Minggu, 26 Juni 2011

Matahariku

terkadang ia menyengat, namun tak menyakitkan....
tak jarang ia terasa hangat, namun tak melenakan....
tak berlebihan jika angkuhnya mengikat, sebagai poros beragam kebutuhan....

matahari yang kujumpai itu, bernama Cinta....... :-)


Minggu, 05 Juni 2011

Menikah



,adalah berani memutuskan untuk berlabuh,ketika ribuan kapal pesiar yang gemerlap memanggil-manggil...
,adalah proses penggabungan dua orang berkepala batu dalam satu ruangan dimana kemesraan, ciuman, dan pelukan yang berkepanjangan hanyalah bunga......

Jumat, 03 Juni 2011

Majelis Ilmu

Ada yang begitu kurindukan setiap Jumat menjelang. Selain karna itu pertanda bahwa esok harinya aku bisa bersantai - santai dan mandi siang :-p, ada hal lain yang insyaAllah bermanfaat dan sudah rutin aku jalani selama beberapa bulan terakhir ini. Menghilang dari pukul 11.00 hingga 12.30, kurang lebih satu setengah jam lamanya, selama para lelaki muslim di kantor sedang melaksanakan sholat Jumat, sekaligus istirahat siang.

Di kediaman seorang wanita bertutur kata lembut dan berwajah penuh senyum, kami biasa berkumpul. Meniatkan hati untuk belajar, berbagi, dan saling menimba ilmu. Mbak Nila. Kami biasa menyebutnya begitu. Ibu dari seorang putri cantik berusia 3 tahun dan seorang putra yang masih berusia 5 bulan. Awal perkenalan kami adalah pada Ramadhan tahun lalu, saat kawan - kawan Wikusama Jember (sebutan untuk ikatan alumni SMK-ku dulu) mengadakan buka bersama dan kebetulan tempat yang dipilih adalah di rumah. Mas Novan, yang baru kutahu adalah kakak kelas semasa SMK dulu, datang bersama istri dan putri kecilnya. Istri mas Novan inilah yang kemudian kukenal sebagai Mbak Nila.

Berawal dari sebuah acara aqiqah putra kedua mas Novan dan mbak Nila, yang dihadiri oleh kami yang rata - rata dari kalangan pekerja, disepakatilah sebuah kegiatan yang bertujuan untuk tetap mendekatkan diri kami pada ilmu - ilmu Allah di tengah lautan kesibukan kami sehari - hari. Hingga disetujuilah sebuah hari di mana kami akan bertemu secara rutin di tiap minggunya.

Dalam majelis ilmu setiap Jumat siang itu, alhamdulillah semakin bertambah saudari - saudari yang kukenal dan datang dari berbagai macam kalangan. Mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswi, hingga dosen dan karyawan . Di waktu yang relatif singkat itu, kami selalu mengawalinya dengan tilawah Qu'ran bersama, dan dilanjutkan dengan tauziyah singkat yang disampaikan oleh Mbak Nila, murobi kami saat ini. Sebisa mungkin, Mbak Nila membawa kegiatan siang itu tidak hanya dari satu arah, darinya saja. Tapi juga dari kami, agar bisa saling berinteraksi dan berbagi pengalaman. Awalnya, kami masih malu - malu. Namun beberapa minggu berjalan, kehangatan dalam berbagi itu mulai bisa kami rasakan. Tak jarang, kami juga saling menyampaikan beberapa permasalahan yang dihadapi.

Kami juga menikmati sebuah program yang kami buat dan kami komitmenkan sendiri. Yakni check list ibadah Yaumiyah (harian), yang akan kami evaluasi setiap minggunya. Ibadah yaumiyah ini berupa tilawah Qur'an, Qiyamul Lail, Ma'tsurat, Shalat Jamaah, Shalat Rawatib, Shalat Dhuha, Hafalan Qur'an, Shoum Sunnah, dan membaca buku yang bermanfaat. Awalnya kami sempat enggan karena berfikir ini akan mengarahkan hati kami pada riya' tentang amal ibadah yang kami kerjakan. Namun mbak Nila menegaskan dan meyakinkan, bahwa ini harus diniatkan agar diri kami selalu termotivasi dari waktu ke waktu. Dan agar masing - masing dari diri kami, dapat menjaga konsistensi dan keistiqomahan dalam beribadah. Fastabiqul khoirot.....

Untuk hafalan Qur'an, kami mengawalinya dari surat pertama di juz 30, An-Naba'. Dan ternyata, surat yang sesungguhnya hanya terdiri dari 40 ayat itu, kurasakan sendiri begitu sulit untuk konsisten menghafalnya. Terlebih jika harus dihadapkan dengan rutinitas kegiatan sehari - hari. MasyaAllah... sedih sekali dan ironis rasanya, jika mengingat begitu mudahnya diri ini menghafal lagu - lagu trend yang dibawakan oleh penyanyi dan band - band masa kini. Sedangkan untuk 40 ayat suci saja, untuk mendapatkan separuh sudah bukan main susah payahnya. Benar kata mbak Nila, memang harus kita niatkan dan mulai dengan cara seperti ini. Memotivasi diri dari luar, sebelum kesadaran itu akhirnya tumbuh alami dan bisa kita nikmati sendiri.

Sudah 2 Jum'at ini, kami tak bisa bertemu dalam majelis ilmu yang rutin kami lakukan tiap minggu itu. Mbak Nila sedang mudik ke kampung halamannya di salah satu desa di kota Malang. Rindu sekali rasanya bisa bertemu, berbagi, dan saling menimba ilmu dengan saudari - saudariku itu. Terlebih, ada sebuah tugas baru yang kami sepakati kemarin. Yakni menyampaikan kultum dan bedah buku secara bergilir tiap minggunya. Ini juga salah satu ikhtiar yang coba ditawarkan mbak Nila, agar kami semua belajar berdakwah dan menyampaikan tauziyah di sebuah majelis. Dan giliran pertama kemarin, jatuh kepada Ukhti Agis, seorang mahasiswi keperawatan di Unmuh Jember. Tak sabar rasanya. Semoga minggu depan, tidak ada halangan, yang akhirnya dapat meringankan langkah kami untuk bisa berkumpul kembali.


"Barang siapa yang melalui suatu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga..” (HR. Imam Tirmidzi dari Abu Hurairoh)

Kamis, 02 Juni 2011

Pak Budi

Bukankah suatu hal yang sangat membahagiakan sekali, jika kau yang bukan siapa - siapa itu, masih diingat bahkan sangat dikenal oleh seseorang di masa lalumu ?

Hal membahagiakan itu, kualami langsung kemarin. Berawal, ketika sebuah kegiatan yang diamanahkan kepadaku -tepatnya kepada kami-, membutuhkan seorang pelatih yang mumpuni di bidang tersebut.
"Yak, jadinya kita pakai sendratari aja mbak... Untuk konsep kasarnya, bla...bla..blaaa... untuk detailnya coba nanti disusun dan didiskusikan ya.... Sekaligus pelatihnya juga...."

Hal - hal seperti ini, memang bukan sesuatu yang baru bagiku. Tapi jujur, 'dunia ini' telah begitu lama aku meninggalkannya. Aku mencoba berfikir dan mencari - cari, kira - kira siapa yang bisa kumintai pertolongan untuk hal ini. Teman - teman teater yang kukenal semasa masih kuliah dulu mungkin bisa membantu dalam hal konsep cerita. Tapi aku tak yakin, mereka kompeten dalam hal seni tari. Dan dari beberapa orang yang kuhubungi pun, ternyata telah banyak yang merantau meninggalkan kota ini. Lalu aku teringat seorang sahabat yang aku tahu pasti telah beberapa kali berpengalaman dalam hal urus-mengurus masalah satu ini. Sahabat berparas ayu yang kukenal sejak masih SMP dulu.
Awalnya, dia merekomendasikan padaku sebuah nama. Yang langsung kuhubungi saat itu juga. Namun sayang, mbak penari yang aku beri tawaran dadakan untuk melatih itu, menolak dengan alasan waktu yang diberikan terlalu singkat. Aku belum menyerah. Kucoba kembali menanyakan alternatif lain pada sahabatku tadi. Hingga muncullah nama itu. Nama yang sebenarnya cukup familiar karena banyak digunakan untuk menamai tokoh di buku - buku pelajaran jaman SD dulu.
"Ada 1 lagi say... ini guruku waktu SD dulu... namanya Pak Budi... beliau ini memang penari juga......"

Entah, begitu nama itu disebutkan, aku langsung teringat seseorang. Lelaki berkulit kuning langsat, dengan wajah penuh senyum, dan lelakunya yang sangat lembut. Namanya pun sama, Budi. Beliau adalah guru tari dan teater semasa SD hingga awal SMP ku dulu. Apakah Pak Budi yang dimaksud sahabatku tadi adalah orang yang sama? Aku masih menebak - nebak.

Hingga  kemarin, berbekal alamat yang diberikan sahabatku itu, bersama seorang kawan selepas jam kerja, aku mendatangi langsung rumah Pak Budi. Dengan beberapa kali tanya sana dan sini, akhirnya kami temukan juga rumah mungil di lahan paling ujung  salah satu perumahan di kotaku.
Lelaki yang menyambut kami sore itu, sepertinya sedang sibuk berbenah. Saat melihat kedatangan dan mendengar salam dari kami, serta merta ia tinggalkan beberapa kayu dan perkakas dari tangannya.
"Wah...sebentar ya.... monggo masuk dulu......" sapanya ramah sambil meninggalkan kami untuk membersihkan kedua tangannya.

Aku sebetulnya masih menebak - nebak dan belum yakin sepenuhnya, bahwa Pak Budi yang dimaksud sahabatku itu, adalah orang yang sama dengan seseorang yang aku ceritakan tadi. Tapi setelah sapaan lelaki yang menyambut kami sore itu, aku jadi semakin yakin dan langsung mengamini pradugaku beberapa hari ini. Ya... paras dan senyum yang selalu ramah itu, tak pernah berubah dan masih seperti dulu. Beliau memang Pak Budi, guru tari dan teater semasa aku masih duduk di bangku sekolah dasar dulu. Beliau memang tidak mengajar hingga aku lulus SD. Saat aku masih kelas 4 atau 5, beliau dipindah ke sekolah lain, dan itu memang sekolah sahabatku tadi.
Sambil melepas sepatu dan memasuki rumah beliau, hatiku terus membatin. Apakah beliau masih ingat padaku, salah satu muridnya ini.
"Sebentar, saya kok sepertinya antara ingat dan lupa.... tapi saya ndak asing kok sama wajahnya...." beliau memulai percakapan.

"Hehehe.. saya murid Bapak sewaktu di SD Kepatihan 02 dulu...." pertanyaan beliau kujawab sambil tersenyum.

"Nah...benar kan.... terus, gimana.. gimana.... Gest?"

Ucapan beliau yang barusan ini, sungguh membuatku terkejut sekaligus bahagia. Lebih dari sepuluh tahun telah berlalu, ternyata beliau masih ingat bahkan mengenal namaku. Sore itu pun tak hanya maksud utama kedatangan kami ke sana yang kuutarakan kepada beliau, kami juga jadi saling banyak bercerita tentang kenangan dengan kawan - kawan di masa lalu, serta perjalanan hidup kami hingga saat itu.
Pak Budi yang terakhir kutemui masih dengan 1 bayi dalam gendongannya, ternyata kini sudah memiliki 3 putra. Dan alhamdulillah, beliau beserta istri sama - sama telah diangkat menjadi guru di salah satu sekolah dasar negeri di kotaku.

Kalau bukan karena ada amanah yang diberikan padaku, pasti sore itu aku tak akan ada di sana. Dan tentu saja, kalau bukan karena Faiq, sahabatku, aku mungkin entah kapan baru bisa bertemu lagi dengan salah satu guru favoritku itu.

*Syukran katsiir ya ukhti.... silaturahim yang sempat termakan waktu ini, jadi bisa terjalin kembali, juga karenamu..... :-)

Rabu, 01 Juni 2011

Perjalanan 2

".....untuk Sancaka habis sama sekali mbak, baik yang eksekutif maupun bisnis."

"Kereta lain yang ke arah sana mbak?", aku masih ngotot.

"Maaf, sudah habis terjual seluruhnya......"

Bukan, bukan harus yang berkelas bisnis apalagi eksekutif yang kucari. Apapun jadi. Yang penting, ada kursi yang bisa membawaku ke barat pagi ini. Tapi ternyata, ya sudahlah... Kutinggalkan antrian mengular yang kurang lebih 30 menit sudah aku terlibat di dalamnya. Segera kucari mbak Maya yang katanya sudah duduk manis di kursi tunggu penumpang. Walau beda gerbong, kami memang berangkat dengan kereta yang sama semalam. Tujuannya pun sama. Hanya, dia lebih ke barat sedikit. Aku berniat turun di Kertosono, dan dia hendak mudik ke kampung halamannya, kota Solo.

Awalnya, aku berniat turun di Wonokromo dan lanjut ke Bungurasih. Karena menurut info yang aku terima, tempat yang kutuju itu lebih mudah aksesnya dengan bus. Tapi di tengah jalan tiba - tiba aku berubah fikiran. Mumpung ada teman yang naik kereta ke arah yang sama, kenapa tak kubarengi saja. Itung - itung, ada teman ngobrol di jalan. Dan akhirnya aku memutuskan untuk turun di Gubeng. walau kondisi tiket kereta yang aku inginkan itu, juga belum tentu aku peroleh.
Benar saja, tak hanya kehabisan tiket, aku pun harus melakukan hal nekat demi mendapatkan kendaraan yang bisa mengantarkanku ke tempat tujuan.

"Taxi mbak...?" seorang lelaki yang telah berumur senja menghampiriku.

"Wah.. naek taxi. Eksklusif sekali.... Tapi tak apalah, tak ada salahnya aku tanyakan..." batinku.
"Ke Bungurasih, pinten pak ?"

"75 rebu saja mbak....", sang bapak menjawab santai.

"Alamak... mahal sekali....", batinku berperang.

"Apa mungkin pake argo saja mbak, lebih murah sedikit, tapi ya ndak terlalu jauh selisihnya. Belum nanti kalo tiba - tiba di jalan macet... sama saja...", sang bapak sepertinya memahami perubahan mimik wajahku.

Kuputuskan untuk mencari alternatif lain untuk menuju ke Bungurasih. Dan ide yang akhirnya kupilih ini benar - benar nekat dan sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.
Dari pengeras suara, diumumkan bahwa kereta Penataran yang menuju Malang Kota Lama akan berangkat beberapa menit lagi.
"Piye mbak, tak naek ini ae wes ya... terus tak loncat di Wonokromo...", aku berujar sembarangan.
"Ha? Serius? Ckckckckc.... jan walang tenan awakmu iki...." aku hanya bisa meringis menerima tanggapan mbak Maya itu.
Detik demi detik berlalu,
"Trus piye sidane? Nek kamu yakin, ya naek aja..." ucapan yang sama sekali tak kukira meluncur dari lisan mbak Maya.
Tanpa berfikir panjang lagi, "Ya wes, mbak... samean ati2 ya... Aku tak naek ini aja...." setelah melakukan prosesi cium pipi kiri kanan dan mengucap salam, setengah berlari aku menuju jalur 2. Peluit tanda keberangkatan kereta sudah mulai dibunyikan. Beberapa petugas yang berdiri di sepanjang jalur keberangkatan, tampak menatap tak sabar ke arahku. Mungkin mereka membatin, "Cepetan mbak... kelamaan larimu, tak berangkatin ini kereta...."
Dan akhirnya, hupp! Pintu kereta berhasil kuraih. Tak sampai beberapa detik berselang, kereta mulai merayap perlahan, bersamaan dengan nafasku yang tak beraturan.

Hari itu memang musim liburan. Kereta yang bertarif ekonomi ini, tentu saja akan selalu penuh sesak, karena pasti lebih dipilih oleh mayoritas penumpang terutama mereka yang berkantong pas - pasan. Aku memilih berdiri di bagian sambungan kereta dan mendekati pintu, supaya lebih mudah melompat di Wonokromo nanti. Toh tak akan lama, hanya beberapa menit saja.
Saat kereta mulai melambat, gerombolan penumpang tampak berjubel di pinggiran jalur stasiun Wonokromo. Aku sudah resah, takut - takut mereka nanti tiba - tiba memaksakan diri untuk menjejali pintu yang sedari tadi sudah aku persiapkan dengan rapi ini. Membayangkan aku harus terjepit - jepit, atau lebih buruknya belum sempat turun dan kereta terlanjur melanjutkan perjalanannya. Bismillah... ketika lantai stasiun mulai bisa jelas kulihat, sambil sedikit mengangkat bagian bawah rokku, kuputuskan untuk setengah melompat. Sekali lagi, hupp..!! Alhamdulillah, pendaratanku sukses. Dan yang lebih aku syukuri, aku sudah lebih dulu berada di bawah sebelum para penumpang yang berjubel tadi saling dorong satu sama lain untuk bisa memasuki kereta.
Aku pun melenggang santai seolah tak terjadi apa - apa ke arah pintu keluar.

Kelegaanku ini ternyata masih harus disambut oleh bapak petugas stasiun yang menanyaiku di pintu keluar.
"Maaf mbak, bisa tunjukkan tiketnya...?"

"Wah, pak... saya ini tadi kebablasan naek kereta sampe Gubeng. Terus kembali ikut kereta Penataran ini, jadi ndak beli tiket.....", sambil takut - takut aku mencoba menjelaskan. Sebetulnya tak masalah seandainya aku dimintai ongkos tiket di sini, tapi yang lebih aku fikirkan saat itu adalah betapa malunya jika aku sudah terlanjur dianggap penumpang gelap.

"Oh, gitu... mbaknya dari mana?"

"Saya tadi pagi ikut Mutiara Timur, Pak..dari Jember. Ini masih ada tiketnya.", sambil bersiap mengeluarkan tiket dari dalam tas ransel yang kujinjing.
"Oh, kalo gitu, ya sudah mbak, ndak papa.... silahkan...." bapak petugas membukakan pintu keluar untukku.Sekali lagi, aku mengucap Alhamdulillah dalam hati.

Di dalam kendaraan umum yang membawaku ke terminal Bungurasih, kusempatkan mengabari seseorang tentang hasil dari kenekatanku ini tadi.
"Mbak, aku berhasil mendarat di Wonokromo dengan sukses. Walau harus menghadapi bapak petugas tiket dan sedikit bernegosiasi dengannya.... :-p Ini aku dah perjalanan ke Bungur. Samean ati2 ya...."
-sending.........--Message sent-

selang beberapa menit,
-1 message received-
"Woo..ancene, percoyo nek walang awakmu iki... :-D he'em...ati2 juga yo... sukses misinya...! ;-) "
Sambil tersenyum aku memasukkan kembali sony putih milikku ke dalam tas ransel kesayangan.

Terminal Bungurasih, seperti biasa, tak pernah surut dari manusia - manusia. Setelah membeli karcis peron, aku memasuki areal tunggu penumpang yang nyaris tak kutemui satu sudutpun yang kosong.
Ini pertama kalinya aku mengunjungi kota itu. Walau sebenarnya sering jika hanya melewatinya untuk menuju kota yang letaknya lebih ke barat. Bus - bus antar kota dan propinsi telah berjajar dengan rapi di hadapanku. Para kondektur dan calo - calo penumpang pun sedari tadi sudah berteriak -  teriak menanyakan tujuan ke arahku. Sambil tergesa - gesa, kuputuskan untuk memasuki sebuah bus yang tampak sudah lumayan penuh. Dalam hati aku membatin, setidaknya bus ini akan segera berangkat. Yang kuingat tadi, bapak kondektur yang kutanyai bilang, bus ini memang jurusan Kertosono. Tapi dari penumpang yang baru saja naik dan duduk bersebelahan denganku, aku baru tahu bahwa bus yang aku tumpangi ini, jurusan Kediri namun lewat Kertosono. Lalu, teringat ucapan dari seseorang, "Nanti kalo mau turun Kertosono, naek yang jurusan Madiun, Solo, atau Jogja aja ya... Jangan yang jurusan Blitar atau Kediri...."

Aku jadi ragu antara akan tetap melanjutkan perjalanan dengan bus yang sudah terlanjur aku tumpangi ini, atau turun dan naik bus seperti yang dianjurkan. Tapi pasti kondektur dan sopir bus ini akan kecewa, jika harus kehilangan 1 penumpang yang bahkan sudah hampir 10 menit lebih duduk di dalam busnya. Tak apalah, aku naek bus ini saja. Sekalipun nanti harus sedikit lebih jauh dari tempat aku maksud, toh juga masih dalam 1 kota. Yang terpenting, bus ini lewat Kertosono, itu sudah cukup membuatku lega.

Bus yang kutumpangi akhirnya mulai melaju meninggalkan Surabaya dengan muatan yang nyaris overload. Namun entah, pak sopir seakan tak mau melewatkan setiap penumpang yang berdiri di pinggir jalan, seakan tak mau tahu betapa awak - awak di dalam busnya ini sudah saling menghimpit satu sama lain. Aku, dengan sisa tenaga yang aku punya sejak berangkat dini hari tadi, mencoba untuk tetap terjaga. Mengusir rasa kantuk yang sering tiba - tiba menyerang dengan berbincang - bincang bersama seorang gadis kecil yang duduk di pangkuanku........


(bersambung)

Ini Juni


Selamat datang bulan Juni..... ^_^