Senin, 07 Desember 2009

Tanahku

Langit hari ini, semendung hatiku. Deru mesin kendaraan bermotor yang biasanya begitu kunikmati, kini terasa sangat mengganggu. Belum lagi, udara yang terasa begitu sesak oleh sampah - sampah knalpot mereka. Hitam... bau... batuk - batuk.........!

Aku butuh kosong... butuh tenang.... butuh sunyi.... ke mana aku harus mencarinya? Kota kelahiran semasa aku masih bermain betengan yang dulu begitu bersahabat, kini benar - benar berubah. Gedung - gedung megah di mana - mana, lampu jalanan juga semakin semarak di malam hari, tak beda dengan keadaan ibu kota seperti yang kulihat di televisi.

Aku belum mengenal betul seperti apa ibu kota. Sekali pun, aku juga belum pernah menginjakkan kaki di sana.
"Jangan Nduk, jangan di Jakarta...", terekam betul wanti2 bapak saat sebuah perusahaan di sana memanggilku untuk sebuah interview kerja.

Beberapa rekan yang hingga kini bertahan dan mengadu nasib di sana, sedikit banyak memberiku gambaran, apa dan siapa Jakarta. Bukan hanya Monas, Ancol, Taman Mini.... dan tempat - tempat hiburan lainnya yang begitu sering aku impikan sewaktu masih kecil.

"Banyak kemunafikan di sana..., tak ada kawan dan lawan.. kalo bisa semua sama..."

"Pagi - pagi mu disambut dengan bau2an sedap dari got - got depan kontrakan yang meluber.."

"Tak usah tanya... berapa lama kau habiskan waktumu di jalan, di tengah kemacetan ibu kota...."

Masih banyak serangkai kisah yang mereka bagikan untukku. Dan sepertinya ber-inti satu... "Gak perlu jauh2 ke Jakarta...."

Tak ada yang mengingkari, begitu mudahnya mencari pundi - pundi emas di sana. Lahan begitu terbuka, bagi mereka yang mau berusaha walau hanya bermodal sedikit ilmu.
Beberapa sesepuh pun bilang, "Jadi pengamen dan pengemis di sana, dah bisa hidup berkecukupan kok!"

Ah.. Jakarta... Jakarta.... kau benar - benar begitu sering membuatku bertanya - tanya.
Apa yang sebenarnya kau miliki, hingga begitu banyak pemuda - pemuda yang rela meninggalkan desanya untuk mengadu nasib bersamamu. Apa yang kau janjikan pada mereka, hingga mereka rela menempuh ratusan, ribuan, bahkan jutaan kilometer untuk meraihmu. Sekalipun harus direwangi menahan kerinduan, karna terpisah jarak dengan keluarga & orang - orang yang mereka sayangi....

Kau nyaris memonopoli semuanya ibu kota. Apa karna itu... lantas kau disebut ibu kota? Semua terpusat padamu.... Coba, apa yang tak kau punya? Semua bisa kau berikan..layani..dan tawarkan... Tak tertinggal, kebahagiaan dan penderitaan yang juga berjalan seiring dan seimbang di kehidupanmu. Baiklah... kau punya semuanya......

Perubahan, sepertinya memanglah bagian dari kehidupan. Tanah kelahiran yang membentang di hadapanku kini pun, sepertinya mulai menggeliat dan terus bergerak. Usia yang mendewasa, membuatku tak bisa menemukan kampung halamanku yang dulu nyaris seperti kota mati. Tanahku kini riang, tanahku berwarna - warni... tanahku penuh polusi.... tanahku bising......
Ah..aku berharap jangan sampai tanahku mengalami sakit "macet" seperti yang diderita ibu kota. Walau kutahu jelas, beberapa kawan sepermainanku, telah pamer dan adu motor - motor baru milik mereka. Bodohnya, aku pun seakan tak mau ketinggalan.

Kini hanya bisa berimajinasi... tentang apa yang kira - kira akan terjadi pada tanahku ini, 3 hingga 5 tahun lagi....


- repost, demi tanahku yg terus menggeliat -

1 komentar:

Breq mengatakan...

konsekuensi kemajuan kota pasti ada positif dan negatifnya. baik dan buruk itu memang berbeda. tapi mereka berdekatan. lihat sisi baiknya, Ges. :)