Minggu, 21 Desember 2008

Behind of Bidadari Surga

Tak semudah membalik telapak tangan. Mungkin itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan perjuanganku selama beberapa minggu terakhir. Ya... siapapun pasti bisa bercerita... berbicara.. dan menulis. Tapi ternyata, menulis cerpen itu tidak semudah yang aku kira. Harus penuh imajinasi, inspirasi, dan keberanian untuk selalu mencari akan dibawa ke mana akhir dari kisah itu nanti.
Setumpuk aktivitas yang seharusnya tak pantas dijadikan alasan, terbukti menjadi batu sandungan di tengah proses penyelesaian. Beruntung, sedikit semangat dalam hati ini terus menyala. Bahwa apa yang sudah aku awali, aku pula yang harus menuntaskannya. Ini semua pun, tak lepas dari bimbingan dan obor spirit yang tak pernah padam dari sahabat - sahabat terbaikku. Terutama seorang kakak yang tak pernah bosan - bosannya menerorku dengan sms - sms penyemangatnya, agar karya perdana ini segera diterbitkan. Terima kasih pula untuknya atas sebuah judul yang cukup menggugah ini (setidaknya bagiku, hehehe...)

Sangat jauh dari sebuah kata layak apalagi sempurna, untuk sebuah cerita pendek karya seorang amatir sepertiku. Kusadari, terlampau banyak kekurangan di sana - sini yang berpotensi untuk mendapat kritik dan saran yang mampu membuatnya jauh lebih baik lagi. Yang pasti, aku ingin terus menulis. Terus menggoreskan imajinasi yang selalu liar dan sering tak terkendali ini. Semoga aku bisa me-manage waktu, hati, dan kondisiku dengan baik untuk itu. 

Awalnya, kisah ini terinspirasi dari kehidupan nyata seorang kawan yang cukup menggugahku. Keberanian dan keteguhannya dalam mempertahankan idealisme, sekalipun harus terbayarkan oleh luka hati yang tak terobati. Kehidupanku saat ini di sebuah asrama, menginspirasiku pula untuk menorehkannya sebagai latar dalam cerita ini. Sad-ending kujadikan pilihan, karna bagiku cukup menggugah, kondisi hati seseorang saat ia dihadapkan pada sebuah pilihan dan akhirnya harus kehilangan. Sekaligus sebagai pengingat bagi diriku, bahwa tak ada yang lebih bisa menguatkan hati seseorang selain dirinya sendiri. Sebuah lagu dari ST-12 yang kudengar semalam sebelum cerpen ini tuntas, juga cukup memberiku inspirasi.  

Benar bahwa dalam membuat sebuah cerita, kita terlebih dahulu harus memiliki konsep dan kerangka yang jelas. Agar cerita tidak mengembang dan berlarian ke mana - mana :) Jujur ini kualami di tengah - tangah cerita. Hingga akhirnya, kebingungan menentukan ending cerita, membuat proses finishing semakin lama. Penguatan karakter tiap - tiap tokoh pun, menurutku memang hal penting agar pembaca selalu bisa merasakan kedalaman dan kekuatan setiap konflik yang terjadi di dalamnya.
Ah.. nama Pramoedya, Gunawan Muhammad, Ahmad Tohari, Helvy Tiana Rosa, Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata... seakan selalu memanggil sekaligus menertawakanku. Melihat semangat ini bak ombak di laut yang pasang dan surut.
Nama mereka juga yang akan slalu menginspirasiku dan membiarkan sedikit nyala semangat di hati ini tetap ada.

Semoga aku dan kita semua, bisa terus berkarya dan memberi makna bagi sekitar kita. Yang tak pernah boleh dilupakan adalah substansi sukses itu di proses, bukan hasil akhir!

Bukankah waktu tak lagi sesuatu, saat proses perjuangan menuju hasil jauh lebih memaknai diri.

Selasa, 16 Desember 2008

Bidadari Surga

Hayoo… mandengin sopo?!!”

Gertakan sekaligus sebuah sindiran dari Setyo, membuatku sadar dari lamunan & tasbih sesaatku. Ingin marah rasanya, karna dia telah mengusik indahnya pesona senja saat itu. Yang kemolekannya begitu nyata ditambah hadirnya sesosok manis yang telah mencuri hatiku belakangan ini.

Ya… gadis itulah yang sebenarnya ditanyakan Setyo sedari tadi. Gadis yang sering membuatku bertasbih dan beristighfar, agar Allah tetap menjaga hatiku yang lemah ini, dari pesona yang Ia titipkan pada salah seorang hamba-Nya.

Aku memang sering diam – diam memandanginya, dari kamarku yang terletak di lantai 3 gedung ini. Sebuah apartemen kelas ekonomi, yang mayoritas penghuninya adalah para karyawan dan mahasiswa sebuah universitas swasta yang cukup tenar di kota ini.

Begitu cantik dan mempesonakah ia? Mungkin secara fisik, itu relatif. Tiap orang berhak mengidentifikasikan & menilai berdasarkan pandangan mereka. Tetapi, yang jauh lebih membuatku kagum pada gadis ini adalah, penampilannya yang begitu mulia dan anggun dalam balutan busana muslimah yang menutup auratnya dengan sempurna. Berjilbab pun, seakan bukan penghalang baginya untuk tetap aktif dan lincah dalam beraktivitas. Seperti saat ini, dia yang begitu semangat berlari dan berlompatan ke sana kemari dengan sebuah raket di tangan kanannya. Dia berbeda. Hanya itu yang ada di benakku saat pertama kali mengenalnya, bahkan hingga kini.

Kenapa gak langsung tembak aja, Wan? Siapa cepat, dia dapat lho... Setahuku banyak juga yang mengincar dia”, Setyo kembali membuyarkan lamunanku.


Ngawur kowe, Yo! Dia terlalu indah untuk tahu tentang rasa yang mungkin sesaat & belum tentu suci ini!”, entah kenapa ada sedikit gusar dan luapan emosi saat aku menanggapi pertanyaan Setyo tadi.


Awan.. Awan...! Aku tuh sering bingung dengan jalan fikiranmu!”, ujar Setyo sambil berlalu pergi.


Kamu memang gak ngerti Yo.. bahkan mungkin tidak akan pernah mengerti tentang apa yang aku fikirkan & rasakan. Selama kamu selalu memandang & menilai sesuatu, hanya dari apa yang tampak sesaat. Tanpa mencoba menyelami & menemukan maknanya yang lebih dalam. Yang jelas, tidak! Tidak akan kubiarkan lisan dan seluruh indraku ini dengan lancang melakukan sesuatu yang bisa membuatnya tahu, bahwa hingga kini aku diam – diam mengaguminya. Sungguh tak ingin kusakiti dan kunodai hatinya... hati kami... dengan emosi sesaatku.


===== *** =====


Malam itu begitu indah. Bintang dan bulan berpadu membentuk lukisan menawan tentang angkasa. Kelip – kelip lampu jalan dan kendaraan yang lalu lalang, menambah ‘krasan’ seorang gadis untuk berlama – lama menikmati hobinya. Hampir tiap malam, Mega menghabiskan 2 hingga 3 jam dari waktunya untuk duduk di jendela kamarnya yang terletak di lantai teratas gedung tua ini. Semua tampak begitu menakjubkan dan indah dari atas sini. Baginya, alam di senja dan malam hari adalah klimaks dari siklus semesta, yang selalu bisa hadirkan rasa teduh dan nyaman di hatinya. Ditemani secarik kertas, sebuah pena, dan gitar kesayangannya, tak terhitung berapa buah karya dalam melodi yang ia ‘lahirkan’ setiap ia menjalani ritual panjang di tepian jendela kamarnya. Mega memang terkenal lihai dalam bersilat kata yang konotatif. Suka dan dukanya sering ia tuangkan dalam sebuah puisi dan syair. Belakangan, ia mulai mengasah otak kirinya dengan bermain – main bersama nada. Suaranya yang indah, sering dijadikan kawan – kawannya alat untuk melampiaskan hasrat dan suasana hati. Seperti malam itu, Mega pun sedang bersenandung tentang sebuah elegi kecil dalam sekelumit hidupnya.

Bukan kata & bukan apa yang terlihat mata,

Lain materi pun tak hanya puisi,

Yang menjaga ... dan menjaga ....

peduli hati, dan tak ingin nodai hati....


Sebait yang singkat itu terhenti, saat Ratna teman sekamarnya tiba – tiba duduk di sampingnya.

Ga.. Andri nitip salam lagi tuh! Dia nanyain tentang surat yang dia kirim kemarin buat kamu.”


Wa’alaikumussalam warohamtullah wabarokatuh... Ah, males, Na! Aku kurang suka berteman dengan orang yang suka menyombongkan dirinya”, Mega menanggapi sambil memainkan senar – senar gitarnya.


Sebenarnya lelaki seperti apa yang kamu harapkan, Ga ? Fian, Angga, Satria, Andri... tak satupun yang kamu tanggepin. Apa benar kamu sudah punya seseorang?”


Dengan sesimpul senyumnya yang manis, Mega mencoba menjawab pertanyaan Ratna yang terakhir dengan bijak.

Aku membenarkan jika ada yang bilang bahwa hidup ini terlalu singkat jika harus dilewati bersama pilihan yang salah, Na.. Dan aku gak mau salah dalam memilih. Yang kulihat, mereka semua sama, hanya mengutamakan emosi dan kepentingan sesaat.”


Lalu yang kamu mau seperti apa, Ga?” Ratna masih dengan penasarannya.


Yang jelas, dia yang bisa menjaga hatinya.. menjaga hatiku... Karna fitrahnya kasih sayang itu, tidak menjerumuskan,Na... Hehehe... gak ngerti lah! Wes, kita ganti topik aja!” Mega berusaha mengalihkan pembicaraan mereka, walau tampak jelas dari mimik wajahnya ada yang tertahan. Ya... ada yang dia sembunyikan, namun sebenarnya ingin terungkapkan.


=====***=====


Siang itu, Mega baru saja keluar dari ruang kelasnya. Mata kuliah Mekanika Rekayasa yang baru saja berlalu, membuatnya bersemangat untuk segera sampai di kamar sekaligus ruang kerjanya. Sang dosen sedang bermurah hari ini, karna tanpa segan ia memberikan setumpuk tugas yang harus segera dikumpulkan keesokan harinya. Belum lagi tugas GT (Gambar Teknik) dari seminggu lalu yang tak kunjung usai. Mega hanya bisa tersenyum menikmati semua ini. Ada sebuah harap dan cita – cita besar, yang slalu bisa membuatnya lupa sejenak dengan semua beban dan tanggungjawabnya.

Menjadi mahasiswi teknik sipil, memang bukan pilihannya. Amanat dari bapak yang sangat dicintainya, membuat ia harus rela melepaskan cita – citanya untuk menjadi seorang astronot. Kegilaannya dari kecil pada bintang, bulan, planet, dan benda – benda angkasa, sepertinya menjadi salah satu benih terkuat munculnya cita – cita itu.

Bapak pengen kamu jadi arsitek, nduk.. Jadi insinyur hebat. Biar bisa bikin bangunan yang kokoh buat bangsamu ini.”


Ah... bicara tentang bapak. Sosoknya yang begitu sederhana namun sangat memegang teguh prinsip. Bapak bukan siapa – siapa, tapi ia begitu peduli tentang bangsa ini. Mega pun tak ragu memutuskan untuk mengamini harapan dan cita – cita bapak. Sekaligus wujud baktinya pada sosok yang ia idolakan itu.


Langkah gadis berjilbab katun hitam itu tertahan tatkala ia dapati langit tiba – tiba menangis dengan derasnya. Jika tak mengingat kertas – kertas bahan tugas yang bertumpuk di tas ransel abu – abunya, sudah pasti ia terjang hujan deras siang itu. Dan kini ia terduduk di lantai lobi kantor pusat, sambil menikmati melodi hujan dan wanginya aroma tanah. Tak jauh dari tempat Mega duduk bersila, ada sepasang mata yang walau sesekali menunduk, sedari tadi jelas mengamatinya. Sepasang mata yang pemiliknya sedang gelisah, bingung untuk melangkah. Lelaki itu tak lain adalah Awan. Dia tahu, ini bisa menjadi peluang emas baginya untuk mendekati gadis berjilbab yang terduduk di lantai ujung lobi sana. Sebuah jas hujan di dalam tasnya adalah senjata yang diyakininya saat ini sangat dibutuhkan Mega. Dan dia bisa alih – alih meminjamkan jas itu sembari mencuri perhatian dan simpatik dari Mega. Pergolakan hebat terjadi di hatinya, hingga ia memutuskan melakukan sesuatu...

Mega! Pulang bareng yuk! Ini aku ada jas hujan dua. Kebetulan tadi ada teman yang balikin, habis dipinjem kemaren!”

Eh, Rindang! Ndak ngerepotin? Kebetulan banget, aku juga butuh sampe rumah cepet nih!”

Mega dan Rindang pun, sukses menembus derasnya hujan dengan jas hujan penyelamat itu.


Sementara itu, di sebuah kamar di lantai 3 gedung apartemen tua, aku hanya bisa menggigil menikmati dingin yang hadir dari pakaian yang basah kuyup. Aku pun tak segera beranjak mengganti pakaian dan menghangatkan diri.

Hujan – hujanan tah, Wan? Tumben gak bawa jas hujan?” Lagi – lagi Setyo membuyarkan lamunanku.

Ora, Yo.. Jas hujanku tadi tak pinjemin temen.” kujawab dengan begitu datar. Ya... teman yang kukatakan tadi meminjam jas hujan, tak lain adalah Rindang. Aku sengaja ingin memberikan perhatian pada Mega dengan caraku sendiri. Yang menurutku tak akan berlebihan dan melemahkan siapapun. Tak sengaja, di tengah kegalauanku siang tadi tiba – tiba Rindang melintas. Aku pun menitipkan jas hujanku pada gadis itu, tentunya dengan pesan untuk tidak memberitahukan Mega tentang siapa pemiliknya. Ah... Rindang pasti akan menaruh curiga dan sedikit banyak tahu tentang perasaanku, sekalipun tadi aku sudah beralasan bahwa Mega adalah tipe orang yang pasti tidak mau jika aku atau temannya berkorban untuk dirinya. Biar sajalah, yang pasti aku sudah lega bisa kembali membantu Mega, walau selalu dengan cara yang sama. Sembunyi – sembunyi.

Benar – benar tak nyaman kondisi hatiku saat itu. Terhimpit dan tertekan antara naluri, nurani, dan ideologi. Apakah aku terlalu angkuh? Siapa pula yang tak ingin mengecap indahnya fitrah kasih sayang. Aku hanya takut... sangat takut. Aku yang lemah ini, tak bisa menjaga qalbu yang telah diamanahkan Allah untukku. Cukuplah mungkin saat ini, aku dan dia saling mengenal. Walau yang sering terjadi, aku lebih memilih menghindar dan seakan tak mau tahu setiap bertemu atau ada sesuatu yang berhubungan dengannya.


Ndak cuma sekali aku mergokin kamu sering ngelamun akhir – akhir ini, Wan... Ada apa? Bidadari berjilbabmu itu lagi?”, Setyo yang akhir – akhir ini terkesan begitu menyebalkan, kembali mengusikku.

Aku tidak menanggapi pertanyaannya, dan lebih memilih mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk biru kesayanganku.

Oalah, Wan... sampe kapan kamu mau memendam perasaanmu ? Lakukan sesuatu lah, biar dia tahu. Inget, Wan.. lelaki itu berhak mencari dan memilih, nanti baru wanita yang memutuskan. ” Setyo terus nyerocos bak bapakku saja. Aku memilih bergeming.

Tar keburu diambil orang, baru rasa kamu! Daripada kelamaan, nikahin aja sekalian! Bentar lagi kan kita sama - sama wisuda. Saat itu, temuin orang tuanya... langsung diminta! Piye?”

Dasar Setyo, tak pernah berubah. Paling suka bercakap tanpa berfikir lebih panjang. Aku pun hanya menanggapi semua yang dia sampaikan tadi sebagai lelucon dan isapan jempol.

Merasa tak digubris olehku, Setyo meninggalkan kamar. Di depan pintu, dia membalik badannya tiba – tiba, sambil menatapku tajam. Tatapan seorang lelaki. “Wan... aku tahu kamu berbeda dariku dan dari kebanyakan teman – teman kita yang laen. Aku tahu kamu ikhlas dan tulus padanya. Tapi kamu harus berani, Wan... Setidaknya buat ia tahu, itu saja..... Ojo sampe getun mburi....”


Setyo. Kuakui dia tlah menjadi lebih dari sekedar teman sekamar bagiku. Bersamanya selama 3,5 tahun ini, membuat kami saling mengenal dan memahami “dapur” masing – masing. Saat ini sepertinya memang dia yang paling tahu kondisiku. Tak kuingkari kejadian seperti siang tadi, terlampau sering kulakukan. Perhatian yang sengaja kuberikan secara sembunyi – sembunyi, demi menjaga semuanya. Aku tetap tak ingin Mega tahu saat ini tentang perasaanku yang sebenarnya. Tapi...

Ya Rabb.... aku harus bagaimana?


==== *** ====


Mega masih bergelut dengan setumpuk kertas kerjanya, saat tiba – tiba Eternal Flame mengalun dari ponsel NOKIA putih miliknya.

Layar LCD merekam sebuah nama yang membuatnya tersenyum begitu manis. “Mutiara_Hati”.

Dengan sigap Mega menekan tombol berwarna hijau, “Assalamu’alaikum.... dalem, Bu ?


Ini bapak, nduk... ibumu lagi nemenin Andira belajar. Bapak kangen, piye kabarmu?” sebuah suara teduh dan berwibawa meluncur dari seberang. Betapa sosok pemilik suara ini begitu dirindukan Mega. Bapak yang terlanjur menjadi idola sekaligus tangga – tangga mimpi baginya.

Alhamdulillah sae, Pak.. Bapak, Ibu, Dira gimana?”



Semua di sini juga alhamdulillah sehat. Adekmu tambah nakal aja, dah mulai tahu baju bagus. Bawaannya pengen belanja aja tiap hari.” bapak berujar sembari diselingi tawa renyah khasnya.

Gimana kuliahmu? Bapak sama ibu belakangan sering kepikiran kamu. Kamu bener baik – baik aja to, nduk?” ada nada kekhawatiran dalam pertanyaan bapak yang terakhir.

Mega sehat – sehat aja kok, pak.. . Memang tugas akhir – akhir ini tambah banyak, tapi dinikmatin aja. Kan bapak yang sering bilang, ndak perlu ngoyo yang penting niat dan tekun untuk mencapai tujuan!” Mega menimpali sambil tersenyum. Anak dan bapak ini, larut dalam renyah tawa dan keakraban yang begitu menyejukkan.

Bapak menyudahi obrolan malam itu dengan sebuah kalimat yang membuat Mega tak mampu berkata – kata. Kalimat yang begitu jarang ia dengar dari lisan lelaki keras yang begitu ia sayangi ini.

Ya wes, baek – baek di sana ya, nduk... Jaga diri... Bapak sayang kamu.....”

Deg! Betapa bergetar hati Mega saat itu. Haru dan kebahagiaan bercampur, membuncah dari dirinya. Kalimat yang tak pernah ia sangka itu, meluncur demikian indahnya. Ternyata seucap kata tentang cinta, ada kalanya memang perlu terlisankan. Keduanya terdiam cukup lama, hingga akhirnya...

Mega juga sayang Bapak.... ” air mata kelegaan mengalir deras di pipi gadis itu.


Jam duduk bergambar conan menunjukkan pukul 21:30. Tempat tidur Ratna teman sekamar Mega masih kosong. Itu artinya dia belum pulang. Karna tak biasanya tempat tidur itu tak berpenghuni di jam – jam seperti ini. Ratna tipe orang yang tak bisa tidur terlalu malam. Sangat berbeda dengan Mega yang hobi memejamkan mata berbarengan dengan kentongan petugas ronda yang berbunyi hingga dua belas kali.

Ada kekhawatiran di hati Mega. Tak ada kabar ataupun sms dari Ratna tentang keberadaannya malam ini.

Berselang sekira 10 menit, keresahan Mega terjawab, sebuah pesan singkat dari nomor asing masuk.

Ga,tlg jmpt. Aq di dpan stsiun”

Singkat. Mega coba menghubungi balik nomor tadi. Tak ada respon maupun jawaban. Segera ia sambar jilbab dan jaket dari almari sekenanya. Tugas dan kertas – kertas yang berserakan di mejanya ia lupakan dan tinggalkan beitu saja. Sepertinya kekhawatirannya membuat ia lupa bahwa sang dosen tlah menanti hasil kerjanya esok hari. Ia percepat langkah menuruni anak tangga, karena dengan angkutan umum tentunya butuh waktu lebih lama mencapai stasiun. Kenapa Ratna minta dijemput? Bukannya dia bawa motor? Pertanyaan – pertanyaan itu terus berseliweran di benaknya.



===== *** =====


Dari jendela angkot, Mega mencoba menangkap sebuah bayangan gadis berjilbab yang berdiri di samping pintu masuk stasiun. Tak salah lagi itu Ratna. Setelah memberikan ongkos pada sopir, Mega berlari kecil menghampiri Ratna. “Assalamu’alaikum.... ada apa to, Na?” ucapan Mega dibalas dengan sebuah pelukan dari Ratna. Sambil mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf berulang kali, Ratna bercerita. Ternyata selepas mengantar seorang kawan ke stasiun ba’da Maghrib tadi, ban motornya pecah. Tas yang berisi dompet dan ponsel miliknya tertinggal di kos kawan yang baru saja diantarnya pulang tadi. Sms yang dia kirim pada Mega pun, ternyata menggunakan ponsel milik seorang wanita murah hati yang tiba – tiba menghampirinya saat ia kebingungan tadi.

Oalah... ya wes, motormu sekarang sudah selesai belum? Habis ini kita langsung maem aja ya, pasti kamu belum maem kan?” ujar Mega sambil mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.

Hehehe... iya, makasih banget ya, Mega..”sekali lagi sebuah pelukan dan ciuman mendarat di pipi Mega.

Mega dan Ratna saat ini telah duduk berhadapan di sebuah warung lesehan favorit mereka. Keduanya sama – sama menunggu lalapan lele. “Sekali lagi thanks banget ya, Ga.... Aku gak bisa bayangin gimana kalo gak ada kamu....” Ratna tuk kesekian kalinya mengucapkan kalimat yang sama.

Kamu bilang kayak gitu lagi, dapat mangkuk cantik plus mas – mas yang nglayani kita tadi, lho!” Mega menimpali diikuti tawa keduanya.

Aku minta maaf ya.... Siapa tahu, aku gak bisa bantu kamu lagi, Na... ” ucapan Mega yang terakhir ini, membuat keduanya langsung terdiam. Ratna mencoba menterjemahkan apa makna dari kalimat yang barusan terucap dari lisan Mega. Mega sendiri pun sebenarnya kebingungan, dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Kalimat itu seperti hadir dari alam bawah sadarnya. Dan sepertinya mereka memilih tidak mempermasalahkan kalimat itu. Terlebih, pesanan lalapan lele mereka telah hadir.

Di perjalanan pulang, Mega sengaja menyuruh Ratna bonceng di belakang. Ingin menikmati suasana kota di malam hari katanya. Sepanjang perjalanan, mereka tak berhenti bercerita. Ratna yang paling sering mengusik Mega dengan pertanyaan, siapa pujaan hatinya. Dan lagi – lagi Mega slalu menjawab dengan senyum, “Nanti kamu juga akan tahu sendiri, doain aja ya....”

Hingga sinar yang begitu menyilaukan itu menghantam pandangan mereka. Dan... dimulailah kisah baru...


===== *** =====


Kupu – kupu menari indah menyibak subuh

tersenyumkah... menangiskah.... ?

Demi sebuah kisah di ujung gulita malam

ditemani rinai gerimis pada sebuah jiwa

tersenyumkah... menangiskah.... ?

Semesta gulana, guratkan asa yang hilang dari memula

elok senja tak lagi punya makna

tersenyumkah ... menangiskah.... ?

Saat kembang tak lagi mekar dan mewangi dalam sunyi

perlahan terpoles serupa duka tentang sebuah diri

Kini kutahu, ia tak tersenyum...

Kini kutahu, ia tak menangis...

Ia hanya terdiam.....


===== *** =====


Aku masih terdiam di sudut kamar, saat perlahan kudengar adzan Subuh mengalun. Bantal yang kurasakan telah basah oleh air mata, membuatku semakin tak ingin beranjak. Ingin rasanya aku tak terjaga dari tidurku semalam. Perjumpaanku dengan sesosok bidadari surga membuatku merasa dunia ini benar - benar semu adanya. Ah... mimpiku semalam benar – benar indah. Bilamana akan benar – benar kuraih dirinya. Di duniakah ? Atau kelak di sana ? Kuyakini, hanya sujud – sujudku nanti yang mampu menjawabnya. Kulangkahkan kakiku menuju tempat wudhu.

===== *** =====


Assyifa Mega Nanda. Sebuah nama yang tertulis jelas di hadapku kini, benar – benar membuatku mematung. Hatiku beku. Tak kalah hebat saat pertama kali kudengar kabar tentangnya 2 hari yang lalu. Malam yang sunyi dan dingin kala itu, menjadi saksi tentang menyeberangnya sebuah jiwa pada dunia yang berbeda. Bidadari berjilbabku itu, kini tak mampu lagi kunikmati senyumnya, kudengar merdu suaranya, kuamati santun dan mulia lakunya. Aku kehilangannya di dunia. Terlebih saat aku tlah meyakini bahwa aku memang mencintainya. Mencintai seorang gadis yang sengaja tak kubiarkan untuk tahu tentang hatiku demi alasan sebuah penjagaan hati.

Malam itu, sebuah truk yang mengangkut kayu oleng dan menyenggol motornya dari arah depan. Mega sudah berusaha menghindar, tapi kehadiran truk dari balik tikungan yang cukup tajam, membuat ia juga tak kuasa mengendalikan motornya. Serentak ia banting setir ke arah kiri dan motor pun terjatuh ke sebuah parit mati. Ratna yang berada di belakang, selamat. Kaki kirinya patah karena terjatuh dari motor cukup jauh. Itupun setelah Mega sempat meneriakkan kepadanya untuk segera loncat. Menurut Ratna, kemungkinan Mega menghembuskan nafas terakhirnya di lokasi kejadian. Karena saat terlempar dari motor, helm yang dikenakan Mega terlepas. Anehnya, tak ada sedikitpun darah atau luka di tubuh Mega. Mungkin ia mengalami luka atau pendarahan di dalam karena benturan, begitu menurut dokter. Ratna juga bercerita, bahwa jenazah Mega tersenyum, benar – benar tersenyum.

Tanah merah dan batu nisan di depanku kini mungkin bertanya, mengapa aku masih saja terdiam sedari tadi. Air mata bak pancuran yang begitu deras selayaknya mengalir dari mataku yang nanar. Namun aku tak kuasa. Aku tak mampu. Kurasakan air mata itu kini justru membasahi hatiku. Menyisakan kubangan kesedihan yang tak kunjung mengering. Inikah rasanya kehilangan ?

Ataukah semua akan menjadi berbeda saat aku ikuti saran Setyo sedari dulu untuk mengungkapkan perasaanku padanya? Sekedar membuatnya tahu, tak lebih.....

Semerbak aroma kamboja membuatku tersadar, bahwa siklus kehidupan akan terus berjalan. Lahir, tumbuh, lalu mati. Seperti bunga – bunga itu yang kini berguguran di tanah.

Ya Robbi... maafkan aku yang lancang menghakimi dan menilai takdir-Mu. Perjuanganku tak akan berhenti di sini. Akan terus kupacu jiwa dan ragaku, untuk menemuinya di surga kelak. Sebagai bidadari penyanding kehidupan abadiku.

Sebelum beranjak dari tempat peristirahatan terakhirnya, aku sempatkan untuk membuat sebuah pengakuan di atas batu nisannya.

Mega.... aku, Awan Arga Qowiyyu, mencintaimu......”



dituntaskan di Malang, 14 Desember’ 08

^_^