Minggu, 21 Desember 2008

Behind of Bidadari Surga

Tak semudah membalik telapak tangan. Mungkin itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan perjuanganku selama beberapa minggu terakhir. Ya... siapapun pasti bisa bercerita... berbicara.. dan menulis. Tapi ternyata, menulis cerpen itu tidak semudah yang aku kira. Harus penuh imajinasi, inspirasi, dan keberanian untuk selalu mencari akan dibawa ke mana akhir dari kisah itu nanti.
Setumpuk aktivitas yang seharusnya tak pantas dijadikan alasan, terbukti menjadi batu sandungan di tengah proses penyelesaian. Beruntung, sedikit semangat dalam hati ini terus menyala. Bahwa apa yang sudah aku awali, aku pula yang harus menuntaskannya. Ini semua pun, tak lepas dari bimbingan dan obor spirit yang tak pernah padam dari sahabat - sahabat terbaikku. Terutama seorang kakak yang tak pernah bosan - bosannya menerorku dengan sms - sms penyemangatnya, agar karya perdana ini segera diterbitkan. Terima kasih pula untuknya atas sebuah judul yang cukup menggugah ini (setidaknya bagiku, hehehe...)

Sangat jauh dari sebuah kata layak apalagi sempurna, untuk sebuah cerita pendek karya seorang amatir sepertiku. Kusadari, terlampau banyak kekurangan di sana - sini yang berpotensi untuk mendapat kritik dan saran yang mampu membuatnya jauh lebih baik lagi. Yang pasti, aku ingin terus menulis. Terus menggoreskan imajinasi yang selalu liar dan sering tak terkendali ini. Semoga aku bisa me-manage waktu, hati, dan kondisiku dengan baik untuk itu. 

Awalnya, kisah ini terinspirasi dari kehidupan nyata seorang kawan yang cukup menggugahku. Keberanian dan keteguhannya dalam mempertahankan idealisme, sekalipun harus terbayarkan oleh luka hati yang tak terobati. Kehidupanku saat ini di sebuah asrama, menginspirasiku pula untuk menorehkannya sebagai latar dalam cerita ini. Sad-ending kujadikan pilihan, karna bagiku cukup menggugah, kondisi hati seseorang saat ia dihadapkan pada sebuah pilihan dan akhirnya harus kehilangan. Sekaligus sebagai pengingat bagi diriku, bahwa tak ada yang lebih bisa menguatkan hati seseorang selain dirinya sendiri. Sebuah lagu dari ST-12 yang kudengar semalam sebelum cerpen ini tuntas, juga cukup memberiku inspirasi.  

Benar bahwa dalam membuat sebuah cerita, kita terlebih dahulu harus memiliki konsep dan kerangka yang jelas. Agar cerita tidak mengembang dan berlarian ke mana - mana :) Jujur ini kualami di tengah - tangah cerita. Hingga akhirnya, kebingungan menentukan ending cerita, membuat proses finishing semakin lama. Penguatan karakter tiap - tiap tokoh pun, menurutku memang hal penting agar pembaca selalu bisa merasakan kedalaman dan kekuatan setiap konflik yang terjadi di dalamnya.
Ah.. nama Pramoedya, Gunawan Muhammad, Ahmad Tohari, Helvy Tiana Rosa, Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata... seakan selalu memanggil sekaligus menertawakanku. Melihat semangat ini bak ombak di laut yang pasang dan surut.
Nama mereka juga yang akan slalu menginspirasiku dan membiarkan sedikit nyala semangat di hati ini tetap ada.

Semoga aku dan kita semua, bisa terus berkarya dan memberi makna bagi sekitar kita. Yang tak pernah boleh dilupakan adalah substansi sukses itu di proses, bukan hasil akhir!

Bukankah waktu tak lagi sesuatu, saat proses perjuangan menuju hasil jauh lebih memaknai diri.

Selasa, 16 Desember 2008

Bidadari Surga

Hayoo… mandengin sopo?!!”

Gertakan sekaligus sebuah sindiran dari Setyo, membuatku sadar dari lamunan & tasbih sesaatku. Ingin marah rasanya, karna dia telah mengusik indahnya pesona senja saat itu. Yang kemolekannya begitu nyata ditambah hadirnya sesosok manis yang telah mencuri hatiku belakangan ini.

Ya… gadis itulah yang sebenarnya ditanyakan Setyo sedari tadi. Gadis yang sering membuatku bertasbih dan beristighfar, agar Allah tetap menjaga hatiku yang lemah ini, dari pesona yang Ia titipkan pada salah seorang hamba-Nya.

Aku memang sering diam – diam memandanginya, dari kamarku yang terletak di lantai 3 gedung ini. Sebuah apartemen kelas ekonomi, yang mayoritas penghuninya adalah para karyawan dan mahasiswa sebuah universitas swasta yang cukup tenar di kota ini.

Begitu cantik dan mempesonakah ia? Mungkin secara fisik, itu relatif. Tiap orang berhak mengidentifikasikan & menilai berdasarkan pandangan mereka. Tetapi, yang jauh lebih membuatku kagum pada gadis ini adalah, penampilannya yang begitu mulia dan anggun dalam balutan busana muslimah yang menutup auratnya dengan sempurna. Berjilbab pun, seakan bukan penghalang baginya untuk tetap aktif dan lincah dalam beraktivitas. Seperti saat ini, dia yang begitu semangat berlari dan berlompatan ke sana kemari dengan sebuah raket di tangan kanannya. Dia berbeda. Hanya itu yang ada di benakku saat pertama kali mengenalnya, bahkan hingga kini.

Kenapa gak langsung tembak aja, Wan? Siapa cepat, dia dapat lho... Setahuku banyak juga yang mengincar dia”, Setyo kembali membuyarkan lamunanku.


Ngawur kowe, Yo! Dia terlalu indah untuk tahu tentang rasa yang mungkin sesaat & belum tentu suci ini!”, entah kenapa ada sedikit gusar dan luapan emosi saat aku menanggapi pertanyaan Setyo tadi.


Awan.. Awan...! Aku tuh sering bingung dengan jalan fikiranmu!”, ujar Setyo sambil berlalu pergi.


Kamu memang gak ngerti Yo.. bahkan mungkin tidak akan pernah mengerti tentang apa yang aku fikirkan & rasakan. Selama kamu selalu memandang & menilai sesuatu, hanya dari apa yang tampak sesaat. Tanpa mencoba menyelami & menemukan maknanya yang lebih dalam. Yang jelas, tidak! Tidak akan kubiarkan lisan dan seluruh indraku ini dengan lancang melakukan sesuatu yang bisa membuatnya tahu, bahwa hingga kini aku diam – diam mengaguminya. Sungguh tak ingin kusakiti dan kunodai hatinya... hati kami... dengan emosi sesaatku.


===== *** =====


Malam itu begitu indah. Bintang dan bulan berpadu membentuk lukisan menawan tentang angkasa. Kelip – kelip lampu jalan dan kendaraan yang lalu lalang, menambah ‘krasan’ seorang gadis untuk berlama – lama menikmati hobinya. Hampir tiap malam, Mega menghabiskan 2 hingga 3 jam dari waktunya untuk duduk di jendela kamarnya yang terletak di lantai teratas gedung tua ini. Semua tampak begitu menakjubkan dan indah dari atas sini. Baginya, alam di senja dan malam hari adalah klimaks dari siklus semesta, yang selalu bisa hadirkan rasa teduh dan nyaman di hatinya. Ditemani secarik kertas, sebuah pena, dan gitar kesayangannya, tak terhitung berapa buah karya dalam melodi yang ia ‘lahirkan’ setiap ia menjalani ritual panjang di tepian jendela kamarnya. Mega memang terkenal lihai dalam bersilat kata yang konotatif. Suka dan dukanya sering ia tuangkan dalam sebuah puisi dan syair. Belakangan, ia mulai mengasah otak kirinya dengan bermain – main bersama nada. Suaranya yang indah, sering dijadikan kawan – kawannya alat untuk melampiaskan hasrat dan suasana hati. Seperti malam itu, Mega pun sedang bersenandung tentang sebuah elegi kecil dalam sekelumit hidupnya.

Bukan kata & bukan apa yang terlihat mata,

Lain materi pun tak hanya puisi,

Yang menjaga ... dan menjaga ....

peduli hati, dan tak ingin nodai hati....


Sebait yang singkat itu terhenti, saat Ratna teman sekamarnya tiba – tiba duduk di sampingnya.

Ga.. Andri nitip salam lagi tuh! Dia nanyain tentang surat yang dia kirim kemarin buat kamu.”


Wa’alaikumussalam warohamtullah wabarokatuh... Ah, males, Na! Aku kurang suka berteman dengan orang yang suka menyombongkan dirinya”, Mega menanggapi sambil memainkan senar – senar gitarnya.


Sebenarnya lelaki seperti apa yang kamu harapkan, Ga ? Fian, Angga, Satria, Andri... tak satupun yang kamu tanggepin. Apa benar kamu sudah punya seseorang?”


Dengan sesimpul senyumnya yang manis, Mega mencoba menjawab pertanyaan Ratna yang terakhir dengan bijak.

Aku membenarkan jika ada yang bilang bahwa hidup ini terlalu singkat jika harus dilewati bersama pilihan yang salah, Na.. Dan aku gak mau salah dalam memilih. Yang kulihat, mereka semua sama, hanya mengutamakan emosi dan kepentingan sesaat.”


Lalu yang kamu mau seperti apa, Ga?” Ratna masih dengan penasarannya.


Yang jelas, dia yang bisa menjaga hatinya.. menjaga hatiku... Karna fitrahnya kasih sayang itu, tidak menjerumuskan,Na... Hehehe... gak ngerti lah! Wes, kita ganti topik aja!” Mega berusaha mengalihkan pembicaraan mereka, walau tampak jelas dari mimik wajahnya ada yang tertahan. Ya... ada yang dia sembunyikan, namun sebenarnya ingin terungkapkan.


=====***=====


Siang itu, Mega baru saja keluar dari ruang kelasnya. Mata kuliah Mekanika Rekayasa yang baru saja berlalu, membuatnya bersemangat untuk segera sampai di kamar sekaligus ruang kerjanya. Sang dosen sedang bermurah hari ini, karna tanpa segan ia memberikan setumpuk tugas yang harus segera dikumpulkan keesokan harinya. Belum lagi tugas GT (Gambar Teknik) dari seminggu lalu yang tak kunjung usai. Mega hanya bisa tersenyum menikmati semua ini. Ada sebuah harap dan cita – cita besar, yang slalu bisa membuatnya lupa sejenak dengan semua beban dan tanggungjawabnya.

Menjadi mahasiswi teknik sipil, memang bukan pilihannya. Amanat dari bapak yang sangat dicintainya, membuat ia harus rela melepaskan cita – citanya untuk menjadi seorang astronot. Kegilaannya dari kecil pada bintang, bulan, planet, dan benda – benda angkasa, sepertinya menjadi salah satu benih terkuat munculnya cita – cita itu.

Bapak pengen kamu jadi arsitek, nduk.. Jadi insinyur hebat. Biar bisa bikin bangunan yang kokoh buat bangsamu ini.”


Ah... bicara tentang bapak. Sosoknya yang begitu sederhana namun sangat memegang teguh prinsip. Bapak bukan siapa – siapa, tapi ia begitu peduli tentang bangsa ini. Mega pun tak ragu memutuskan untuk mengamini harapan dan cita – cita bapak. Sekaligus wujud baktinya pada sosok yang ia idolakan itu.


Langkah gadis berjilbab katun hitam itu tertahan tatkala ia dapati langit tiba – tiba menangis dengan derasnya. Jika tak mengingat kertas – kertas bahan tugas yang bertumpuk di tas ransel abu – abunya, sudah pasti ia terjang hujan deras siang itu. Dan kini ia terduduk di lantai lobi kantor pusat, sambil menikmati melodi hujan dan wanginya aroma tanah. Tak jauh dari tempat Mega duduk bersila, ada sepasang mata yang walau sesekali menunduk, sedari tadi jelas mengamatinya. Sepasang mata yang pemiliknya sedang gelisah, bingung untuk melangkah. Lelaki itu tak lain adalah Awan. Dia tahu, ini bisa menjadi peluang emas baginya untuk mendekati gadis berjilbab yang terduduk di lantai ujung lobi sana. Sebuah jas hujan di dalam tasnya adalah senjata yang diyakininya saat ini sangat dibutuhkan Mega. Dan dia bisa alih – alih meminjamkan jas itu sembari mencuri perhatian dan simpatik dari Mega. Pergolakan hebat terjadi di hatinya, hingga ia memutuskan melakukan sesuatu...

Mega! Pulang bareng yuk! Ini aku ada jas hujan dua. Kebetulan tadi ada teman yang balikin, habis dipinjem kemaren!”

Eh, Rindang! Ndak ngerepotin? Kebetulan banget, aku juga butuh sampe rumah cepet nih!”

Mega dan Rindang pun, sukses menembus derasnya hujan dengan jas hujan penyelamat itu.


Sementara itu, di sebuah kamar di lantai 3 gedung apartemen tua, aku hanya bisa menggigil menikmati dingin yang hadir dari pakaian yang basah kuyup. Aku pun tak segera beranjak mengganti pakaian dan menghangatkan diri.

Hujan – hujanan tah, Wan? Tumben gak bawa jas hujan?” Lagi – lagi Setyo membuyarkan lamunanku.

Ora, Yo.. Jas hujanku tadi tak pinjemin temen.” kujawab dengan begitu datar. Ya... teman yang kukatakan tadi meminjam jas hujan, tak lain adalah Rindang. Aku sengaja ingin memberikan perhatian pada Mega dengan caraku sendiri. Yang menurutku tak akan berlebihan dan melemahkan siapapun. Tak sengaja, di tengah kegalauanku siang tadi tiba – tiba Rindang melintas. Aku pun menitipkan jas hujanku pada gadis itu, tentunya dengan pesan untuk tidak memberitahukan Mega tentang siapa pemiliknya. Ah... Rindang pasti akan menaruh curiga dan sedikit banyak tahu tentang perasaanku, sekalipun tadi aku sudah beralasan bahwa Mega adalah tipe orang yang pasti tidak mau jika aku atau temannya berkorban untuk dirinya. Biar sajalah, yang pasti aku sudah lega bisa kembali membantu Mega, walau selalu dengan cara yang sama. Sembunyi – sembunyi.

Benar – benar tak nyaman kondisi hatiku saat itu. Terhimpit dan tertekan antara naluri, nurani, dan ideologi. Apakah aku terlalu angkuh? Siapa pula yang tak ingin mengecap indahnya fitrah kasih sayang. Aku hanya takut... sangat takut. Aku yang lemah ini, tak bisa menjaga qalbu yang telah diamanahkan Allah untukku. Cukuplah mungkin saat ini, aku dan dia saling mengenal. Walau yang sering terjadi, aku lebih memilih menghindar dan seakan tak mau tahu setiap bertemu atau ada sesuatu yang berhubungan dengannya.


Ndak cuma sekali aku mergokin kamu sering ngelamun akhir – akhir ini, Wan... Ada apa? Bidadari berjilbabmu itu lagi?”, Setyo yang akhir – akhir ini terkesan begitu menyebalkan, kembali mengusikku.

Aku tidak menanggapi pertanyaannya, dan lebih memilih mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk biru kesayanganku.

Oalah, Wan... sampe kapan kamu mau memendam perasaanmu ? Lakukan sesuatu lah, biar dia tahu. Inget, Wan.. lelaki itu berhak mencari dan memilih, nanti baru wanita yang memutuskan. ” Setyo terus nyerocos bak bapakku saja. Aku memilih bergeming.

Tar keburu diambil orang, baru rasa kamu! Daripada kelamaan, nikahin aja sekalian! Bentar lagi kan kita sama - sama wisuda. Saat itu, temuin orang tuanya... langsung diminta! Piye?”

Dasar Setyo, tak pernah berubah. Paling suka bercakap tanpa berfikir lebih panjang. Aku pun hanya menanggapi semua yang dia sampaikan tadi sebagai lelucon dan isapan jempol.

Merasa tak digubris olehku, Setyo meninggalkan kamar. Di depan pintu, dia membalik badannya tiba – tiba, sambil menatapku tajam. Tatapan seorang lelaki. “Wan... aku tahu kamu berbeda dariku dan dari kebanyakan teman – teman kita yang laen. Aku tahu kamu ikhlas dan tulus padanya. Tapi kamu harus berani, Wan... Setidaknya buat ia tahu, itu saja..... Ojo sampe getun mburi....”


Setyo. Kuakui dia tlah menjadi lebih dari sekedar teman sekamar bagiku. Bersamanya selama 3,5 tahun ini, membuat kami saling mengenal dan memahami “dapur” masing – masing. Saat ini sepertinya memang dia yang paling tahu kondisiku. Tak kuingkari kejadian seperti siang tadi, terlampau sering kulakukan. Perhatian yang sengaja kuberikan secara sembunyi – sembunyi, demi menjaga semuanya. Aku tetap tak ingin Mega tahu saat ini tentang perasaanku yang sebenarnya. Tapi...

Ya Rabb.... aku harus bagaimana?


==== *** ====


Mega masih bergelut dengan setumpuk kertas kerjanya, saat tiba – tiba Eternal Flame mengalun dari ponsel NOKIA putih miliknya.

Layar LCD merekam sebuah nama yang membuatnya tersenyum begitu manis. “Mutiara_Hati”.

Dengan sigap Mega menekan tombol berwarna hijau, “Assalamu’alaikum.... dalem, Bu ?


Ini bapak, nduk... ibumu lagi nemenin Andira belajar. Bapak kangen, piye kabarmu?” sebuah suara teduh dan berwibawa meluncur dari seberang. Betapa sosok pemilik suara ini begitu dirindukan Mega. Bapak yang terlanjur menjadi idola sekaligus tangga – tangga mimpi baginya.

Alhamdulillah sae, Pak.. Bapak, Ibu, Dira gimana?”



Semua di sini juga alhamdulillah sehat. Adekmu tambah nakal aja, dah mulai tahu baju bagus. Bawaannya pengen belanja aja tiap hari.” bapak berujar sembari diselingi tawa renyah khasnya.

Gimana kuliahmu? Bapak sama ibu belakangan sering kepikiran kamu. Kamu bener baik – baik aja to, nduk?” ada nada kekhawatiran dalam pertanyaan bapak yang terakhir.

Mega sehat – sehat aja kok, pak.. . Memang tugas akhir – akhir ini tambah banyak, tapi dinikmatin aja. Kan bapak yang sering bilang, ndak perlu ngoyo yang penting niat dan tekun untuk mencapai tujuan!” Mega menimpali sambil tersenyum. Anak dan bapak ini, larut dalam renyah tawa dan keakraban yang begitu menyejukkan.

Bapak menyudahi obrolan malam itu dengan sebuah kalimat yang membuat Mega tak mampu berkata – kata. Kalimat yang begitu jarang ia dengar dari lisan lelaki keras yang begitu ia sayangi ini.

Ya wes, baek – baek di sana ya, nduk... Jaga diri... Bapak sayang kamu.....”

Deg! Betapa bergetar hati Mega saat itu. Haru dan kebahagiaan bercampur, membuncah dari dirinya. Kalimat yang tak pernah ia sangka itu, meluncur demikian indahnya. Ternyata seucap kata tentang cinta, ada kalanya memang perlu terlisankan. Keduanya terdiam cukup lama, hingga akhirnya...

Mega juga sayang Bapak.... ” air mata kelegaan mengalir deras di pipi gadis itu.


Jam duduk bergambar conan menunjukkan pukul 21:30. Tempat tidur Ratna teman sekamar Mega masih kosong. Itu artinya dia belum pulang. Karna tak biasanya tempat tidur itu tak berpenghuni di jam – jam seperti ini. Ratna tipe orang yang tak bisa tidur terlalu malam. Sangat berbeda dengan Mega yang hobi memejamkan mata berbarengan dengan kentongan petugas ronda yang berbunyi hingga dua belas kali.

Ada kekhawatiran di hati Mega. Tak ada kabar ataupun sms dari Ratna tentang keberadaannya malam ini.

Berselang sekira 10 menit, keresahan Mega terjawab, sebuah pesan singkat dari nomor asing masuk.

Ga,tlg jmpt. Aq di dpan stsiun”

Singkat. Mega coba menghubungi balik nomor tadi. Tak ada respon maupun jawaban. Segera ia sambar jilbab dan jaket dari almari sekenanya. Tugas dan kertas – kertas yang berserakan di mejanya ia lupakan dan tinggalkan beitu saja. Sepertinya kekhawatirannya membuat ia lupa bahwa sang dosen tlah menanti hasil kerjanya esok hari. Ia percepat langkah menuruni anak tangga, karena dengan angkutan umum tentunya butuh waktu lebih lama mencapai stasiun. Kenapa Ratna minta dijemput? Bukannya dia bawa motor? Pertanyaan – pertanyaan itu terus berseliweran di benaknya.



===== *** =====


Dari jendela angkot, Mega mencoba menangkap sebuah bayangan gadis berjilbab yang berdiri di samping pintu masuk stasiun. Tak salah lagi itu Ratna. Setelah memberikan ongkos pada sopir, Mega berlari kecil menghampiri Ratna. “Assalamu’alaikum.... ada apa to, Na?” ucapan Mega dibalas dengan sebuah pelukan dari Ratna. Sambil mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf berulang kali, Ratna bercerita. Ternyata selepas mengantar seorang kawan ke stasiun ba’da Maghrib tadi, ban motornya pecah. Tas yang berisi dompet dan ponsel miliknya tertinggal di kos kawan yang baru saja diantarnya pulang tadi. Sms yang dia kirim pada Mega pun, ternyata menggunakan ponsel milik seorang wanita murah hati yang tiba – tiba menghampirinya saat ia kebingungan tadi.

Oalah... ya wes, motormu sekarang sudah selesai belum? Habis ini kita langsung maem aja ya, pasti kamu belum maem kan?” ujar Mega sambil mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.

Hehehe... iya, makasih banget ya, Mega..”sekali lagi sebuah pelukan dan ciuman mendarat di pipi Mega.

Mega dan Ratna saat ini telah duduk berhadapan di sebuah warung lesehan favorit mereka. Keduanya sama – sama menunggu lalapan lele. “Sekali lagi thanks banget ya, Ga.... Aku gak bisa bayangin gimana kalo gak ada kamu....” Ratna tuk kesekian kalinya mengucapkan kalimat yang sama.

Kamu bilang kayak gitu lagi, dapat mangkuk cantik plus mas – mas yang nglayani kita tadi, lho!” Mega menimpali diikuti tawa keduanya.

Aku minta maaf ya.... Siapa tahu, aku gak bisa bantu kamu lagi, Na... ” ucapan Mega yang terakhir ini, membuat keduanya langsung terdiam. Ratna mencoba menterjemahkan apa makna dari kalimat yang barusan terucap dari lisan Mega. Mega sendiri pun sebenarnya kebingungan, dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Kalimat itu seperti hadir dari alam bawah sadarnya. Dan sepertinya mereka memilih tidak mempermasalahkan kalimat itu. Terlebih, pesanan lalapan lele mereka telah hadir.

Di perjalanan pulang, Mega sengaja menyuruh Ratna bonceng di belakang. Ingin menikmati suasana kota di malam hari katanya. Sepanjang perjalanan, mereka tak berhenti bercerita. Ratna yang paling sering mengusik Mega dengan pertanyaan, siapa pujaan hatinya. Dan lagi – lagi Mega slalu menjawab dengan senyum, “Nanti kamu juga akan tahu sendiri, doain aja ya....”

Hingga sinar yang begitu menyilaukan itu menghantam pandangan mereka. Dan... dimulailah kisah baru...


===== *** =====


Kupu – kupu menari indah menyibak subuh

tersenyumkah... menangiskah.... ?

Demi sebuah kisah di ujung gulita malam

ditemani rinai gerimis pada sebuah jiwa

tersenyumkah... menangiskah.... ?

Semesta gulana, guratkan asa yang hilang dari memula

elok senja tak lagi punya makna

tersenyumkah ... menangiskah.... ?

Saat kembang tak lagi mekar dan mewangi dalam sunyi

perlahan terpoles serupa duka tentang sebuah diri

Kini kutahu, ia tak tersenyum...

Kini kutahu, ia tak menangis...

Ia hanya terdiam.....


===== *** =====


Aku masih terdiam di sudut kamar, saat perlahan kudengar adzan Subuh mengalun. Bantal yang kurasakan telah basah oleh air mata, membuatku semakin tak ingin beranjak. Ingin rasanya aku tak terjaga dari tidurku semalam. Perjumpaanku dengan sesosok bidadari surga membuatku merasa dunia ini benar - benar semu adanya. Ah... mimpiku semalam benar – benar indah. Bilamana akan benar – benar kuraih dirinya. Di duniakah ? Atau kelak di sana ? Kuyakini, hanya sujud – sujudku nanti yang mampu menjawabnya. Kulangkahkan kakiku menuju tempat wudhu.

===== *** =====


Assyifa Mega Nanda. Sebuah nama yang tertulis jelas di hadapku kini, benar – benar membuatku mematung. Hatiku beku. Tak kalah hebat saat pertama kali kudengar kabar tentangnya 2 hari yang lalu. Malam yang sunyi dan dingin kala itu, menjadi saksi tentang menyeberangnya sebuah jiwa pada dunia yang berbeda. Bidadari berjilbabku itu, kini tak mampu lagi kunikmati senyumnya, kudengar merdu suaranya, kuamati santun dan mulia lakunya. Aku kehilangannya di dunia. Terlebih saat aku tlah meyakini bahwa aku memang mencintainya. Mencintai seorang gadis yang sengaja tak kubiarkan untuk tahu tentang hatiku demi alasan sebuah penjagaan hati.

Malam itu, sebuah truk yang mengangkut kayu oleng dan menyenggol motornya dari arah depan. Mega sudah berusaha menghindar, tapi kehadiran truk dari balik tikungan yang cukup tajam, membuat ia juga tak kuasa mengendalikan motornya. Serentak ia banting setir ke arah kiri dan motor pun terjatuh ke sebuah parit mati. Ratna yang berada di belakang, selamat. Kaki kirinya patah karena terjatuh dari motor cukup jauh. Itupun setelah Mega sempat meneriakkan kepadanya untuk segera loncat. Menurut Ratna, kemungkinan Mega menghembuskan nafas terakhirnya di lokasi kejadian. Karena saat terlempar dari motor, helm yang dikenakan Mega terlepas. Anehnya, tak ada sedikitpun darah atau luka di tubuh Mega. Mungkin ia mengalami luka atau pendarahan di dalam karena benturan, begitu menurut dokter. Ratna juga bercerita, bahwa jenazah Mega tersenyum, benar – benar tersenyum.

Tanah merah dan batu nisan di depanku kini mungkin bertanya, mengapa aku masih saja terdiam sedari tadi. Air mata bak pancuran yang begitu deras selayaknya mengalir dari mataku yang nanar. Namun aku tak kuasa. Aku tak mampu. Kurasakan air mata itu kini justru membasahi hatiku. Menyisakan kubangan kesedihan yang tak kunjung mengering. Inikah rasanya kehilangan ?

Ataukah semua akan menjadi berbeda saat aku ikuti saran Setyo sedari dulu untuk mengungkapkan perasaanku padanya? Sekedar membuatnya tahu, tak lebih.....

Semerbak aroma kamboja membuatku tersadar, bahwa siklus kehidupan akan terus berjalan. Lahir, tumbuh, lalu mati. Seperti bunga – bunga itu yang kini berguguran di tanah.

Ya Robbi... maafkan aku yang lancang menghakimi dan menilai takdir-Mu. Perjuanganku tak akan berhenti di sini. Akan terus kupacu jiwa dan ragaku, untuk menemuinya di surga kelak. Sebagai bidadari penyanding kehidupan abadiku.

Sebelum beranjak dari tempat peristirahatan terakhirnya, aku sempatkan untuk membuat sebuah pengakuan di atas batu nisannya.

Mega.... aku, Awan Arga Qowiyyu, mencintaimu......”



dituntaskan di Malang, 14 Desember’ 08

^_^

Minggu, 23 November 2008

19Nop08

19 Nopember 2008, sepertinya akan menjadi salah satu hari yang tak terlupakan dalam hidupku. Bagaimana tidak, jika kau menjadi bahan pembicaraan dan lelucon, di hadapan 100 orang lebih,dalam waktu semalam!
Jika bisa kuputar waktu, tak ingin rasanya aku tertidur selepas Isya' itu...
Mentang - mentang sholat Isya' nya berjamaah, eh ketiduran kok ya berjamaah juga. Sampe - sampe ketinggalan buat apel malam! >.<
Yang lebih memalukan, ini adalah pertama kalinya aku telat bahkan absen, -Biasanya tukang teriak2 manggilin temen2 turun :D - itupun, karna suatu alasan yang konyol dan sangat memalukan (kalo kata temen2, 'gak mbois'). Yupi! Aku, lebih tepatnya kami se-blok, ketiduran.

"Ges... kamu gak ikut apel ta?" seru sebuah suara yang perlahan membangunkanku dari lelap.
Sambil mengumpulkan nyawa, aku mencoba menelusuri siapa si empunya suara tadi. Ternyata ketua kompi a.k.a ketua kelasku.

"Iya bu... aku turun bentar lagi...." masih dengan setengah ngantuk, aku ambil jilbab di lemari sekenanya, dan langsung keluar kamar. Di lobi kamarku sudah ada 3 teman lain yang siap dan terjaga (walau dengan mata - mata menahan kantuk). Sedang 3 lainnya, sepertinya masih terbang di nirwana.
Sambil memakai sepatu, aku lirik jam dinding yang menempel pada tembok di atasku.
"Loh? Udah jam 21:15, tumben temen - temen belum mulai apelnya?" tanyaku.

Masih dengan mimik muka santai seakan tak terjadi apapun, Erika, ketua kelasku berkata, "Siapa bilang belum mulai apelnya? Temen - temen dah di lapangan tuh dari tadi. Masing - masing kelas juga dah laporan. Ini aku suruh balik ma Riza (ketua senat), buat ngecek sekaligus jemput kalian. Coz, satu blok kok lenyap semuanya.... Bloknya gesty pula!"

DUENG! Bagai dihantam palu yang jatuh dari ketinggian lantai 4 asrama, entah bagaimana ekspresiku saat itu. Yang kuingat, aku sudah jongkok di lantai sambil berteriak histeris!
"Masya Allah... jadi ceritanya kita ini terdakwa??!!" >.<

Masih dengan santainya, "Iya... turun yuk.. temen - temen dah pada nunggu tuh..."

Aku lihat ekspresi teman - teman se-blokku. Pucat, merah, gak jelas! Dari mimik itu, aku bisa menangkap sebuah ungkapan lugas, "Gak usah turun donk... malu niih...."
Aku pribadi juga gak bisa membayangkan, bagaimana jika harus turun, 7 wanita berjilbab dalam barisan, diikuti mata - mata penuh pandangan aneh dari 100 orang lebih yang sudah siap sedari tadi lapangan.
"Erika... gimana dunk.. malu banget kalo harus turun..." ujarku memelas.

"Yawdah.. gini aja, kalian gak usah turun. Nanti biar aku sampaikan sama Riza dan temen2 kalo kalian se-blok tidur berjamaah. Setidaknya mereka tahu, karna apa kalian sampe gak dateng apel. Bareng2 pula se-blok!" Erika seakan mengerti kondisi hati kami.

"Hu'uh, gitu aja deh... makasih yaa....." ada sedikit kelegaan hatiku, tapi tetap tertimbun oleh rasa bersalah dan malu yang tak terbendung. Sempat juga terbersit, "What a looser i am!"

Keesokan paginya waktu senam, semua mata tertuju pada kami. Walau mungkin niat mereka memandang tidak seperti yang kami kira, kami sudah terlanjur malu dengan kejadian semalam. Hiks... bukankah tertidur itu fitrah dan wajar bagi seorang manusia... :(
Tapi heran juga, bagaimana mungkin kami se-blok benar - benar 'tewas' seluruhnya malam itu. Dan tak ada satupun yang bisa terjaga. Padahal biasanya, panggilan untuk persiapan apel selalu terdengar dan paling tidak salah satu dari kami selalu membangunkan kawan - kawan lain yang mungkin tertidur. Tapi malam itu tidak, selepas sholat Isya' berjamaah, semua seakan tersihir dan terlelap dengan manisnya.. :D

Dari seorang kawan yang mengungkit - mengungkit kejadian semalan, sambil tak henti - hentinya menggodaku, aku baru tahu bahwa rasa malu kami semakin diperbesar oleh Erika saat dia turun tanpa bersama kami malam itu.
Begitu dia tiba di lapangan, benar yang dia laporkan di hadapan teman - teman adalah alasan mengapa kami tidak hadir, yakni karena ketiduran. Tapi begitu Riza bertanya, kenapa kami tidak ikut turun, Erika dengan polos, lugu, dan jujurnya menjawab, "Siap! Mereka tidak mau turun, karna malu!" "-_-

Hwaaaa....... benar - benar amazing malam itu! Seorang rekan yang terkenal cerewet dan menjadi pioner apel, telat dan tidak hadir karena KETIDURAN!
Yah.. setidaknya, ada kisah yang membuatku tersenyum kelak saat mengingat 'apel malam' :)
Dan sebagai pengingat buat kita semua, bahwa NO BODIES PERFECT, guys! "-_-

Selasa, 18 November 2008

N,10-11-08

Selaksa mentari yang tetap setia,
Tersenyum hangatkan semesta...

Begitu pula adanya engkau,
yang kuharap kelak slalu hadir sirami ku dengan cinta...



^_^ Teruntuk hamba Allah yang sedang berjuang merengkuh kasih-Nya...

Jumat, 31 Oktober 2008

Tentang Hikmah

Tak kan ada yang menyangkal bahwa “sehat itu indah”…
Kebahagiaan saat kau bisa berjalan dan lalui hari – hari dengan senyum tulus tanpa tersembunyi rasa sakit di baliknya.
Keceriaan saat kau bisa bebas berlari sekaligus tertawa, tanpa beban dan duka. Keindahan yang sempurna, saat siklus kehidupan selalu dimulai dan diakhiri oleh sebuah senyum spirit yang senantiasa menginspirasi.
Sedikit menyitir lirik dari sebuah lagu Opick yang berbunyi,
”bila mungkin ada luka coba tersenyumlah... bila mungkin tawa, coba bersabarlah....”

sedikit banyak memberi suatu bahan tuk bermuhasabah, bahwa tak ada senyum ataupun tangis yang abadi. Tuk itulah, selayaknya kita tidak dibenarkan tuk berlebihan dalam menyikapi setiap kondisi yang terjadi.
Senyum detik ini, belum tentu serupa dengan senyum detik berikutnya. Duka ataupun air mata saat ini, bukan berarti kesedihan yang tak berujung di masa selanjutnya. Mungkin ini juga salah satu jawaban tentang mengapa kita harus selalu zuhud dan mensyukuri setiap keadaan yang kita terima. Rendah hati dan ikhlas dalam menghadapi setiap kisah yang terukir dalam perjalanan hidup.

Hari itu, sama sekali tak terbayangkan, aku akan mengulang ”cerita” dari seorang sahabat dalam kehidupan nyataku. Sahabat yang baru saja pulih dari sakitnya dan kini mulai menjalani aktivitas normal seperti aku dan kawan – kawan yang lain. Sungguh tak pernah terbersit ingin, aku yang tergeletak di atas kasur dengan luka lebam di daerah pergelangan kaki hari itu. Sebuah musibah lebih tepatnya hasil kecerobohan telah kusemai. Peringatan keras untuk siapapun yang di rumahnya, asrama maupun kos terdapat tangga (lebih dari satu lantai) :
1. Dilarang maen HP waktu naik dan turun tangga
2. Dilarang ngelamun
3. Diharamkan berbincang apalagi bercanda dengan rekan, hingga tak menyadari apakah langkahnya telah memijak setiap anak tangga dengan benar.
Semua yang terpapar di atas, bersumber dari kisah nyata dan konkrit korbannya  Dan yang tersebutkan terakhir, adalah penyebab utama dari sakit yang aku rasakan saat ini.

Awalnya aku tak begitu khawatir dengan luka dan kondisiku pasca ”tragedi anak tangga” malam itu. Aku pun masih menyempatkan turun ke lantai dasar untuk mengikuti rapat persiapan Hari Listrik Nasional bersama rekan – rekan lainnya. Nyeri dan ngilu, hanya itu yang aku rasakan. Namun seperti biasa, aku selalu berhasil menahan dan menyembunyikan semua itu dari mereka yang menurutku tidak berhak untuk tahu.
Di tengah rapat, aku mulai merasakan ada yang tak beres dengan daerah pergelangan kaki sebelah kananku. Aku tak bisa menemukan mata kakiku. Karna saat aku mencoba meraba bagian yang sakit, bentuk pergelangan dekat mata kaki benar – benar tidak wajar. Aku coba memastikan dengan sedikit membuka kaos kakiku. Dan ternyata benar, yang kutemui.... adalah pergelangan kaki kananku yang membengkak di bagian mata kakinya. Melihat bentuknya yang sama sekali di luar kewajaran, ketakutan dan kekhawatiran mulai menghampiriku. Selesai rapat, aku bergegas kembali ke kamar yang terletak di lantai 4. Sekali lagi kupaksakan kakiku untuk melangkah, karna saat itu aku merasa masih mampu berjalan, walau jelas nyeri yang terasa membuat langkahku sedikit melambat dan tertahan.
Sampai di kamar, aku mencoba untuk tenang dan bersikap normal. Tak ingin ku semakin memperburuk suasana dengan membuat kawan – kawanku gugup maupun bingung. Perlahan dan sambil tersenyum setenang mungkin aku mencoba sampaikan apa yang baru saja terjadi. Ketakutan dan kekhawatiran yang sedari tadi mencoba tuk aku hindari, tak ayal tetap terjadi. Kawan – kawan panik, melihat kondisi kakiku yang semakin memprihatinkan. Bengkaknya, sudah seperti ibu – ibu hamil 9 bulan menurut mereka.
Syukur Alhamdulillah.... Heni, yang baru saja sembuh dari sakitnya, ternyata masih punya sedikit sisa obat yang lalu.
Atas saran seorang rekan, aku juga sempat merendam kakiku dengan air hangat dicampur garam. Menurutnya, itu cukup bisa membantu meringankan luka lebam dan bengkak.

Malam itu, menjadi malam pertama bagiku absen dalam apel malam. Lebih – lebih ini karena sakit yang menurutku cukup memalukan, karena begitu memperlihatkan kecerobohan dan kelalaianku, yakni jatuh dari tangga...... :P
Yang lebih menyedihkan, aku jadi susah untuk melaksanakan sholat secara normal. Aku harus melaksanakannya dengan duduk, karena kakiku masih begitu sakit saat kucoba untuk sujud dan duduk bersimpuh.

Singkat cerita, seminggu lebih telah berlalu. Berbagai ikhtiar pun telah coba kulakukan. Terimakasih tuk seorang kakak yang baik hati -moga Allah meridhoi stiap langkahnya-, yang sudah meluangkan waktu untuk menemani mencari tukang urut terdekat. Kawan – kawan di asrama yang merelakan motornya untuk kutumpangi sementara, saat berangkat kuliah. Terakhir, sempat membawa kakiku untuk ”difoto”. Sedikit terbersit kekhawatiran, karena bengkak yang ada, tidak mengalami perkembangan secara signifikan. Alhamdulillah, hasilnya untuk organ dalam semua normal. Kesimpulan dari dokter, jaringan lunak yang mengalami kerusakan. Untuk pulih, memang membutuhkan waktu yang lumayan lama. Intinya, tetep harus sabar dan telaten.

Fiuuuh..... tak ada yang tahu bagaimana mentari terbit esok hari. Dan tentunya tak akan ada pula yang pernah bisa menerka, seperti apa hari – hari kita disuratkan. Mengeluh dan meratap memang fitrah kita sebagai hamba sumber segala kelemahan. Tapi buat apa dilakukan, jika itu hanya semakin memberatkan hati dan tak menyudahi masalah.
”Percaya dan yakin sajalah... bahwa di balik setiap kisah pasti terkandung hikmah.”

Senin, 20 Oktober 2008

Elegi

Wahai hamba Allah yg hingga kini, begitu aq kagumi...
Sungguh tak pernah terbersit dalam inginku,
Tuk menjadi jauh dari senyum dan tawamu...
Namun aku rela, jika dengan itu, kelak bisa kumiliki senyum dan tawa itu dengan utuh..

Duhai seseorang yang kuharapkan menjadi imam hidupku,
Kutahu ini bukanlah ssuatu yang mudah tuk kita lewati..
Namun yakinkan diri..
Allah slalu tahu apa yang tersembunyi di balik hati, dan ridho-Nya.. Itu yang kita cari...

Wahai seseorang yang slalu hadir dalam doa - doaku,
Tak pernah terhapuskan namamu dari sujudku..
Dan insyaAllah akan slalu seperti itu..
Jika kau tanyakan, 'hingga kapan',
Sejatinya hanya kau yang tahu & tentukan jawabnya..

Jika Allah mengijinkan, aku akan tetap menunggu...
Hingga "kata2" nan suci darimu,
Membuatku halal untukmu...

Minggu, 19 Oktober 2008

Try to come back ....

Air yang mengalir di pipiku, tak terasa semakin deras. Lantunan adzan yang masih terdengar, membuatnya semakin tak terkendali. SubhanAllah…. Kutemui engkau lagi…. Bulan paling special, bulan paling indah, bulan berlimpah maghfirah dan kasih sayang Allah. Ramadhan…. Hari ini dapat kusambut kau lagi dengan senyum dan air mataku.

Tak kuasa kutolak angan yang membawaku kembali ke masa 2 tahun silam. Saat Ramadhanku juga kulalui seperti saat ini. Tak ada es buah favorit buatan bunda ataupun sambel bajak yang selalu hadir di menu buka puasa. Kembali kulewati Ramadhanku di perantauan….

Dan kota Malang, seakan berjodoh denganku. Karna kini hingga insyaAllah 5 bulan ke depan, akan kulewati hari – hari baruku di sana. Sebuah tes seleksi beasiswa pendidikan ikatan dinas, berhasil kulalui. Dan kini, bersama 277 rekan lainnya, kami akan ukir sebuah kisah baru.

Di sebuah asrama yang cukup sederhana milik universitas negeri di Malang kami tinggal. Layaknya siswa yang sedang menjalani pendidikan, hari – hari kami penuh dengan tata tertib dan aturan. Kegiatan berawal saat kami harus membuka mata di pukul 04:00 setiap harinya. Antre kamar mandi sudah menjadi rutinitas. Siapa yang paling pagi bangun, dial ah yang berhak akan air dalam bak yang masih berlimpah.

Pukul 05:00 senam pagi dimulai. Berangkat dari keterpaksaan karena kehadiran bapak – bapak pelatih & pembina jasmani dari DODIKJUR Malang, hingga kini menjadi sesuatu yang begitu aku nikmati bahkan butuhkan.

Kegiatan kuliah berlangsung dari pagi (pukul 07:00) hingga sore hari (15:15). Dan di malam hari tepatnya pukul 21:00, rutinitas apel malam harus kami laksanakan. Tentunya didampingi oleh bapak – bapak pelatih dan pengawas dari DODIKJUR lagi.

Begitulah keseharianku. Tak pernah lepas dari apel, baris berbaris, sikap dan teriakan sigap, aturan dan tata tertib yang mengikat, yang di awal tampak begitu aneh namun kini tlah begitu membudaya dan biasa. Dan dari sini kusadari satu hal, menjadi disiplin dan teratur itu tidak mudah…..

Kamarku di asrama terletak di lantai 4. Lantai teratas dari asrama yang kami tempati. Dan sepertinya ini yang nantinya akan menjadi alasan utama, jika saat aku pulang ke kampung halaman, bundaku bertanya tentang kaki dan betisku yang semakin membesar. Sangat masuk akal, mengingat dalam sehari, aku bisa naik turun tangga lebih dari 5 kali.

Dalam satu blok, aku tinggal bersama 6 rekan lain yang tentunya bernasib sama denganku, jauh dari rumah…

Aku akan mulai dari gadis manis berkacamata asli Tuban. Namanya Heni. Perawakannya kalem dan sangat keibuan. Yang menarik darinya adalah saat dia berbicara. Bahasa Indonesianya sering tercampur baur oleh bahasa dan logat Jawanya yang begitu kental. Ibu yang satu ini, juga memiliki hobi yang sering membuat kami kawan – kawannya, terkagum – kagum. Bagaimana tidak, dia bisa tidur pulas dalam berbagai kondisi. Saat sedang berdiri sekali pun! “Namanya ngantuk ya gimana lagi…..” itu yang sering dijadikan dalih pembelaan dirinya. Kami pun beberapa kali sempat memanfaatkan hobi uniknya itu, dengan keusilan dan kejahilan kami. Hehehe.. maafkan kami ya, Bu….

Aku pribadi, banyak belajar darinya. Sikap nrimo dan ikhlas dengan keadaan, ya itulah yang membuatku iri dan ingin menjadi sepertinya. Tak jarang pula dia berbagi tauziyah – tauziyah ringan dan segala hikmah tentang kehidupan yang ia tahu. Oh iya, satu lagi yang membuatku kagum padanya, yakni semangatnya. Saat dia tahu bahwa ada ‘sesuatu’ yang tidak dia mengerti dan kuasai, sebisa mungkin dia akan mencari tahu tentang ‘sesuatu’ itu hingga ia benar – benar mengerti.

Yang berikutnya adalah dua gadis Banjar yang memiliki kepribadian begitu kontras. Nurul yang begitu tertutup dan sedikit pendiam, dan Ries yang begitu riang, rame + suka bikin ulah. Yang kusebutkan terakhir ini, juga merupakan yang termuda usianya di antara kami berlima.
Ries dan Nurul sering membuat kami bengong bak sapi ompong, saat harus mendengar percakapan mereka yang begitu cepat dan sama sekali tidak kami mengerti. Tapi keberadaan mereka, membuatku semakin sadar tentang betapa kaya bangsa ini, dan beruntungnya aku tlah menjadi salah satu penghuni, yang berhak mendapat sebutan warga negara.

Kekagumanku tadi dilengkapi juga oleh seorang rekan lain yang berasal dari Pamekasan, Madura. Arini namanya. Gadis hitam manis berjilbab ini, terkenal dengan wajahnya yang tak pernah lepas dan jauh dari senyum. Membuat orang - orang di sekitarnya merasa senang dan nyaman berada di dekatnya. Kalo boleh jujur, dia sama sekali tak terlihat seperti orang Madura, yang menurut anggapan banyak orang, memiliki karakter atau watak yang cenderung keras. Dia sama sekali tak memilikinya. Arini ini orangnya cenderung kalem dan pendiam. Malah lucunya, di awal sempat kukira dia berasal dari Solo atau daerah Jawa lah :D

Yang unik di blok kami, selain ada Arini, juga ada Arina. Bak anak kembar sajalah mereka ini. Cuma yang satu hitam manis, yang satu lagi berkulit putih dan berwajah sedikit Asia. (mata - mata agak sipit :P) Kalo gadis yang satu ini, dari awal aku kenal... dia sudah kupastikan berasal dari Jawa asli. Orange kualeem puuoooll... Aku sering menjulukinya 'slow motion' dalam setiap gerak - geriknya. Benar - benar tertata... lemah lembut... dan gak cenderung 'biyayakan' seperti keenam kawannya yang lain :D
Arina berasal dari sebuah daerah yang membuatku langsung teringat pada salah satu tokoh sastra idolaku. Om Pramoedya. Ya... dia asli Blora, Cepu.

Yang terakhir, namanya Meiliana. Kami sering memanggilnya dengan "Mei" saja. Gadis asal Ngawi ini, selidik punya selidik ternyata punya darah keturunan orang Sumatera. Terbukti dengan parasnya yang ayu, kolaborasi antara Jawa dan Palembang. Aku pernah sedikit tertipu di awal pertama kali mengenalnya. Kukira dia orang yang begitu pendiam. Namun ternyata, hingga kini dia sering menjadi partner setiaku dalam hal "menggila" dan berbuat usil pada rekan - rekan yang lain.

Kami bertujuh sadar... bahwa kami berbeda. Dan itu tak kan pernah menyurutkan kami untuk terus menyayangi satu sama lain. Walau tak perlu dipertanyakan, di perjalanannya, telah beberapa kali terjadi konflik di antara kami. Perbedaan watak, karakter, budaya, dan kebiasaanlah yang sering menjadi pemicunya. Namun di sisi lain, yang mungkin baru saja kami sadari... bahwa ternyata perbedaan itu indah.... begitu indah....
Tanpa Ries dan Nurul, mungkin aku dan kawan - kawan yang lain, tak kan pernah bisa belajar bahasa Banjar. Begitu juga dengan kehadiran Arini. Kami yang sering "nguping" saat dia sedang ngobrol di telepon dengan keluarganya dan menggunakan bahasa daerahnya, juga sedikit demi sedikit mulai belajar dan tahu tentang bahasa Madura. Heni, Arina, Mei, dan aku sendiri... juga akhirnya banyak tahu... bahwa di dalam bahasa Jawa sendiri pun, begitu beragam pemahaman dan kosa kata baru yang secara makna dan maksud sama ternyata memiliki lafal dan penyampaian yang berbeda.
Belum lagi saat ada kebiasaan atau budaya salah satu dari kami, yang terlihat aneh dan begitu asing di mata yang lain. Mau tak mau... ya kami saling belajar. Belajar memberi... dan belajar menghargai....
Jika ada yang bilang bahwa berbeda itu rentan dengan perselisihan maupun pertentangan... kami tak mengingkarinya. Tapi satu hal yang harus kita sadari bersama, perbedaan tadilah yang justru menjadi pondasi kuat jika kita bisa saling menghargai dan bijak menyikapinya. Sungguh... berbeda itu indah.... berbeda itu belajar.... berbeda itu membuat kita kaya.....

Ramadhanku kali ini, sepertinya akan menjadi salah satu Ramadhan yang spesial dalam hidupku. Karna aku melaluinya dengan sebuah kisah bersama keenam saudari - saudariku yang membuatku banyak belajar tentang diriku... tentang bangsaku... dan tentang kehidupan. Terimakasih ukhti fillah... Aku sayang kalian....


Suatu hari di bulan Ramadhan,






Jumat, 13 Juni 2008

Mengulang Hari

Allahu Rabbi....
Betapa malunya diri, yang hingga kini belum bisa menjadi layaknya mentari bagi bumi...

Beri hamba kesempatan ya Allah,
izinkan hamba tuk berbenah menjadi jauh lebih baik lagi...
Jangan sampai orang berkata,

"Kau bukanlah apa, padahal sudah dewasa......"

Selasa, 10 Juni 2008

Biskit, 15 - 18 Mei 2008 (part 1)

Kamis, 15 Mei 2008

Sore itu mendung hitam menggelayuti langit, menggelitik rasa ragu untuk segera meninggalkan "pos" tempat ku berkarya sehari - hari. Pesan melalui ponsel dari salah seorang rekan senior, menyampaikan bahwa aku ditunggu di sekret (sebutan kami untuk basecamp tercinta) tepat pukul 16 : 30, dan akan segera berangkat ke lokasi bersama rekan - rekan senior lain yang juga menyusul.
Pukul 16:00, kutinggalkan "pos" sambil memastikan semua akan baik - baik saja selama aku tinggal beberapa hari ke depan. Beginilah nasib penjaga pos yang harus bertahan & bersiaga seorang diri setiap harinya. Niat mengambil cuti barang sehari pun, selalu "digandoli" dan baru disetujui jika alasan yang aku kemukakan benar - benar mendesak dan masuk akal. Tak ingin kumembahasnya, karna saat ini aku sudah siap di sekret menunggu rekan - rekan yang katanya juga akan berangkat menyusul.

Setelah personil lengkap, ditambah checking barang bawaan, kami berempat start dari sekret pukul 17:00, namun lebih dulu mengantarkanku ke rumah mengambil barang bawaan yang tentunya sudah kupacking malamnya.
Bang Malik vs Mbak Agnes dan Bang Iga vs aku. Berempat kami menuju Biskit, yang sedianya menjadi tempat orientasi Anggota Baru LPME Ecpose 2008. Dan aku, salah satu pesertanya, baru saja berangkat menyusul karna suatu alasan yang dapat dimaklumi.

Adzan maghrib berkumandang, kami masih bergelut bersama kendaraan di jalanan. Beruntung, rumah salah seorang alumni Ecpose tak jauh lagi. Kami sempatkan mampir untuk menjemput mbak Erlin, sholat Maghrib, sekaligus melengkapi bawang bawaan (merampok berbotol - botol air). Menjelang Isya', kami lanjutkan perjalanan menuju Biskit yang sudah tak jauh lagi. Formasi berubah, karena jumlah kami bertambah. Mbak Erlin membawa satu motor lagi miliknya. Dan aku putuskan untuk membawa motornya, mengingat mbak Erlin yang imut tak mungkin jika harus membonceng aku yang sebesar ini! Formasi saat ini, Bang Malik vs Mbak Agnes (tetep), Aku vs Mbak Erlin, Bang Iga vs motornya sendiri :D

Memasuki kawasan perkampungan, jalanan mulai dipenuhi pasir dan bebatuan. Untuk penerangan jalan, kami hanya mengandalkan lampu motor, karna di sana sangat minim bahkan nyaris tak ada lampu. Rumah penduduk pun bisa dihitung, dan cenderung saling berjauhan satu sama lain. Kiri kanan sepintas yang kulihat, hanya persawahan dan pepohonan besar.
Mendekati lokasi (Biskit), keadaan jalan semakin parah, suasana pun begitu gelap dan sepi. Tak terhitung berapa kali motor yang kami tumpangi harus terpeleset dan nyaris terjatuh karna kondisi tersebut. Mbak Erlin sempat kehilangan sandalnya selama beberapa menit (entah melayang ke mana, kesulitan mencari karena suasana begitu gelap), setelah nyaris terjatuh dari motor karena terpeleset pasir. Fiiuuhh... kalo tadi jadi sameyan yang bawa motor, trus aku bonceng di belakang, bakal jadi gimana ya mbak... :P
Sama sekali tak tertemui olehku orang yang lewat atau berada di luar rumah, padahal saat itu baru jam 7 malam. Sempat merinding juga aku dibuatnya.

Pertempuran melawan gelap dan jalanan itu berakhir juga. Kuikuti Bang Malik yang memarkir motornya di depan rumah salah seorang penduduk. Sambil celingak - celinguk, kuamati lokasi sekeliling. Sama saja. Gelap dan sepi. Tak ada tanda - tanda, keberadaan kawan - kawanku yang sudah berangkat lebih dulu dengan kereta siang tadi.
Teki - teki itu terjawab, setelah mbak Agnes menyuruhku mengikuti Bang Malik. Rumah penduduk tempatku memarkir motor tadi, tentu saja bukan tempat orientasinya. Lokasi yang akhirnya kuketahui bernama Biskit dan berupa tanah lapang dikelilingi pohon - pohonan besar ini, ternyata masih harus dijangkau dengan menyeberangi sungai kecil.

Sampai lokasi, para panitia orientasi langsung menyambutku. Menanyakan alasan keterlambatan, lalu check barang bawaan. Kenak deh aku! Sisir dan sabun muka serta beberapa peralatan lain, diamankan alias disita oleh mereka. Memang di list, yang boleh dibawa hanya peralatan mandi. Tapi sabun muka kan peralatan mandi ya? Ah... seperti tak pernah ikut PLDK (Pendidikan dan Latihan Dasar Kepemimpinan) semasa sekolah dulu aja.
Barang - barang yang semula terpacking rapi, kini berserakan di atas rerumputan. Kumasukkan sekenanya, lalu bergabung bersama rekan - rekan.
Peserta kegiatan tersebut, tak lebih dari 17 orang. Sembilan orang wanita, dan delapan orang pria. Malam itu, kami terbagi dua. Para peserta pria bertugas mendirikan tenda, dan kami para wanita berkutat dengan kompor menyiapkan makan malam. Menu malam itu, mie goreng instan.

Jam 20:00, kami dikumpulkan untuk mengikuti agenda acara diskusi ke-ECPOSE an. Dengan Mbak Erlin dan Mbak Agnes sebagai pemateri, kami diajak untuk tenggelam lebih dalam lagi, mengenal dan memahami segala sesuatu tentang ECPOSE. Mulai dari sejarah, struktur, perjalanan kegiatan, dipaparkan pada kami malam itu. Beratapkan langit dan berselimutkan dinginnya malam, satu dua pertanyaan muncul dari kami mengawali diskusi tersebut.

Break sekitar 1 jam, acara dilanjutkan dengan agenda selanjutnya. Aku menyebut acara ini, "Curhat dan Kenali Aku Lebih Jauh". Karna di sini, setiap peserta diwajibkan membeberkan segala sesuatu tentang dirinya, mulai dari siapa dia, apa kelebihan dan kekurangannya, hingga senior dan teman magang (selain sebagai peserta, sebelum pelantikan, status kami masih anggota magang) yang paling disukai dan tidak disukai. Acara itu berlangsung cukup seru dan ramai. Terbongkar juga siapa yang suka siapa, dan siapa yang alergi siapa. Malam itu kami harus saling membunuh rasa gengsi, sungkan, ataupun malu. Kami harus jujur!
Sekalipun terkadang memang menyakitkan, tapi acara ini tak lebih adalah proses pengenalan lebih jauh satu sama lain, dan bertujuan sebagai bahan koreksi diri. Tentunya ini sangat bermanfaat bagi kami, yang nantinya akan berjuang bersama dalam satu organisasi.

Pukul 23:00 acara diakhiri. Kami dipersilahkan istirahat, dan diingatkan untuk agenda keesokan harinya. Sebelum menuju tenda masing2 untuk merebahkan badan, beramai - ramai kami menuju kali kecil, untuk berwudlu lalu melaksanakan sholat Isya' berjamaah.
Belum selesai sholat Isya' kloter kedua, sebagian peserta yang sudah masuk tenda, dipanggil untuk keluar dan berkumpul. Begitu rekan - rekan selesai sholat, kami semua dibariskan jadi satu. Bisa ditebak lah, apa yang terjadi sesudahnya. Ber-judulkan evaluasi, para panitia mulai "metani" apa saja yang sudah kami lakukan sehari tadi. Dipojokkan atau disudutkan, selalu menjadi ending dari acara evaluasi ini. Tak terlalu kami pikirkanlah, toh itupun yang juga akan kami lakukan jika berada di posisi mereka kelak. Dan bukankah tak terlihat seperti orientasi, jika tak ada ketegangan ? ;)

Beberapa kawan sudah tak terdengar lagi celotehnya. Terlelap. Mungkin semua kelelahan, karena menurut cerita, mereka berjalan dari stasiun kemari. Dengan jarak tempuh kurang lebih 4 - 5 km. Tentunya dengan medan yang tak mulus. Beruntung aku mengendarai motor, walau harus terpeleset beberapa kali dan tanganku yang terasa pegal hingga saat itu karna menahan setir. Ah... suasana ini mengingatkanku akan petualangan2 alam semasa masih di Malang dulu. Poncokusumo, Buring, Cuban Rondo, Cuban Talun..... Aku jadi kangen kawan - kawan seperjuangan di OSIS SMK dulu. Mereka yang kini lebih banyak berkutat dengan kesibukan kerja dan kuliah. Adakah yang beberapa kali waktu, masih mengisi waktunya dengan tidur di tengah hutan seperti yang kurasakan malam ini. Kulirik arloji dalam kegelapan. Sudah terlalu larut. Aku harus segera menyusul rekan - rekan, karna jam 4 pagi nanti kami sudah harus bangun untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya....


Jumat, 16 Mei 2008

Tak kusangka. Udara sedingin ini, kutemukan juga di kotaku yang terkenal panas. Kukira, tak ada yang bisa mengalahkan dinginnya Batu, Malang. Di pagi buta itu, kupaksakan mata yang masih tak mau berkompromi, untuk segera terbuka. Kubangunkan beberapa rekan yang masih tertidur. Aku sendiri terbangun, selain karna kedinginan, juga karena seekor binatang (sepertinya semut, entah spesies dan jenis apa) menggigit jari tengah tanganku. Yang pasti semut itu sudah membuat aku begitu kesakitan hingga akhirnya terbangun. Gigitannya panas dan menyisakan perih. Seandainya kutemukan, kutekadkan untuk menggigitnya balik!

Senam pagi akan dimulai pukul 05:00. Kusegerakan langkah menuju kali kecil untuk cuci muka dan wudlu. Tak usah tanyakan bagaimana dinginnya air sungai pagi itu....


===== TO BE CONTINUED =======

Rabu, 04 Juni 2008

Seniman Jalanan

Beberapa minggu belakangan ini, badanku serasa habis di jalan. Travelling keluar kota, bisa kulakukan lebih dari 2 kali dalam seminggu. Fiuuh... tak apalah, demi suatu misi mulia aku rela menjadi hafal rute perjalanan plus nama - nama kecamatan yang kulalui. Aku juga rela, petugas terminal, sopir, dan kondektur bus yang kebetulan beberapa kali aku tumpangi, jadi mengingat sosokku.
Tentang misi tadi, tak ingin kubahas saat ini. Karna perjuangan dan perjalanannya belum berakhir. Nanti saja kukisahkan jika semua telah menjadi pasti. (emang penting yah?! :P )

Dari minggu - minggu ku yang melelahkan itu, ada sedikit fragmen yang ingin aku angkat dan coba ceritakan di sini. Kebanyakan orang menyebut mereka dengan istilah "pengamen", tapi mulai kemarin aku memilih menyebut mereka dengan "seniman jalanan". Tak semua memang, tapi mereka inilah yang ingin aku kisahkan sekarang.
Bermodal gitar, ecek2 (botol kosong diisi pake batu atau apa aku tak tahu!), plus pipa yang dirancang sedemikian rupa hingga menghasilkan bunyi2an menyerupai gendang, dan tentunya suara/vokal (yg entah merdu atau tidak), cukup membuatku meng-apresiasi jiwa seni yang mereka miliki. Ini lepas dari konteks kelayakan hidup, pendidikan, dan sosial lho ya....
Tak jarang aku temui mereka yang bisa perform dengan baik atau setidaknya cukup menghibur perjalanan. Walau tak sempurna, namun aku yakin, jika saja mereka memiliki sarana, pembimbing, dan segala hal lain yang memadai, kisah mereka tidak akan hanya berhenti di sini, sebagai penyanyi jalanan... Dewa, Gigi, Ungu, KangenBand, bahkan Didi Kempot, bisa jadi punya saingan baru!

Aku merasa beruntung, telah menumpangi bus AKAS + AC tarif biasa jurusan Surabaya - Banyuwangi siang itu. Walau akhirnya harus terpanggang dalam bus sekira satu jam lamanya di Porong, aku tak menyesal jika pertemuan dengan seniman jalanan itu yang harus membayarnya. Sosoknya terlihat jelas bukan dari suku Jawa. Rambutnya yang kriwil - kriwil ditambah kulitnya yang berwarna gelap (tentunya bukan karna terpanggang panasnya Surabaya), membuatku berkesimpulan sepertinya dia orang "timuran". Saat bus keluar dari terminal Bungurasih, pria berusia 30an itu baru naik. Senyum dan lakunya ramah, mencari dan memberikan ruang bagi penumpang yang belum mendapatkan kursi. Tak seperti seniman jalanan lainnya, ia baru mulai menyanyi saat suasana dalam bis benar - benar tenang. Tak ada yang mondar - mandir mencari kursi, ataupun asongan yang menjajakan makanan. Seakan dia benar - benar ingin didengarkan.

Sampai TOL Gempol, pria ini baru mengangkat suara. Sekali lagi bukan untuk menyanyi, bukan pula memberikan pembukaan untuk mengawali penampilannya. Inilah yang akhirnya mencuri simpatiku padanya. Dengan begitu sederhana, dia memberikan tausiyah ringan tentang hidup, dengan gayanya yang khas-menyelipkan gelak tawa di tengah perkataannya-, lalu akhirnya mengalunlah tembang2 lawas The Bee Gees. Usai lagunya yang pertama, tak serta merta dia melanjutkan ke lagu yang kedua. Sedikit dia bahas dan ulas tentang lagu dan penyanyinya, lalu kembali memberikan tausiyah2 ringan.
Aku yakin, tak hanya aku yang dibuatnya kagum siang itu. Kulihat ekspresi dan antusias penumpang lain yang jadi begitu tenang dan menikmati perjalanan. Istighfar-nya Opick, mengalun indah dan menjadi lagu terakhir yang dibawakan seniman jalanan itu. Sambil memejamkan mata, tak terasa bibir ini ikut melantunkan istighfar..

Ah... jika mengingat tausiyah2 nya tadi, hati kecilku berontak. Kenapa sosok yang di mataku terlihat bijak dan pintar ini, hanya menjadi seorang pengamen? Adakah dia menikmati hidup dan profesinya? Atau lagi - lagi,tentang fenomena terbentur kondisi dan keadaan? Apapun alasannya, kuyakini, pria yang sempat membuatku merenung beberapa saat ini, menjadi pintar dan bijak karena ia telah belajar pada guru dan sekolah yang abadi. Yang aku... bahkan mungkin kebanyakan orang sering lupa dan tak menyadarinya. Tentang sekolah yang tak akan pernah ada kata lulus hingga kita menjemput ajal, yakni kehidupan....

Lima ratus atau seribu rupiah yang biasa keluar dari saku, sepertinya tak pantas untukmu, mas....

Jumat, 23 Mei 2008

Sekedar Oleh - Oleh

Indahnya kebersamaan ini. Pergumulan yang nyaris aku tinggalkan hampir 2 tahun lalu. Mulai dari idealisme, karakter, prinsip, hingga celoteh dan banyolan - banyolan konyol, selalu berhasil menyatukan kami. Menyatukan semua otak dalam perbedaan. Tak ada yang tertindih ataupun mati... semua bertahan, hidup, dan berjalan sendiri - sendiri...

Semua fragmen ini, membawaku pada 2 tahun silam. Tidak sama memang, setidaknya menyerupai. Dan itu tak urung membuatku menikmati nostalgi ini.
Benturan - benturan ide dibumbui angkuhnya egoisme, peluh perdebatan yang tak pernah bosan dan berhenti mengalir... kenapa aku begitu menikmatinya ?

Hingga di suatu detik aku tersadar, aku tak pernah menjadi dan berarti apa - apa di sini. Makin menumpuk agenda tentang batinku yang bertentangan, pun langkahku yang semakin gontai tak terarah.
Ingin berlari, namun hatiku terlanjur ter-tali, oleh jari jemariku sendiri.
Ingin keluar, apa daya kuterlanjur terkungkung & candu akan nikmatnya perjalanan ini...

Haruskah menanti di-larikan atau di-keluarkan?

Selasa, 13 Mei 2008

kemarin dan kini ...

Kemarin, suaramu begitu nyaring..
namun mengapa kini me-nyahdu...?
Kemarin, lakumu begitu yakin...
tapi kenapa kini semakin me-layu....?
Ya..kemarin, kuingat senyummu begitu merekah...
namun yang kutemui, kini kau tak lagi berseri indah...
Kemarin,benar - benar masih kemarin.... hati yang kau sembunyikan itu, masih bertahan dengan kokohnya...
tapi tidak saat kutemui kau lagi kini, sorot mata yg mencerminkan kerasnya hatimu, kini semakin sayu... dan sayu.....

Ada apa denganmu dara?
adakah mencoba berlari dan me-munafiki diri?
Langitmu masih di sana jeng...
bintangmu tak kan pergi ke mana.....
Sudah lupa kau? Tentang ilmu ikhlas dan sabar.. ?

Di sini... di detik ini... di ruang dan waktu yg nyaris meremang ini...
kutemui refleksi diri, dari sebuah cermin usang....

Senin, 05 Mei 2008

Secangkir Kopi

Kadang coklat, ada pula yang suka hitam. Aromanya khas, bisa manis bisa pahit.
Itulah penampakan secangkir kopi yang menjadi minuman favoritku hingga kini. Tak terhitung berapa orang yang mengingatkanku tentang efek negatif dari kegemaranku itu. Tapi... namanya suka, gimana lagi... :D

Capuccino, kopi asli, kopi susu, kopi kelapa sawit, kopi jahe, kopi cream, kopi mocca... semua jenis minuman yang berembel "kopi", aku suka! Bagiku, selalu ada rasa dan sensasi tersendiri, dalam setiap tegukan secangkir kopi. Ibarat sebuah pelayaran, tegukan pertama bak semilir angin laut yang siap membawa kapalku mengarungi samudera.
Tegukan selanjutnya, berurutan mulai dari saat kau bentangkan layar, mengambil kemudi dan menentukan arah, hingga berjuang bersama hebatnya badai & ombak yang sewaktu - waktu bisa membawamu "ber-temu" dengan karang.
Ah... nikmatnya secangkir kopi.

Sepulang kuliah beberapa minggu yang lalu, kutemukan lagi satu makna baru dari secangkir kopi. Beberapa rekan yang tak sengaja kutemui di parkiran motor, tiba - tiba memanggil, "Mo langsung pulang, Bu? Ayuk ikut ngumpul bareng2, sambil ngopi..."
Aha, kata yang terakhir begitu menyejukkan telingaku. Yup, bisa dibilang cukup lama aku tak menyentuh minuman itu semenjak beberapa bulan yang lalu. Aku kangen wanginya yang khas.
Aku melihat, tak hanya aku wanita yang ada di antara mereka. Dan tanpa berfikir panjang lagi, kuputuskan untuk ikut.

Kujanjikan, kau akan menemui banyak sekali warles (warung lesehan) di sepinggir jalan di daerah kampus. Trotoar yang disulap menjadi "lintasan" meja - meja kecil berhiaskan lampu minyak atau lilin. Sekilas cukup redup dan remang. Namun ini, cukup menjadi tempat favorit muda - mudi di kotaku. Baik yang datang bersama pasangan, maupun yang datang bak segerombolan "si berat" yang hendak merampok bank, seperti kami saat itu.
Kalo dari menu, kita bisa memilih. Ada warles yang menyediakan makanan (biasanya lalapan atau nasi goreng dan sebangsanya), ada juga yang khusus menawarkan menu2 minuman. Dan kami yang memang tidak sedang merasa kelaparan malam itu, tentu saja memutuskan memarkir motor di warles dekat gedung DPR. Aku lupa apa namanya, yang jelas di sana benar - benar khusus menjual minuman. Seperti kopi susu, capuccino, joshua, ketan, dll. Selama aku di Jember, ini kali kedua aku mampir di warung lesehan untuk ngopi. Yang pertama kali, bersama rekan2 Ecpose, di warles yang kami kenal dengan sebutan "Cak Ndan". Lokasinya di sekitar jalan Kalimantan, dekat dengan TogaMas.
Sayang, dari semua warung kopi yang aku datangi di Jember, tak ada warung yang khusus menyediakan beraneka macam kopi saja, seperti yang kutemui dulu di Malang.

Kami larut dalam obrolan santai dan guyonan2, ditemani secangkir minuman yang sudah dipesan masing - masing. Baru kusadar, sebelumnya aku sama sekali tak pernah akrab dengan beberapa orang di antara mereka. Mungkin hanya sekedar tahu dan menyapa. Tapi malam itu, bersama secangkir kopi di depan kami, suasana jadi begitu akrab, cair dan tidak kaku. Satu sama lain, seakan telah mengenal lama. Seseorang yang kubilang tak pernah ngobrol banyak denganku pun, tanpa sungkan dan ragu, beberapa kali melontarkan banyolan dan "gojlokan2" konyol kepadaku.
Secangkir kopi bisa mencairkan dan mengakrabkan suasana. Itu telah kubuktikan.

Kegaduhan kami berlanjut. Walau kami tahu ulah kami itu cukup menganggu pasangan muda - mudi di sekeliling kami yang sedang menikmati malam. Hehehe....
Hingga jarum pendek di arloji biru kesayanganku, sudah menunjukkan pukul 20:00. Kami putuskan tuk akhiri per-cengkramaan itu sambil membuat rencana untuk melakukan "kuliner kopi" selanjutnya.

Punya referensi warung kopi yang maknyuuuss.... ?

Senin, 21 April 2008

Tenangku saat...

Pernahkah kau merasakan sebuah "ketenangan" yang menakjubkan? Saat alam dan waktu begitu bersahabat denganmu... saat semua terkontrol & mengalir seperti yang kau mau....
Percaya atau tidak, kau akan sangat menikmati saat - saat itu.

Kemaren malam, aku merasakannya. Ya.. ketenangan yang hadir tiba - tiba dan mungkin selama ini memang begitu aku rindukan.
Bersama "Ega", kuda jantan bermesin yang sudah setahun ini menemaniku, kukencani aspal dan jalanan malam. Daerah kampus yang selalu ramai dan hiruk pikuk di malam minggu itu, sama sekali tak mengusik konsentrasiku untuk terus melaju kencang, mencari celah, lalu tanpa ragu mendahului motor - motor lain yang mayoritas pengemudinya berpasangan. Habis mereka melaju sungguh pelan. Pelan sekali. Mungkin memang sengaja, karna ingin semakin menikmati rangkulan tangan dari yang "bonceng" di belakang.
Ah.. bukan ruang dan waktu yang kuinginkan untuk membahas mereka.

Malam minggu itu, benar - benar kulewati berdua saja dengannya. Percaya atau tidak, suasana sekeliling yang bising, bisa begitu kunikmati dan malah kutemukan ketenangan di dalamnya.
"Kesepian dia keramaian?" Ouw, i don't think so! Karna aku tipikal orang yang alergi dan kurang suka tempat - tempat ramai. Namun entah kenapa, malam itu begitu tenang bersamanya. Bersama "Ega" pacarku.

Aku punya kebiasaan buruk. Sebetulnya asyik bagiku & sangat kunikmati, tapi kupaksakan hati tuk bilang itu buruk. Merugikan orang kah? Ummm... sepertinya tidak juga. Tapi kalo merugikan diri sendiri, sudah pasti.
Aku gemar sekali ngebut saat berkendara. Tak peduli suasana hati kalut maupun normal, ngebut bagiku layaknya tuntutan dan kewajiban saat "Ega" sudah ada di sampingku.
Malam itu pula, kembali kutemukan sebuah ketenangan justru dari hasil perpaduan antara konsentrasi dan bisingnya keadaan. Mungkin aku kecanduan...
Karna saat kau merasakan tubuhmu melayang menantang angin pada kecepatan di atas 80km/jam, di situlah aku temukan ketenangan. Ketenangan yang hakiki, mutlak, bebas... entah bagaimana lagi aku harus menggambarkannya.
Dan dalam waktu sekejap, ketenangan itu bisa hancur, saat kau harus menginjak rem dengan sigap hingga muncul bunyi "berdecit" yang memekakkan telinga, karna seekor kucing putih melenggang santai dengan wajah tanpa dosa menyebrangi jalanan aspal.

Aku tahu, pasti banyak orang yang jantungnya kubuat bekerja lebih giat, saat hobi ngawurku itu kupraktekkan. Dan kalo dipikir-pikir, aku sendiri juga paling mangkel, kalo ada pengendara lain yang super ngawur, lebih - lebih yang tidak punya etika berkendara.
Aku memang suka "ngawur", tapi setidaknya aku masih tahu tempat dan kondisi. Gak mungkin aku "terbang di atas angin", saat sekelilingku sedang macet. Cari benjut namanya! (Benjut karna mungkin akan membuka peluang orang - orang sekitar untuk melemparimu dengan sepatu, sandal, helm, atau barang2 lainnya.)

Hobi seharusnya bisa jadi sesuatu yang bermanfaat dan mendatangkan hal positif bagi subyeknya. Tapi, sudah kuniatkan ini hanya akan jadi hobi "undergroundku" saja. Karna aku tak yakin, bunda akan mengijinkanku terjun di ajang roadrace dan sejenisnya.. :P


* dedicated 4 my luvly Ega, "Maaf jarang merawatmu dengan baik. Sering telat ngasih makan apalagi cuci badan. Dan terimakasih dah menyayangiku dengan sepenuh hati. Jalanan masih menanti kita.... :) "

Selasa, 08 April 2008

--Wuyung--

Loroning loro.... ora koyo wong kang nandang wuyung....
mangan ra doyan... ra jenak dolan... neng omah bingung....

Mung kudhu weruh... woting ati duh kusumo ayu...
Apa ra trenyuh.. sawangen iki awakku sing kuru...

Klapa muda leganana nggonku nandang branta..
Witing pari dimen mari....
nggonku loro ati.. aduh nyowo....

Duh..duh... kusumo....
po ra krasa apa pancen tego...
Mbok mbalung janur
Paring usada mring kang nandang wuyung....



--- Download Wuyung-Didi Kempot ---

Kamis, 03 April 2008

Elegi kemarin sore....

" Seberapa mudahkah kau meyakini, bahwa yang kau rasakan itu cinta.... ? "

Hingga kini, terlalu sulit bagiku untuk bisa menerima atau melontarkan "kata" yang menurutku sakral itu.
Seiring berjalannya usia yang mendewasa, tlah banyak pula roman dan kisah yang kulihat dan temui, bahkan beberapa tak sengaja mampir. Namun nyaris tak bisa kutemui & kuingat, bibir yang dianugerahkan Tuhan untukku ini, melisankan "kata" itu.
Mungkin lebih tepatnya, memang tak pernah.........

Pernahkah aku jatuh cinta?
Entah...
Sekali lagi, terlalu sulit untuk menerjemahkan rasa itu... yang kurasakan sendiri sekalipun! Berbagai macam karakter yang ikut mengisi hari - hari ku hingga kini, tak cukup membuatku belajar, bagaimana mengekspresikan apa yang aku rasakan. Karna memang aku tak tahu.. atau tak mau tahu? Sekali lagi entah......

Satu.. dua... tiga.. dan sekian... terhitung pernah mencoba menawarkan "makna" itu. Dan aku? Selalu dan selalu... dihadapkan pada kondisi serba salah... gak enak.... khawatir... kalau - kalau akhir indah yang diharapkan, justru berganti menjadi mimpi buruk nan suram.
Ketakutanku beberapa kali terbukti. "Kata" itu yang membuatku tak mengenal lagi kawan, "kata" itu yang membuatku menjadi orang lain di tengah sahabat - sahabatku sendiri, "kata" itu pula yang begitu mudah merubah sosok usil dan periang, menjadi seorang yang kaku dan begitu menjaga image dirinya.
Ah... pernah aku begitu membenci "kata" itu dan segala yang berhubungan dengannya. Termasuk siapapun yang berani - berani mencoba, "memainkan"-nya denganku.

Jika suatu hari kau mendengar "kata" itu terlontar untukmu dari sebuah hati, yang pemiliknya terhitung baru saja mengenalmu.... Lebih - lebih jika dia hanya mengharapkanmu untuk sebuah "perjalanan" yang tak pasti dan tak berkomitmen....
Kira - kira apa yang ada dalam bayanganmu?
Dan salahkah jika aku.....dia..... atau siapapun akhirnya berfikir,
"Sebegitu mudahkah?"
"Apa parameternya?"
"Seberapa yakin dan siapkah?"

Sisi kejam dan sadis jiwaku pun, jika tak kuhalangi, bisa saja berfikir, "Dasar tukang obral!"


Terlalu suci... sungguh terlalu agung..... jika fitrah manusia yang telah dianugrahkan Allah itu, menjadi sesuatu yang begitu mudahnya mengalir, hingga akhirnya menjadi tak berharga dan bermakna lagi.
Bukankah lebih indah, jika sesuatu yang suci tadi, diimplementasikan pada objek yang juga memang indah dan pantas!
Siapakah dia?
Tentunya insan yang untuk menemui & mendapatkannya, kau harus melalui semedi panjang dalam doa, perjuangan, dan kesabaran....

Jumat, 28 Maret 2008

Complicated

Kenapa yang benar justru lebih sering disingkirkan?

Semalam, kumenjadi saksi akan sebuah fenomena yang membuatku bingung. Haruskah menyikapi dengan sukacita atau justru duka mendalam?
Hati kecil merasa, harga diri ku sebagai seorang pemuda yang menuntut ilmu, dilecehkan. Namun di sisi lain, tak bisa kuingkari separuh jiwa yang melonjak - lonjak girang mendapat keistimewaan seperti itu.
Mungkin tak hanya aku, tapi juga kawan - kawan ku lainnya yang juga menempuh mata kuliah yang sama. Dan kurasa, mereka lebih memilih bersuka cita karenanya....

"Udahlah... kalian gak perlu ambil pusing mata kuliah saya. Mo gak pernah masuk, silahkan... Mo masuk sekali terus absennya diisi sampe akhir semester, juga silahkan..... Yang penting waktu ujian dateng, dah cukup!"

Waks???? Sapa coba yang gak melongo, terus habis tu ketawa2 girang diperlakukan seperti itu! Sempet hati mbatin, "Nih dosen gak papa tah? " Sekaligus nyiapin hati, karena biasanya tipe - tipe dosen yang begitu manis di awal seperti ini, punya racun tersembunyi! :P Ayo... kita lihat saja bersama - sama, kawan....

Di pertemuan pertama mata kuliah tersebut, aku memang tidak hadir. Tapi kisah tentang dosen yang super gaul bin funky ini, sudah kudengar dan mengalir deras dari mulut satu kawan dan yang lain. Mengajar sambil putar musik, datang terlambat dan pulang cepat, merupakan ciri khas dosen satu ini. Dalihnya selalu satu, "Saya tidak ingin menyusahkan kalian....."
Jadi penasaran juga sama dosen itu, karena dari pertemuan selama tengah semester ini, dia hanya hadir sekali. Lainnya, tentu saja digunakan teman - teman termasuk aku, bersantai di rumah, atau nongkrong di luar kampus.

Semalam, keinginanku untuk berjumpa langsung dengan dosen yang diidolakan teman2ku itu, akhirnya terwujud. Di pertemuan terakhir sebelum UTS yang akan dilaksanakan minggu depan, dia hadir juga. Sengaja kupilih tempat duduk paling depan, untuk memastikan dan melihat lebih dekat, kebenaran cerita kawan-kawanku. Seperti yang kukira, dia nyaris telat 1/2 jam lamanya. Begitu masuk kelas, kawan-kawan sudah berteriak2 histeris seakan artis idolanya tiba. Sambil berteriak, "Pak, musik pak! Ayo diputar musiknya pak!" Alamak... begitu akrab dan dekat sekali sepertinya hubungan kami dan dia. Tapi maaf kalo aku boleh berkonotasi sedikit negatif, di mataku justru dia cenderung seperti tak punya wibawa......

Request musik yang diinginkan tak terpenuhi, itu pun karena sang dosen tak membawa laptopnya. Dan yang lebih mencengangkan lagi, pertemuan terakhir itu, digunakannya untuk menshare soal pada saat ujian nanti. Tak cukup di situ "surga" bagi kami mahasiswanya. Tanpa meminta kami mencoba dulu untuk mengerjakan, dia sudah sibuk di balik mejanya. Dan baru kuketahui kesibukan itu adalah mengerjakan soal - soal yang diberikannya sendiri, saat salah seorang kawan ku disuruhnya menuliskan jawaban - jawaban itu di papan.
Kelas riuh dengan tawa..teriakan...dan tepuk tangan......
Dan dia seperti biasa, dengan senyum dan gaya "dinginnya" ..........

"Sudah, cepet disalin lalu kita pulang. Ingat, wajib datang waktu ujian ya! Sekalipun kalian sakit, atau tidak belajar, yang penting datang! Karna hanya itu yang bisa menolong diri kalian sendiri!"

Inilah yang menyebabkan kecamuk hebat di dalam hati seperti yang kuceritakan di atas tadi. Aku gak mau munafik, sebagai mahsiswa yang nyambi, hal itu sangat memudahkanku. Lebih2.. mata kuliah itu bisa dikatagorikan mata kuliah yang produktif dan cenderung sulit. (tung..itung...itung....) Tapi hati kecilku juga ingin berontak. Aku bayar mahal, bukan untuk "didulang" dan dibodohi seperti ini.
Ah... tapi selalu saja aku dihadapkan pada populasi yang terlalu sulit untuk kuterjang. Mempertahankan idealisme, tak lebih dari mengasingkan diri dari mereka. Sok suci..naif... kata - kata itu yang pasti terpikir di benak kebanyakan kawan, bahkan yang tega, tak kan ragu untuk meluncurkannya.....

Aih...aih..... kenapa bukan yang salah yang tersingkir...? :<

Kamis, 06 Maret 2008

5 Maret 2008

Apa yang ada dalam bayanganmu tentang sebuah pernikahan kawan? Pertanyaan ini tak harus kau jawab. Namun izinkanlah aku yang mencoba mendeskripsikan apa yang kurasakan kemaren.

5 Maret 2008 adalah hari nan indah sekaligus gerbang menuju kehidupan baru baginya. Sepupuku yang hitam manis dan terpaut 8 - 9 tahun di atasku. Aku memanggilnya mbak, bukan saja karna dia lebih tua dariku, tapi sekaligus karna dia anak dari budheku. Ya.. kami begitu akrab akhir2 ini, lebih - lebih saat kepulanganku ke Jember tercinta. Kira - kira sepuluh hari yang lalu, dia memintaku untuk menemaninya menyebar sejumlah undangan. Dan hari itu, 5 Maret 2008, adalah akhir dari segala penantiannya selama ini.

Seorang pemuda asli Banyuwangi, menyuntingnya beberapa bulan silam. Walau kutahu lelaki ini bukan lelaki pertama dalam kisah cintanya, bukan pula yang paling membuat hidupnya berkesan, namun kutak heran. Bahkan aku berterimakasih untuk semua kisah - kisahnya yang akhirnya menyadarkanku, bahwa semua itu adalah Misteri Illahi. Tak ada yang pernah bisa menebak tentang mentari esok hari, dan tak ada yang bisa menyangkal apa yang sudah menjadi kehendak-Nya.

Selasa malam itu, sepulang kuliah (lebih tepatnya bolos jam terakhir, karna tugas yang dikumpulkan besok, belum terselesaikan! :P), nekat kuusir rasa lelah & laparku untuk menuju ke terminal bis jurusan Banyuwangi & Denpasar. Tepat jam 21:30, aku sudah duduk manis di atas Bis Dahlia jurusan Denpasar Bali. Sebelum bis berangkat, ponsel di tasku bergetar. Ternyata bunda yang memastikan keberadaanku. Sambil tak lupa mengingatkan untuk menghubungi pak lik yang akan menjemputku di Terminal Genteng malam nanti.
Malang tak dapat dikira, karna separuh perjalananku sedikit mengalami halangan. Bis yang kutumpangi harus "mogok" dan benar - benar tak mau jalan lagi, tepat saat aku tiba di Gunung Kumitir, Merawan, Kecamatan Garahan. Sedikit mendeskripsikan Kumitir, daerah ini adalah daerah dengan jalan berkelok - kelok, bonus tikungan - tikungan tajam. Kawasan yang masih asri dan masih berhutan - hutan ini, menjadi tempat favorit bagi para traveler terutama yang bermotor untuk berehat barang sejenak. Karna Kumitir ini bisa dibilang hutan yang cukup lebat, tentu saja tak ada lampu penerangan kecuali lampu - lampu kendaraan bermotor yang lalu lalang. Malam itu begitu gelap. (dah jam 22:30 an) Sekaligus posisinya yang memang di dataran tinggi, membuat udara semakin menusuk tulang.
Paklik dah sms dan telpon berulang kali, mungkin dia juga mengkhawatirkanku yang memang sendirian saja malam itu. Aku & penumpang lain juga mulai tak sabar, karna mesin yang dibetulkan, tak kunjung beres juga! Begitu ada bis lain yang lewat, aku putuskan untuk turun, dan pindah ke sana. Ternyata hal ini, diikuti oleh penumpang lain yang kebanyakan kuli dan buruh yang bekerja di Bali itu. Walhasil, satu bis baru, dijejali penumpang yang seharusnya menempati 2 bis. Bis merambat perlahan menuruni gunung itu, karna keberatan penumpang.

Alhamdulillah, tepat jam 12 malam, aku tiba di terminal Genteng, di sambut para tukang becak dan tukang ojek yang masih berebut mencari nafkah hingga se- dini itu.
Tak lama, kulihat paklik dan motornya yang sepertinya telah menantiku.

Kusudahi dulu celoteh tentang perjalananku, yang dah membuat kisah ini keluar jalur. :P Back to my sister's wedding ceremony.

Keesokan paginya tepat jam 8 pagi, dilangsungkan akad nikah. Dengan berbalut satu2nya kebaya yang kumiliki, kuniatkan tuk tak melewatkan prosesi itu. Tiba2 mbaknya mbakku yang mo nikah ini, memintaku untuk mendampingi adiknya pada saat akad nanti.
Wew.... kok aku?!
Tapi pikirku, lumayanlah... bisa melihat dengan lebih dekat dan jelas, seperti apa wajah calon mas ipar waktu mengucap ijab qabul nanti! :P

Acara dimulai... lantunan ayat suci Al-Qur'an mengawali dengan penuh keindahan. Surat An-Nisa' yang dibacakan, nyaris membuatku meneteskan air mata. Selama khotbah nikah berlangsung, tak henti2nya mbak yang saat itu duduk persis disamping kananku, meremas2 tangannya dan sesekali "menyikut" lenganku. Aku tahu, dia sangat gugup. Dan entah kenapa, aku jadi ikut merasakan yang dia rasakan. (Lha! ini yang nikah siapa?!) :D Hingga akhirnya, tibalah prosesi puncak itu. Dan alhamdulillah, calon mas ipar mengucap dengan lancar dan sukses! Air mata tak dapat kutahan, saat sholawat mengalun dan mbak mencium tangan lelaki yang sah menjadi suaminya kini.

Subhanallah... indah... benar - benar indah....! saat kita menyaksikan dua insan yang tlah disatukan cinta karna Allah. Berkasih - kasih dengan insan yang telah halal bagi kita, memang begitu indah.... begitu nikmat....
Ah..! Entah ini hidayah atau teguran dari Allah. Tiba - tiba perasaan itu membuncah begitu saja! Sebuah hasrat...keinginan..atau jangan2 nafsu? Astaghfirulloh... aku berharap tidak! Karna kuyakin, ini sesuatu yang baik dan mulia.
Di hari itu juga, kurasakan hati... yang juga ingin segera menyempurnakan separuh dien ini. Aku merindukan dan memimpikannya... Sholawat mengalun, mengiringi serangkaian akad yang indah. Seorang lelaki yang tlah halal bagiku, mencium keningku & kubalas mencium tangannya. Subhanallah... aku ingin nikah.....



Wahai hamba Allah yang kutak tahu kau berada di mana...
kuyakini, bahwa kau hadir dalam stiap doaku..
dalam tiap harap... dan mimpiku....
Mungkin saat ini kau tlah menyempurnakan ibadahmu yang lain,
dan kuharap, kau benar2 hadir saat mimpi dan citamu tlah berhasil kau raih
Wahai seseorang yang tlah ditakdirkan Allah untuk-ku,
aku ingin menjadi yang halal bagimu...



*Moga diri terhindar dari segala dosa... naungi hamba dengan cinta-Mu ya Rabbi.....

Senin, 03 Maret 2008

SAJAK-SAJAK SAPARDI DJOKO DAMONO


AKU INGIN


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada



BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan


KAMI BERTIGA

dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata --
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata



MATA PISAU

mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu



TENTANG MATAHARI

Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
"Ini matahari! Ini matahari!"
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.