesehatannya.

Mulai dari usaha catering yang dikerjakannya seorang diri, reseller peralatan rumah tangga, krupuk, aneka makanan,kue kering, souvenir, dan apapun yang bisa ia jual, semua dilakoninya demi terus bertahan dan melawan sisi lain dari jiwanya yang memaksa untuk kalah dan menyerah pada penyakitnya.Mbak Rike benar - benar mengajarkan padaku tentang keuletan, kerja keras, dan perjuangan dalam hidup. Malu rasanya, jika menyadari diri yang diberi kesempurnaan dan kesehatan ini, masih sering kufur akan nikmat dan mudah mengeluh saat mendapat cobaan.

Yang terbayang pertama kali saat mendengar berita duka ini adalah, Jendra dan Bisma. Dua putra kecil yang dititipkan Allah pada ibu muda ini. Tak tega rasanya membayangkan 2 anak yang masih berada di usia emas, harus kehilangan peluk dan belai mesra kasih sayang seorang ibu. Aku hanya percaya, bahwa Allah adalah Maha Penjaga, Maha Pelindung, dan Maha Kaya. Aku pun yakin, takdir ini adalah yang terbaik bagi mbak Rike juga seluruh keluarga yang ditinggalkan.

Hal penting lain yang juga tak mungkin kulupakan dalam episode ini, adalah tingginya kesetiakawanan dan kepedulian yang diajarkan oleh ikatan alumni SMK ku ini. Aku sendiri yang menyaksikan dengan mata kepala ini, mulai dari mbak Rike masih sakit, hingga terakhir kemarin,  bantuan baik berupa spirit, doa hingga materi tak henti - hentinya mengalir. Tak heran saat kami berpamitan untuk pulang sambil menyerahkan amanah dari teman - teman, Ibu mbak Rike langsung memeluk kami. Tangisnya pun pecah. Beliau menyampaikan ungkap haru & terima kasih atas kepedulian sahabat - sahabat mbak Rike, alumni MOKLET selama ini.
SubhanAllah... sungguh aku bersyukur sekaligus bangga, telah menjadi bagian dari keluarga besar nan hangat ini. Semoga silaturahim ini akan kekal terjaga hingga nanti. Hingga satu persatu dari kita pun, akan memasuki episode yang mbak Rike jalani saat ini. Dan semoga kita masih mampu saling menebarkan kehangatan dan manfaat.

"Selamat jalan sahabat kami...... moga Allah mengampuni segala dosa dan memberikan padamu tempat yang terbaik di sisi-Nya........"

p.s. : "Jendra....Bisma.... tetap jadi anak yang kuat ya.... Percayalah...bunda sangat menyayangi kalian.... Dan bahagiakan bunda di sana, dengan menjadi anak yang soleh......"

Kamis, 28 Juli 2011

Senja

Aku takut menjadi tua.
ketika raga yang renta, tak lagi kuasa berikan manfaat bagi sesama.


Aku tak yakin sanggup hingga berusia senja.
Jika langkah demi langkah, hanya kuhiasi dengan dosa.


Sungguh, aku semakin takut untuk menjadi tua.
Jika tempat tidur di mana kita biasa bercanda,
sofa - sofa usang di mana kita biasa bercengkrama,
ayunan & taman belakang rumah di mana kita biasa saling menggoda,
dapur tempat di mana kita tak pernah mau kalah untuk menjadi yang pertama,


tak kudapati kau di sana........

Selasa, 26 Juli 2011

Menjelang Fajar

Sambil tersenyum dan tersipu malu.... kugoreskan sebuah nyanyian tentang cinta lewat selembar kertas berwarna ungu muda itu...
Aku jatuh cinta.... humm...mungkin! Karna dari kata - kata yang tertuang di sana, terbaca jelas kerinduan... rasa malu..... bahagia..... teraduk dan bersatu dalam sebuah prosa. Ini surat cintaku yang pertama.
Alamak... bagaimana bisa, aku bersyair dengan demikian indahnya? Aku yakin, yang menuliskannya bukan aku yang biasanya, melainkan jiwaku yang lain yang baru saja hadir dari surga dan ungkapkan keindahan di sana.
Indahnya di mabuk asmara.........

Kekhusyukanku terusik oleh sebuah lengan yang tiba2 terjulur ke arahku, dan dengan begitu sigap meraih selembar kertas nan wangi yang membuatku nyaris menjadi seorang pujangga.
Oh tidak.... bapak merebutnya dariku... dan tentunya dengan seribu rasa penasarannya, ingin segera ia baca lembaran yang berada di genggamannya kini. Lembaran yang membuat gadisnya tersipu - sipu malu sedari tadi.
Pucat pasi rasanya wajah ini, kutakut... kumalu jika bapak sampai membacanya. Jika bapak sampai tahu, putrinya ini sedang jatuh cinta.......
Dengan tak kalah sigap aku merampas kembali kertas yang dah mulai agak lungset (lecek red.) dan..berhasil....!!!
Hohoho...jangan remehkan putrimu ini bapak...! Aku masih belum kalah sigap dengan dirimu yang katanya dulu jago karate...

Dengan segera ingin kusimpan kertas itu..atau kalo perlu ingin kurobek2 saja sekalian biar tak ada yang bisa membacanya & merebutnya lagi dariku. Tapi belum sempat kulaksanakan niatku, bapak menghambur ke arahku dan menyerang titik kelemahanku! Aku gelian banget orangnya. Dan....Terjadilah adegan "itik2" yang berlangsung cukup seru itu! Aku hanya bisa tertawa...lemas...dan akhirnya menyerah...... Uuuuuh..... gak adil...gak fear! Aku memilih menyerah daripada harus mati lemas kegelian....
"Hahahaha.... bapak menang.....! Cie.... ada yang lagi kasmaran nih..... ", ucapnya penuh dengan kesombongan.
Hiks... sambil malu2...kubalas meng"itik2" bapak... tapi sayang....beliau gak gelian.
Kami terlarut dalam tawa....dan kehangatan khas ayah dan gadisnya.

Hingga adzan subuh pun berkumandang.........
=========================================


Aaah..... ternyata aku hanya bermimpi. Tak ada bapak di sampingku. Yang kutemui hanya guling, Yama, serta novel2 berserakan yang selalu menemani tidurku.

"Bapak.... kangen aku, ya? Aku juga sangat merindukanmu.... "

Minggu, 26 Juni 2011

Matahariku

terkadang ia menyengat, namun tak menyakitkan....
tak jarang ia terasa hangat, namun tak melenakan....
tak berlebihan jika angkuhnya mengikat, sebagai poros beragam kebutuhan....

matahari yang kujumpai itu, bernama Cinta....... :-)


Minggu, 05 Juni 2011

Menikah



,adalah berani memutuskan untuk berlabuh,ketika ribuan kapal pesiar yang gemerlap memanggil-manggil...
,adalah proses penggabungan dua orang berkepala batu dalam satu ruangan dimana kemesraan, ciuman, dan pelukan yang berkepanjangan hanyalah bunga......

Jumat, 03 Juni 2011

Majelis Ilmu

Ada yang begitu kurindukan setiap Jumat menjelang. Selain karna itu pertanda bahwa esok harinya aku bisa bersantai - santai dan mandi siang :-p, ada hal lain yang insyaAllah bermanfaat dan sudah rutin aku jalani selama beberapa bulan terakhir ini. Menghilang dari pukul 11.00 hingga 12.30, kurang lebih satu setengah jam lamanya, selama para lelaki muslim di kantor sedang melaksanakan sholat Jumat, sekaligus istirahat siang.

Di kediaman seorang wanita bertutur kata lembut dan berwajah penuh senyum, kami biasa berkumpul. Meniatkan hati untuk belajar, berbagi, dan saling menimba ilmu. Mbak Nila. Kami biasa menyebutnya begitu. Ibu dari seorang putri cantik berusia 3 tahun dan seorang putra yang masih berusia 5 bulan. Awal perkenalan kami adalah pada Ramadhan tahun lalu, saat kawan - kawan Wikusama Jember (sebutan untuk ikatan alumni SMK-ku dulu) mengadakan buka bersama dan kebetulan tempat yang dipilih adalah di rumah. Mas Novan, yang baru kutahu adalah kakak kelas semasa SMK dulu, datang bersama istri dan putri kecilnya. Istri mas Novan inilah yang kemudian kukenal sebagai Mbak Nila.

Berawal dari sebuah acara aqiqah putra kedua mas Novan dan mbak Nila, yang dihadiri oleh kami yang rata - rata dari kalangan pekerja, disepakatilah sebuah kegiatan yang bertujuan untuk tetap mendekatkan diri kami pada ilmu - ilmu Allah di tengah lautan kesibukan kami sehari - hari. Hingga disetujuilah sebuah hari di mana kami akan bertemu secara rutin di tiap minggunya.

Dalam majelis ilmu setiap Jumat siang itu, alhamdulillah semakin bertambah saudari - saudari yang kukenal dan datang dari berbagai macam kalangan. Mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswi, hingga dosen dan karyawan . Di waktu yang relatif singkat itu, kami selalu mengawalinya dengan tilawah Qu'ran bersama, dan dilanjutkan dengan tauziyah singkat yang disampaikan oleh Mbak Nila, murobi kami saat ini. Sebisa mungkin, Mbak Nila membawa kegiatan siang itu tidak hanya dari satu arah, darinya saja. Tapi juga dari kami, agar bisa saling berinteraksi dan berbagi pengalaman. Awalnya, kami masih malu - malu. Namun beberapa minggu berjalan, kehangatan dalam berbagi itu mulai bisa kami rasakan. Tak jarang, kami juga saling menyampaikan beberapa permasalahan yang dihadapi.

Kami juga menikmati sebuah program yang kami buat dan kami komitmenkan sendiri. Yakni check list ibadah Yaumiyah (harian), yang akan kami evaluasi setiap minggunya. Ibadah yaumiyah ini berupa tilawah Qur'an, Qiyamul Lail, Ma'tsurat, Shalat Jamaah, Shalat Rawatib, Shalat Dhuha, Hafalan Qur'an, Shoum Sunnah, dan membaca buku yang bermanfaat. Awalnya kami sempat enggan karena berfikir ini akan mengarahkan hati kami pada riya' tentang amal ibadah yang kami kerjakan. Namun mbak Nila menegaskan dan meyakinkan, bahwa ini harus diniatkan agar diri kami selalu termotivasi dari waktu ke waktu. Dan agar masing - masing dari diri kami, dapat menjaga konsistensi dan keistiqomahan dalam beribadah. Fastabiqul khoirot.....

Untuk hafalan Qur'an, kami mengawalinya dari surat pertama di juz 30, An-Naba'. Dan ternyata, surat yang sesungguhnya hanya terdiri dari 40 ayat itu, kurasakan sendiri begitu sulit untuk konsisten menghafalnya. Terlebih jika harus dihadapkan dengan rutinitas kegiatan sehari - hari. MasyaAllah... sedih sekali dan ironis rasanya, jika mengingat begitu mudahnya diri ini menghafal lagu - lagu trend yang dibawakan oleh penyanyi dan band - band masa kini. Sedangkan untuk 40 ayat suci saja, untuk mendapatkan separuh sudah bukan main susah payahnya. Benar kata mbak Nila, memang harus kita niatkan dan mulai dengan cara seperti ini. Memotivasi diri dari luar, sebelum kesadaran itu akhirnya tumbuh alami dan bisa kita nikmati sendiri.

Sudah 2 Jum'at ini, kami tak bisa bertemu dalam majelis ilmu yang rutin kami lakukan tiap minggu itu. Mbak Nila sedang mudik ke kampung halamannya di salah satu desa di kota Malang. Rindu sekali rasanya bisa bertemu, berbagi, dan saling menimba ilmu dengan saudari - saudariku itu. Terlebih, ada sebuah tugas baru yang kami sepakati kemarin. Yakni menyampaikan kultum dan bedah buku secara bergilir tiap minggunya. Ini juga salah satu ikhtiar yang coba ditawarkan mbak Nila, agar kami semua belajar berdakwah dan menyampaikan tauziyah di sebuah majelis. Dan giliran pertama kemarin, jatuh kepada Ukhti Agis, seorang mahasiswi keperawatan di Unmuh Jember. Tak sabar rasanya. Semoga minggu depan, tidak ada halangan, yang akhirnya dapat meringankan langkah kami untuk bisa berkumpul kembali.


"Barang siapa yang melalui suatu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga..” (HR. Imam Tirmidzi dari Abu Hurairoh)

Kamis, 02 Juni 2011

Pak Budi

Bukankah suatu hal yang sangat membahagiakan sekali, jika kau yang bukan siapa - siapa itu, masih diingat bahkan sangat dikenal oleh seseorang di masa lalumu ?

Hal membahagiakan itu, kualami langsung kemarin. Berawal, ketika sebuah kegiatan yang diamanahkan kepadaku -tepatnya kepada kami-, membutuhkan seorang pelatih yang mumpuni di bidang tersebut.
"Yak, jadinya kita pakai sendratari aja mbak... Untuk konsep kasarnya, bla...bla..blaaa... untuk detailnya coba nanti disusun dan didiskusikan ya.... Sekaligus pelatihnya juga...."

Hal - hal seperti ini, memang bukan sesuatu yang baru bagiku. Tapi jujur, 'dunia ini' telah begitu lama aku meninggalkannya. Aku mencoba berfikir dan mencari - cari, kira - kira siapa yang bisa kumintai pertolongan untuk hal ini. Teman - teman teater yang kukenal semasa masih kuliah dulu mungkin bisa membantu dalam hal konsep cerita. Tapi aku tak yakin, mereka kompeten dalam hal seni tari. Dan dari beberapa orang yang kuhubungi pun, ternyata telah banyak yang merantau meninggalkan kota ini. Lalu aku teringat seorang sahabat yang aku tahu pasti telah beberapa kali berpengalaman dalam hal urus-mengurus masalah satu ini. Sahabat berparas ayu yang kukenal sejak masih SMP dulu.
Awalnya, dia merekomendasikan padaku sebuah nama. Yang langsung kuhubungi saat itu juga. Namun sayang, mbak penari yang aku beri tawaran dadakan untuk melatih itu, menolak dengan alasan waktu yang diberikan terlalu singkat. Aku belum menyerah. Kucoba kembali menanyakan alternatif lain pada sahabatku tadi. Hingga muncullah nama itu. Nama yang sebenarnya cukup familiar karena banyak digunakan untuk menamai tokoh di buku - buku pelajaran jaman SD dulu.
"Ada 1 lagi say... ini guruku waktu SD dulu... namanya Pak Budi... beliau ini memang penari juga......"

Entah, begitu nama itu disebutkan, aku langsung teringat seseorang. Lelaki berkulit kuning langsat, dengan wajah penuh senyum, dan lelakunya yang sangat lembut. Namanya pun sama, Budi. Beliau adalah guru tari dan teater semasa SD hingga awal SMP ku dulu. Apakah Pak Budi yang dimaksud sahabatku tadi adalah orang yang sama? Aku masih menebak - nebak.

Hingga  kemarin, berbekal alamat yang diberikan sahabatku itu, bersama seorang kawan selepas jam kerja, aku mendatangi langsung rumah Pak Budi. Dengan beberapa kali tanya sana dan sini, akhirnya kami temukan juga rumah mungil di lahan paling ujung  salah satu perumahan di kotaku.
Lelaki yang menyambut kami sore itu, sepertinya sedang sibuk berbenah. Saat melihat kedatangan dan mendengar salam dari kami, serta merta ia tinggalkan beberapa kayu dan perkakas dari tangannya.
"Wah...sebentar ya.... monggo masuk dulu......" sapanya ramah sambil meninggalkan kami untuk membersihkan kedua tangannya.

Aku sebetulnya masih menebak - nebak dan belum yakin sepenuhnya, bahwa Pak Budi yang dimaksud sahabatku itu, adalah orang yang sama dengan seseorang yang aku ceritakan tadi. Tapi setelah sapaan lelaki yang menyambut kami sore itu, aku jadi semakin yakin dan langsung mengamini pradugaku beberapa hari ini. Ya... paras dan senyum yang selalu ramah itu, tak pernah berubah dan masih seperti dulu. Beliau memang Pak Budi, guru tari dan teater semasa aku masih duduk di bangku sekolah dasar dulu. Beliau memang tidak mengajar hingga aku lulus SD. Saat aku masih kelas 4 atau 5, beliau dipindah ke sekolah lain, dan itu memang sekolah sahabatku tadi.
Sambil melepas sepatu dan memasuki rumah beliau, hatiku terus membatin. Apakah beliau masih ingat padaku, salah satu muridnya ini.
"Sebentar, saya kok sepertinya antara ingat dan lupa.... tapi saya ndak asing kok sama wajahnya...." beliau memulai percakapan.

"Hehehe.. saya murid Bapak sewaktu di SD Kepatihan 02 dulu...." pertanyaan beliau kujawab sambil tersenyum.

"Nah...benar kan.... terus, gimana.. gimana.... Gest?"

Ucapan beliau yang barusan ini, sungguh membuatku terkejut sekaligus bahagia. Lebih dari sepuluh tahun telah berlalu, ternyata beliau masih ingat bahkan mengenal namaku. Sore itu pun tak hanya maksud utama kedatangan kami ke sana yang kuutarakan kepada beliau, kami juga jadi saling banyak bercerita tentang kenangan dengan kawan - kawan di masa lalu, serta perjalanan hidup kami hingga saat itu.
Pak Budi yang terakhir kutemui masih dengan 1 bayi dalam gendongannya, ternyata kini sudah memiliki 3 putra. Dan alhamdulillah, beliau beserta istri sama - sama telah diangkat menjadi guru di salah satu sekolah dasar negeri di kotaku.

Kalau bukan karena ada amanah yang diberikan padaku, pasti sore itu aku tak akan ada di sana. Dan tentu saja, kalau bukan karena Faiq, sahabatku, aku mungkin entah kapan baru bisa bertemu lagi dengan salah satu guru favoritku itu.

*Syukran katsiir ya ukhti.... silaturahim yang sempat termakan waktu ini, jadi bisa terjalin kembali, juga karenamu..... :-)

Rabu, 01 Juni 2011

Perjalanan 2

".....untuk Sancaka habis sama sekali mbak, baik yang eksekutif maupun bisnis."

"Kereta lain yang ke arah sana mbak?", aku masih ngotot.

"Maaf, sudah habis terjual seluruhnya......"

Bukan, bukan harus yang berkelas bisnis apalagi eksekutif yang kucari. Apapun jadi. Yang penting, ada kursi yang bisa membawaku ke barat pagi ini. Tapi ternyata, ya sudahlah... Kutinggalkan antrian mengular yang kurang lebih 30 menit sudah aku terlibat di dalamnya. Segera kucari mbak Maya yang katanya sudah duduk manis di kursi tunggu penumpang. Walau beda gerbong, kami memang berangkat dengan kereta yang sama semalam. Tujuannya pun sama. Hanya, dia lebih ke barat sedikit. Aku berniat turun di Kertosono, dan dia hendak mudik ke kampung halamannya, kota Solo.

Awalnya, aku berniat turun di Wonokromo dan lanjut ke Bungurasih. Karena menurut info yang aku terima, tempat yang kutuju itu lebih mudah aksesnya dengan bus. Tapi di tengah jalan tiba - tiba aku berubah fikiran. Mumpung ada teman yang naik kereta ke arah yang sama, kenapa tak kubarengi saja. Itung - itung, ada teman ngobrol di jalan. Dan akhirnya aku memutuskan untuk turun di Gubeng. walau kondisi tiket kereta yang aku inginkan itu, juga belum tentu aku peroleh.
Benar saja, tak hanya kehabisan tiket, aku pun harus melakukan hal nekat demi mendapatkan kendaraan yang bisa mengantarkanku ke tempat tujuan.

"Taxi mbak...?" seorang lelaki yang telah berumur senja menghampiriku.

"Wah.. naek taxi. Eksklusif sekali.... Tapi tak apalah, tak ada salahnya aku tanyakan..." batinku.
"Ke Bungurasih, pinten pak ?"

"75 rebu saja mbak....", sang bapak menjawab santai.

"Alamak... mahal sekali....", batinku berperang.

"Apa mungkin pake argo saja mbak, lebih murah sedikit, tapi ya ndak terlalu jauh selisihnya. Belum nanti kalo tiba - tiba di jalan macet... sama saja...", sang bapak sepertinya memahami perubahan mimik wajahku.

Kuputuskan untuk mencari alternatif lain untuk menuju ke Bungurasih. Dan ide yang akhirnya kupilih ini benar - benar nekat dan sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.
Dari pengeras suara, diumumkan bahwa kereta Penataran yang menuju Malang Kota Lama akan berangkat beberapa menit lagi.
"Piye mbak, tak naek ini ae wes ya... terus tak loncat di Wonokromo...", aku berujar sembarangan.
"Ha? Serius? Ckckckckc.... jan walang tenan awakmu iki...." aku hanya bisa meringis menerima tanggapan mbak Maya itu.
Detik demi detik berlalu,
"Trus piye sidane? Nek kamu yakin, ya naek aja..." ucapan yang sama sekali tak kukira meluncur dari lisan mbak Maya.
Tanpa berfikir panjang lagi, "Ya wes, mbak... samean ati2 ya... Aku tak naek ini aja...." setelah melakukan prosesi cium pipi kiri kanan dan mengucap salam, setengah berlari aku menuju jalur 2. Peluit tanda keberangkatan kereta sudah mulai dibunyikan. Beberapa petugas yang berdiri di sepanjang jalur keberangkatan, tampak menatap tak sabar ke arahku. Mungkin mereka membatin, "Cepetan mbak... kelamaan larimu, tak berangkatin ini kereta...."
Dan akhirnya, hupp! Pintu kereta berhasil kuraih. Tak sampai beberapa detik berselang, kereta mulai merayap perlahan, bersamaan dengan nafasku yang tak beraturan.

Hari itu memang musim liburan. Kereta yang bertarif ekonomi ini, tentu saja akan selalu penuh sesak, karena pasti lebih dipilih oleh mayoritas penumpang terutama mereka yang berkantong pas - pasan. Aku memilih berdiri di bagian sambungan kereta dan mendekati pintu, supaya lebih mudah melompat di Wonokromo nanti. Toh tak akan lama, hanya beberapa menit saja.
Saat kereta mulai melambat, gerombolan penumpang tampak berjubel di pinggiran jalur stasiun Wonokromo. Aku sudah resah, takut - takut mereka nanti tiba - tiba memaksakan diri untuk menjejali pintu yang sedari tadi sudah aku persiapkan dengan rapi ini. Membayangkan aku harus terjepit - jepit, atau lebih buruknya belum sempat turun dan kereta terlanjur melanjutkan perjalanannya. Bismillah... ketika lantai stasiun mulai bisa jelas kulihat, sambil sedikit mengangkat bagian bawah rokku, kuputuskan untuk setengah melompat. Sekali lagi, hupp..!! Alhamdulillah, pendaratanku sukses. Dan yang lebih aku syukuri, aku sudah lebih dulu berada di bawah sebelum para penumpang yang berjubel tadi saling dorong satu sama lain untuk bisa memasuki kereta.
Aku pun melenggang santai seolah tak terjadi apa - apa ke arah pintu keluar.

Kelegaanku ini ternyata masih harus disambut oleh bapak petugas stasiun yang menanyaiku di pintu keluar.
"Maaf mbak, bisa tunjukkan tiketnya...?"

"Wah, pak... saya ini tadi kebablasan naek kereta sampe Gubeng. Terus kembali ikut kereta Penataran ini, jadi ndak beli tiket.....", sambil takut - takut aku mencoba menjelaskan. Sebetulnya tak masalah seandainya aku dimintai ongkos tiket di sini, tapi yang lebih aku fikirkan saat itu adalah betapa malunya jika aku sudah terlanjur dianggap penumpang gelap.

"Oh, gitu... mbaknya dari mana?"

"Saya tadi pagi ikut Mutiara Timur, Pak..dari Jember. Ini masih ada tiketnya.", sambil bersiap mengeluarkan tiket dari dalam tas ransel yang kujinjing.
"Oh, kalo gitu, ya sudah mbak, ndak papa.... silahkan...." bapak petugas membukakan pintu keluar untukku.Sekali lagi, aku mengucap Alhamdulillah dalam hati.

Di dalam kendaraan umum yang membawaku ke terminal Bungurasih, kusempatkan mengabari seseorang tentang hasil dari kenekatanku ini tadi.
"Mbak, aku berhasil mendarat di Wonokromo dengan sukses. Walau harus menghadapi bapak petugas tiket dan sedikit bernegosiasi dengannya.... :-p Ini aku dah perjalanan ke Bungur. Samean ati2 ya...."
-sending.........--Message sent-

selang beberapa menit,
-1 message received-
"Woo..ancene, percoyo nek walang awakmu iki... :-D he'em...ati2 juga yo... sukses misinya...! ;-) "
Sambil tersenyum aku memasukkan kembali sony putih milikku ke dalam tas ransel kesayangan.

Terminal Bungurasih, seperti biasa, tak pernah surut dari manusia - manusia. Setelah membeli karcis peron, aku memasuki areal tunggu penumpang yang nyaris tak kutemui satu sudutpun yang kosong.
Ini pertama kalinya aku mengunjungi kota itu. Walau sebenarnya sering jika hanya melewatinya untuk menuju kota yang letaknya lebih ke barat. Bus - bus antar kota dan propinsi telah berjajar dengan rapi di hadapanku. Para kondektur dan calo - calo penumpang pun sedari tadi sudah berteriak -  teriak menanyakan tujuan ke arahku. Sambil tergesa - gesa, kuputuskan untuk memasuki sebuah bus yang tampak sudah lumayan penuh. Dalam hati aku membatin, setidaknya bus ini akan segera berangkat. Yang kuingat tadi, bapak kondektur yang kutanyai bilang, bus ini memang jurusan Kertosono. Tapi dari penumpang yang baru saja naik dan duduk bersebelahan denganku, aku baru tahu bahwa bus yang aku tumpangi ini, jurusan Kediri namun lewat Kertosono. Lalu, teringat ucapan dari seseorang, "Nanti kalo mau turun Kertosono, naek yang jurusan Madiun, Solo, atau Jogja aja ya... Jangan yang jurusan Blitar atau Kediri...."

Aku jadi ragu antara akan tetap melanjutkan perjalanan dengan bus yang sudah terlanjur aku tumpangi ini, atau turun dan naik bus seperti yang dianjurkan. Tapi pasti kondektur dan sopir bus ini akan kecewa, jika harus kehilangan 1 penumpang yang bahkan sudah hampir 10 menit lebih duduk di dalam busnya. Tak apalah, aku naek bus ini saja. Sekalipun nanti harus sedikit lebih jauh dari tempat aku maksud, toh juga masih dalam 1 kota. Yang terpenting, bus ini lewat Kertosono, itu sudah cukup membuatku lega.

Bus yang kutumpangi akhirnya mulai melaju meninggalkan Surabaya dengan muatan yang nyaris overload. Namun entah, pak sopir seakan tak mau melewatkan setiap penumpang yang berdiri di pinggir jalan, seakan tak mau tahu betapa awak - awak di dalam busnya ini sudah saling menghimpit satu sama lain. Aku, dengan sisa tenaga yang aku punya sejak berangkat dini hari tadi, mencoba untuk tetap terjaga. Mengusir rasa kantuk yang sering tiba - tiba menyerang dengan berbincang - bincang bersama seorang gadis kecil yang duduk di pangkuanku........


(bersambung)

Ini Juni


Selamat datang bulan Juni..... ^_^

Jumat, 27 Mei 2011

Rindu

Rindu itu.....
bisa begini indahnya, ya....?






jaga hati ini Ya Rabbana, karna-Mu, dari-Mu, dan akan kembali pada-Mu,

Jumat, 20 Mei 2011

Hawa

Bukan dari tulang ubun dia dicipta, berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja.
Tak jua dari tulang kaki, nista membuatnya diinjak dan diperbudak
Dari tulang rusuk bagian kiri, dekat ke hati untuk disayangi, dekat ke tangan untuk dilindungi.....

Kamis, 05 Mei 2011

Perjuangan




Karna perjuangan itu, tak pernah kenal kata 'ujung'......


Argopuro,04052011 (06:00)

Senin, 02 Mei 2011

Jika

Jika saja, mentari itu tak hadir begitu cepat...
ingin rasanya kutak terjaga dari mimpi perjumpaan itu...

Jika saja, malam mau tinggal sedikit lebih lama,
kuingin selalu lukiskan senyumku sebagai kehadiranmu pada keindahan langit semesta....

Jika saja, alunan melodi tak mengenal henti...
ingin slalu kudendangkan nada - nada tentang perjalanan kita....

Jika saja, aku masih diberi waktu tuk terus berkata dalam aksara... aku ingin terus dan tak pernah bosan tuk mengucap, "Jika... jika..dan jika...."

Karna saat ini, hanya di batas itu aku berkuasa.......

Jumat, 29 April 2011

Istikharah

Jangan sombong,
bukankah belum tentu esok hari kau bisa tersenyum seperti itu?
Jangan angkuh,
bukankah kau tak lebih dari seorang makhluk yang berwenang hingga di batas berencana saja?
Jangan lalai,
bukankah keindahan yang tampak di matamu, tak lebih dari keindahan dunia?
Jangan terlalu jumawa, ya....?
bukankah kita lebih sering melupakan hakikinya makna ketawakalan dan kepasrahan...?

di tengah riuhnya cita dan harapan,

Sudahkah kau istikharahkan setiap pilihan - pilihan dalam hidupmu.... ?

Perjalanan 1

Keputusanku untuk berlabuh di stasiun Gubeng, tak sepenuhnya salah dan sia - sia. Walau harus menerima kenyataan bahwa tiket yang kucari sudah benar - benar ludes tak bersisa, ada sebuah berita penting yang tentu akan kulewatkan jika saja tadi benar kuputuskan untuk berhenti di Wonokromo. 
Pak Tomy, begitu lelaki paruh baya yang bersama denganku mengantri di loket itu , memperkenalkan dirinya. Tujuannya, Jember. Kota kelahiranku. Sebuah undangan reuni dari almamater kampus yang membuatnya menyempatkan diri singgah dan mengunjungi kota suwar - suwir itu.
"Saya alumni UNEJ Fakultas Hukum, angkatan '80, dek..." akunya padaku.
Obrolan kami terus berlanjut, sembari menunggu kapan terputusnya antrian yang mengular itu. Hingga sampailah klimaks dari obrolan dadakanku dengan orang asing yang baru saja kukenal itu.

"Bapak saya dulu juga kuliah di Fakultas Hukum UNEJ, tapi saya kurang tahu pasti angkatan tahun berapa..." seakan ada yang menggelitik hatiku untuk sampaikan pertanyaan itu.

"Oh ya? Siapa namanya? Sekarang di mana?" Pak Tomy menanggapi penuh antusias.

Kukisahkan sedikit tentang lelaki yang begitu kucintai itu padanya. Hingga akhirnya, aku pun teringat sebuah nama.
"Oh iya, kalo Pak Dewanto? Bapak tahu?"

"Ooh... Dewanto yang wartawan plus fotografer itu? Orangnya kocak dan lucu sekali?"

Aku mengangguk mantab sambil tersenyum. "Saya kenal baik dengan beliau. Kami juga pernah hunting foto dan ngecamp di hutan bersama..."

"Wah..adek suka fotografi dan berpetualang juga ya? Tapi sayang ya... sudah almarhum juga Dewanto itu..." ada yang berubah di raut wajah Pak Tomy.

Di detik yang sama, seperti ada palu godam besar yang menghantam ulu hatiku. Pak Dewanto meninggal? Apa benar yang dia maksud adalah Om De yang aku kenal baik itu? Bagaimana jika itu Dewanto yang lain? Tapi semua ciri - ciri dan karakter yang disampaikannnya tadi, memang sama persis dengan sahabat yang sudah seperti ayahku sendiri itu.

"Apa Bapak ndak salah dengar? Pak Dewanto meninggal?" berusaha aku meyakinkan lagi diriku.

"Iya dek... setahu saya dari kabar yang beredar di mailist dan yang disampaikan teman - teman, seperti itu. Almarhum meninggal karena jantung, mungkin malah sudah stroke." suasana obrolan kami, langsung berubah seketika itu.

"Sungguh, saya sama sekali tidak tahu tentang kabar ini, Pak.. Padahal saya satu kota dengan beliau. Memang akhir - akhir ini saya sudah jarang kumpul dengan teman - teman fotografi dan teman - teman yang suka ngeluyur menjelajahi alam. Ya Allah.... Innalillahi wa innailaihi roji'uun....." ada sebersit penyesalan dari kalimat yang meluncur begitu saja dari lisanku.

Pak Dewanto. Aku dan teman - teman lebih sering memanggilnya Om De. Lelaki berkumis tebal dan  berwajah penuh senyum itu, kukenal pertama kali di sebuah seminar fotografi yang diadakan oleh lembaga pers kampus yang pernah aku ikuti dulu. Orangnya ramah, sangat terbuka, suka bercanda, dan yang pasti, sudah makan banyak sekali asam garam dunia fotografi.
Pertemuan keduaku dengan Om De, sekaligus yang membuat kami semakin akrab dan dekat, adalah saat beliau meminta tolong padaku untuk membetulkan komputer di rumah yang ngambek. Ini juga gara - gara teman - teman lain yang sok - sok an mengajukan namaku sebagai pahlawan reparasi. Padahal aku sendiri juga sekedar tahu dan belum tentu juga selalu bisa menyembuhkan penyakit - penyakit yang menyerang komputer.
Aku saat itu sudah ketar - ketir saja bawaannya. Membayangkan bagaimana seandainya aku tidak bisa membantu. Tapi sudah kepalang tanggung, bismillah... aku niatkan saja untuk membantu semampuku. Penyakitnya klasik. Komputer kesayangan Om De itu terjangkit virus yang membuat sistem operasinya tidak berjalan normal. "Wah... bisa dibikin botokan ini ya nduk, virusnya...." masih kuingat jelas celetuk Om De kala itu.
Di malam pembasmian virus itu pula, akhirnya kami berbincang tentang banyak hal. Om De banyak bercerita tentang pengalamannya dalam hal memotret. Dan tentu saja, sudah hunting ke mana saja beliau selama ini. Om De juga memamerkan berbagai macam kamera dan lensa yang beliau miliki. Mulai dari yang masih analog hingga yang super canggih. Semua itu hanya membuatku semakin ngiler tak berdaya. Bagaimana tidak, sedang satu pun kala itu, aku tak punya.

Om De juga bercerita tentang masa - masa kuliahnya. Kecintaan beliau pada alam juga yang membuat beliau pernah menjadi awak aktif dari lembaga pecinta alam di fakultas Hukum UNEJ dulu. Kami semakin nyambung. Lebih - lebih saat tak sengaja kuutarakan pernyataan dan pertanyaan yang sama, seperti yang kusampaikan pada Pak Tomy di atas tadi. Aku bertanya tentang ayahku. Dan siapa yang mengira, ternyata Om De berkisah pernah begitu dekat dengan lelaki yang kucintai itu.
Aku langsung membayangkan. Ayahku yang juga humoris dan suka berpetualang, digabung dengan Om De yang berkarakter serupa, pasti mereka cocok sekali.

Kenangan terakhir dan yang paling berkesan dengan Om De adalah, saat kami hunting dan bermalam di tepi pantai Nanggelan. Sebuah pantai eksotis di kota Jember yang sebelumnya sama sekali tak pernah kulihat dan dengar namanya. Kami bersepuluh kala itu. Rata - rata adalah para fotografer media - media lokal, para mahasiswa pecinta alam, dan aku sendiri yang entah mewakili siapa.
Rombongan Om De berangkat lebih awal. Dan aku sendiri, bersama keempat teman lain, baru berangkat siang harinya. Kami berlima, sama sekali tidak menyangka jika ternyata pantai eksotis yang dijanjikan Om De, harus kami tempuh dengan medan yang tidak mudah. Sudah berasa seperti ninja Hatori saja kala itu. Mendaki gunung, menuruni lembah, menguak padang ilalang, sempat tersesat di kali mati dan rawa - rawa, dan nyaris bermalam di hutan bakau. Entah mitos bahwa dilarang mendaki gunung dalam jumlah ganjil itu benar atau tidak, tapi kami berlima memang sempat tersesat hingga 5 jam lamanya.
Bagai mendapat oase di tengah gurun pasir, kebahagiaan tak terlukiskan saat suara ombak sayup - sayup mulai kami dengar. Ketika kami mulai menginjak bibir pantai, dari kejauhan tampak sinar senter dikelip - kelipkan. Kami berharap itu rombongan Om De yang tentunya sudah tiba dari siang tadi. Dan setelah semakin dekat, serta merta Om De memeluk kami satu persatu. Ada butir bening mengalir di pipinya. Tampak sekali raut khawatir dan haru di wajah beliau. "Oalah rek..rek.. aku ndak mbayangin kalau kalian sampai benar - benar hilang...."
Kawasan Nanggelan memang termasuk kawasan yang dilindungi. Tidak banyak orang yang bisa dengan mudah keluar masuk area ini. Aku sendiri bisa berkunjung hingga bermalam di sana, tentu saja karena ada seorang Om De yang mengajakku.

Itulah sosok Om De. Seorang sahabat dan ayah, yang karakter dan kegigihannya akan selalu kuingat. Sekalipun akhirnya aku sampai di antrian terdepan, mendapati kekecewaan yang kedua karena ternyata tak ada satu tiket pun yang tersisa, dan harus kembali ke stasiun Wonokromo demi lebih mendekati terminal, ada 1 hal penting yang tetap kusyukuri. Seandainya aku tidak bertemu Pak Tomy, tentu saja kabar duka ini entah berapa waktu lamanya, baru akan kudengar.


Selamat jalan Om De... semoga Allah mengampuni dosa - dosa dan menerima seluluh amal ibadah selama di dunia. Semoga Om De mendapat tempat mulia dan bersama dengan golongan orang - orang yang beriman, di sisi Rabb.... AllahummaAmin.....

(bersambung)


----June 2008, Some memorable portraits from Heaven of Nanggelan ----


Rabu, 20 April 2011

Lelaki di balik Meja Kopi

Pagi ini, kembali kulihat sosokmu kawan. Walau selalu, hanya lewat sekelebat bayang yang kutangkap dari atas kendaraan bermotor ini. Di tempat yang sama, di jam yang juga nyaris selalu sama, sosokmu terlihat begitu  tekun dan sabar di balik gelas - gelas dan beberapa toples yang berjajar rapi itu. Yang kalau boleh kutebak, isinya adalah bahan baku utama dari minuman kopi, teh atau susu.
Di antara lalu lalang kendaraan dan angkot yang sesekali berhenti menurunkan atau menunggu penumpang, kau begitu setia dengan aktivitasmu setiap pagi itu. Tak ada raut keluh kesah yang kutangkap, pun wajah bengal dan jahil yang kerap kudapati saat bercengkerama dan berkumpul denganmu bersama kawan - kawan lainnya di kampus.

Dari balik jendela angkot yang sempat sebulan lalu setiap pagi kutumpangi, aku pertama kali menangkap sosokmu. Lelaki yang memang sepertinya begitu kukenal, dengan rambut panjang nyaris sebahu tapi dalam balut busana, raut, dan kondisi yang begitu berbeda. Di kampus, di setiap perkuliahan yang kita lewati bersama, aku tahu betul sosokmu yang cuek, apa adanya, sedikit berantakan, nyaris selalu terlambat masuk kelas, gemar tertawa dan berkelakar dengan volume suara yang maksimal, dan tentu saja yang paling kuingat, adalah yang paling sering menggoda dan menjahiliku.
Pagi tadi pun, dari atas kendaraan bermotor beroda dua ini, kau kembali kutemui begitu asyiknya melayani pelanggan - pelangganmu sambil sesekali mengobrol hangat dengan mereka. Sengaja, setiap kali melewati halte itu, aku memperlambat laju motorku, demi memastikan dan meyakinkan diriku sendiri, bahwa itu benar dirimu.

Siapa yang menyangka, lelaki di balik meja kopi dengan segenap kesederhanaan itu adalah dirimu, kawan. Teman sekampus yang kukenal begitu konyol dan lebih sering kudapati tertawa dan berbicara lepas tanpa beban.....

Senin, 18 April 2011

Cambuk Diri

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain sibuk membaca dan mentadabburi Al-Qur'an
aku sibuk mendengarkan lagu picisan yang tak membuatku makin dekat dengan-Nya

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain sibuk menambah hafalan ayat-ayat cinta Allah
aku malah asik mengahafal lagu-lagu yang melalaikan ku dari-Nya

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain makin memanjangkan jilbabnya
aku malah merasa risih dengan jilbab yang terlalu panjang

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain sibuk menuntut ilmu-Nya
aku malah sibuk dengan urusan dunia yang membuat jarak dengan-Nya

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain malu untuk menampakkan wajah dan fotonya
aku malah sibuk meng-upload foto-foto agar bisa dilihat semua orang

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain berusaha menundukkan pandangannya
aku sibuk memperhatikan ketampanan wajah yang bukan mahram ku

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain menjaga hubungan dan jarak dengan lawan jenisnya
aku malah terbiasa duduk berdekatan dengan pria

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain berkata dan berbincang tentang hal yang bermanfaat
aku senang membicarakan aib dan kejelekan orang lain

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain menjaga kata-katanya dengan baik
aku terlalu sering menyakiti hati orang lain dengan lisan ku

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain belajar untuk terus mempercantik hati dan akhlaknya
aku lebih asik memperhatikan fisik diri ku saja

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain senang berpuasa sunnah
aku lebih memilih selalu mengenyangkan perut ku

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain bangun di sepertiga malam untuk bermunajat pada-Nya
aku lebih memilih berselimut dan tidur sepuasnya

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain sibuk untuk berdakwah di jalan-Nya
aku lebih memilih santai dan menonton tv di rumah

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain sibuk ingin mendapat ridho dan cinta-Nya
aku malah sibuk ingin mendapat sanjungan dan cinta makhluk-Nya saja

Aku bukan muslimah yang baik..
ketika muslimah lain gelisah di saat imannya menurun
aku malah semakin lalai dengan dunia

Aku memang bukan muslimah yang baik..
namun, aku berharap bisa menjadi seperti muslimah lain yang istiqomah berjuang untuk mendapatkan cinta-Nya
Ya Rabb ampuni muslimah yang tidak baik ini.
semoga Engkau senantiasa membimbing muslimah yang tidak baik ini agar menjadi lebih baik di hadapan-Mu... amin yaa Mujiibassaailiin...


sumber: Muslimah Sholehah

Minggu, 17 April 2011

Soe Hok Gie dalam Puisi



MANDALAWANGI – PANGRANGO
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar, terimalah dan hadapilah"
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
-Jakarta 19-7-1966-

Sebuah Tanya

Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku

(kabut tipis pun turun pelan-pelan
di lembah kasih, lembah mandalawangi
kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika kudekap kau
dekaplah lebih mesra, lebih dekat

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku bicara
tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

(hari pun menjadi malam
kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang kita tidak mengerti
seperti kabut pagi itu)

manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru

-Selasa, 1 April 1969-