Kamis, 16 Desember 2010

Kalau Suamiku, sih....


Suamiku ke luar kota lagi. Terpaksa deh nggak belanja ke pasar, nunggu tukang sayur aja yang biasa beredar di komplek. Waduh! Ibu-ibu, para tetanggaku udah pada ngumpul. Bakalan seru nih. Mereka tengah mengelilingi gerobak sayur yang berhenti tak jauh dari rumahku. Percakapan nggak penting pun meramaikan suasana pagi. Biasalah ibu-ibu... 
"Mbak, suaminya ke luar kota lagi ya??" tanya seorang tetanggaku padaku saat aku baru saja mengucapkan salam pada mereka. Rata-rata tetanggaku masih muda juga, nggak jauh usianya dariku.

"Kalau saya sih, kalau suami saya lagi keluar kota, bawaannya tuh pingin tau aja dia lagi di mana, lagi ngapain..." sahut seorang tetanggaku tiba-tiba.

"Suami mbak suka nelfon nggak?" tanya seorang tetanggaku yang lain padaku.

Duh, ibu-ibu sukanya ngurusin orang lain aja deh, gumamku dalam hati. Aku sih hanya bisa tersenyum.

"Kalau suami saya nih ya... " kata tetangga depan rumahku, "Mesti diingetin dulu sebelum berangkat . Ntar kalo udah nyampe telfon ya..?" Gitu... Kalo nggak diingetin bisa nggak ada kabar sampe pulang lagi ke rumah.

"Iya memang... mereka nyantai aja, tapi kita yang khawatir di rumah." sambung yang lain.

Dalam hati, kalau suamiku sih... tiap ke luar kota tujuannya jelas, bagian dari pekerjaannya. Jadi gimana mau khawatir? Emang sih dia nggak pernah nelfon aku untuk ngasih tau dia sedang apa. Tapi cukup hanya dengan miscall aku, aku tahu kok dia ngapain aja.

Tiap pagi jam 3 dia miscall, tanda dia udah bangun, mau sholat malem. Jam 5 miscall lagi tanda dia udah sholat subuh, mau ngaji. Miscal Jam 7 tandanya dia udah makan, udah siap mau beraktivitas. Miscall jam 12 tandanya dia mau sholat zhuhur trus makan siang. Miscall jam 3 sore tandanya dia mau sholat ashar. Miscall jam 6 tandanya dia mau sholat maghrib dan diam di masjid sampe isya. Jam 8 malam dia miscall lagi tanda dia udah makan malam. Kalau deringnya lama tandanya dia mau ngobrol sama aku atau anak-anak. Kalau nggak, ya berarti dia capek banget, mau langsung tidur.


"Kalau suami saya itu ada lucunya juga... " kata tetanggaku yang sedang memilih2 sayur bayam, 
"Kadang-kadang tengah malem dia nelfon ke rumah, cuma mo bilang selamat tidur aja. Hi hi..."

"Wah, Kalo suami saya sih, suka nggak sensi. Kalo saya nelfon bilang lagi kangen sama dia, dia cuma bilang 'besok juga aku pulang' Mbok ya bilang kangen juga gitu lho. Nggak sensi deh, nggak romantis!" gerutu seorang tetanggaku. 
 "Kalau suami mbak? Romantis nggak?" tanyanya padaku.

Walah?! Aku hanya tertawa kecil, lebih sibuk memilih ikan daripada ikut nimbrung percakapan mereka.

"Eh jangan salah. Jeng ini suaminya romantis buanget." bela tetangga sebelah rumahku lagi.

Lha?! Aku jadi bingung. Kok malah dia yang lebih tahu.

"Pernah nih..." lanjutnya, "Pagi-pagi Jeng ini bikin kopi anget. Suaminya lagi duduk - duduk di depan rumah. Saya lagi nyapu halaman. Abis diminum sedikit sama suaminya, dia minta Jeng ini nyicipin. Ternyata kopinya itu pahit, lupa dikasih gula. Tapi gelasnya langsung ditarik sama suaminya. Tau nggak kata suaminya? Katanya gini... 'Udah nggak papa, abis dicicipin dinda tadi, langsung manis tuh..' Gituuu..."

Waaa?! Semua orang memandangku... rasanya wajah ini sudah memerah jambu. Tapi aku jadi inget kejadian sore itu. Hi hi hi. Lucu juga.

"Waduh waduh... nggak nyangka lho mbak." komentar tetanggaku.

"Makanya jangan kayak nuduh suami orang nggak romantis gitu dong." sahut tetanggaku yang lain.

"Kalo suami saya mah jauh dari romantis. Kalo saya lagi pusing, pinginnya kan dimanja, dipijetin. Eee.. ini malah disuruh minum obat. Kalo nggak ada, beli sendiri ke warung.." gerutu seorang tetanggaku.

"Yah betul atuh. Kalo pusing mah minum obat, masa minum racun!" sahut si akang tukang sayur yang ternyata mengikuti perbincangan pagi itu. Tawa ibu-ibu pun menyambut ceplosannya. Aku jadi ikut ketawa juga. Tukang sayurnya ikut-ikutan aja deh.

Pikir-pikir, Kalo suamiku sih... kalo nemenin belanja, selalu ngangkatin barang - barang belanjaan. Kalo aku masak pagi - pagi untuk sarapan, dia pasti nemenin aku duduk di ruang makan walaupun sebenernya dia masih ngantuk, nggak tega katanya kalo aku sendirian di dapur. Kalo aku lagi males nyetrika, dia bilang 'Udah besok aja', padahal baju itu mo dipake besok itu juga. Emang sih dia nggak bantuin nyetrika. Tapi aku kan jadi nggak beban.

Tapi apakah suamiku romantis, aku masih ragu... Pernah suatu kali saat suamiku berada dalam perjalanan ke luar kota. Aku lagi iseng nih ceritanya.
Aku sms dia, "Abang, malam ini gelap ya? Oh iya, kan bulannya lagi ke luar kota."  
Dan tak berapa lama dia membalas, "Nggak ada bulan tuh disini, Nda. Gelap juga, sama..." He he he... ternyata dia nggak ngerti maksudku.

Tapi ah, ngapain aku pikirin. Romantis gak romantis, tetep cinta kok. Tiba-tiba hp-ku berbunyi di kantong gamisku.

"Wah, ada sms ya, Jeng? Pasti dari suaminya..." goda tetangga sebelah rumahku.

"Iya... tadi pagi saya sms nanyain gimana pagi di sana. Ini pertama kalinya dia datang ke kota itu." jawabku sambil membaca apa yang tertulis di layar hp-ku itu.

"Apa jeng katanya?" usik tetanggaku yang penasaran melihat aku tersenyum geli.

"Nggak penting kok." jawabku sambil memasukkan semua belanjaanku ke dalam plastik dan membayarnya. "Yuk, ibu-ibu... assalaamu'alaykum...." aku pun pamit pulang ke rumah.

Hmmm, masih dengan senyuman ini... tak bisa hilang kata-kata yang terbaca di layar hp itu dari benakku, jawaban saat kutanya keadaan pagi di kota tempat ia sedang berada.

"Dinda sayang... bagaimana hari bisa pagi di sini, sementara matahari terbit di mata dinda..."



-repost, sumber : eramuslim.com-

Rabu, 03 November 2010

Indahnya Belajar Menjadi Dewasa

Waktu dan usia itu berbanding lurus. Perjalanan salah satunya, akan saling
mempengaruhi satu sama lain. Semakin berlalunya waktu, di situ pula lah
bilangan usia akan bertambah. Manusia pasti akan menjadi tua. Itu hukum alam
yang mutlak.
Lalu bagaimana dengan kedewasaan ? Satu variabel kehidupan yang ternyata tidak
bisa disikapi serupa dengan waktu dan usia. Tak salah memang, ungkapan bahwa
kedewasaan itu adalah sebuah pilihan. Karna usia dan waktu, adalah sesuatu
yang pasti mengalir dan terjadi dalam kehidupan kita. Tapi untuk menjadi
seseorang yang dewasa, tiap manusia itu sendirilah penentunya.

Kedewasaan bagiku adalah pencapaian yang tidak pernah mengenal akhir. Dia
adalah serangkaian dari proses demi proses, bagaimana seseorang menghadapi
setiap masalah, cobaan, dan ujian dalam perjalanan hidupnya. Dewasa itu adalah
saat seseorang harus memutuskan memilih antara dirinya atau sekitarnya. Dewasa
adalah saat kau dihadapkan pada sebuah kondisi yang mengharuskanmu berkata
tidak walau itu tak seperti suara hati kecilmu. Dewasa adalah saat kau harus
memaksa dirimu tertawa, sekalipun hati itu memaksamu menangis. Lalu apakah
untuk menjadi dewasa kita harus selalu mengingkari diri sendiri?
Di awal mungkin akan tampak seperti sebuah pengingkaran, tapi itulah ajaibnya
sebuah kedewasaan. Manisnya baru akan terasa saat waktu telah benar - benar
mampu membuka mata dan hati kita.

Hari ini, aku belajar sekali lagi tentang bagaimana sulitnya untuk menjadi
dewasa. Menentukan pemenang dari peperangan antara ego dan akal sehat. Dan di
saat seperti itu, kata kunci yang harus selalu diperjuangkan adalah, kebaikan
bersama. Bukan sekedar kebaikan dan pemenuhan kehendak diri kita sendiri.
Teruntuk seseorang yang telah turut menginspirasiku, terima kasih t'lah membuatku mengerti sekali lagi. Bahwa tak selamanya yang menjadi kehendak kita itu, harus terwujud seluruhnya. Tanpa kita tahu, entah kapan... yang tidak terwujud tadi, akan hadir dalam rupa yang lebih baik dan tentunya di waktu yang lebih tepat dan indah... Percayalah.... :-)


~yang masih dan terus belajar~

Selasa, 02 November 2010

HUJAN

Entah sejak kapan aku mulai begitu menyukai hujan. Kehadirannya selalu memberi warna berbeda di hatiku. Sebuah siklus pengendali dan penyeimbang alam yang diciptakan oleh Tuhan dengan begitu sempurna. Coba kita bayangkan, bagaimana jika tak ada hujan. Berawal dari sumber dan mata air yang akan kekeringan dan tentu berdampak pada ekosistem di sekitarnya. Tapi belakangan, hujan yang aku cintai ini justru membawa bencana. Kehadirannya yang semakin tak menentu dan lebih sering 'jatuh' begitu berlebihan, membawa duka tersendiri bagi beberapa lokasi di negeri ini. Ya, banjir. Namun benarkah banjir itu terjadi murni karna kesalahan sang hujan yang turun tak kunjung henti? Lalu bagaimana dengan ulah manusia yang membuang sampah sembarangan, menggunduli dan mengeksplorasi hutan - hutan lindung, hanya untuk memenuhi nafsu mereka?
Mungkin ini adalah sebuah statement pembelaanku, agar sang hujan yang aku cintai tak menjadi yang semata - mata disalahkan.

Berlama - lama memandangi hujan dari balik jendela, adalah salah satu cara yang paling sering kulakukan. Setiap rintiknya yang jatuh menyapa bumi, seakan membawa sebuah kisah, pergi ke mana saja ia sehari ini. Rintik - rintik tadi pun begitu ikhlas dan pasrah melepas semua bebannya ke dalam pelukan sang bumi. Menyatu dan melebur seirama, penuh dengan harmoni. Di waktu suka, hujan mampu menambah semangat di hatiku. Menyirami benih - benih kebahagiaan, agar semakin tumbuh subur. Di waktu luka dan duka, hujan dengan kesejukannya, membawa semacam penenang yang meredam segala emosi dan keresahan yang singgah dalam hati.
Dan baru kemarin, aku menemukan sebuah cara unik untuk berekspresi. Khususnya bagi mereka yang ingin melepas semua gundahnya tapi malu dan tak tahu harus bagaimana.
Kuambil kontak motor tersayang. Lalu kukendarai ia, melaju di tengah derasnya hujan. Dan hanya ditengah derasnya hujan, kau bisa menangis sesuka hatimu, tanpa ada seorang pun yang tahu.......

Minggu, 22 Agustus 2010

11st_Ramadhan

Ishtar menyelubung di senyap subuhku,
lalu tanpa permisi... melukis lengkung senyum mu.....


~ (masih) dalam rindu ~

Jumat, 20 Agustus 2010

Sajak Kecil tentang Cinta

Mencintai angin,
harus menjadi siul
Mencintai air,
harus menjadi ricik
Mencintai gunung,
harus menjadi terjal
Mencintai api,
harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala,
harus menebas jarak


Mencintaimu.........
harus menjelma aku,


~Sapardi Djoko Damono~

Rabu, 18 Agustus 2010

_Menunggu_


Dalam bilangan hari yang jelas, rindu ini semakin meraja.
Di sini, berteman mimpi yang pernah kita renda, Aku Menunggu.....
#puisikita

Senin, 16 Agustus 2010

Sebelum Jam 13:00

Berbagai warna gurat ekspresi berlalu lalang di hadapku. Tiap langkahnya dipenuhi celoteh rupa - rupa yang seakan ingin bercerita, "Dengarkan... kisahku ini sarat akan makna..."
Mereka membawa mimpi - mimpi itu, erat... sangat erat dalam genggaman. Sekalipun tanpa tahu, ke mana mimpi itu kelak hendak dilabuhkan.
Nafas mereka baru. Terlebih nyali yang terpancar membara dari kedip - kedip sayu pembungkus bola indah berwarna coklat itu. Senyum mereka indah, yang pasti akan menawan sejuta inspirasi dan membawa semangat - semangat yang terus merekah.

Fragmen ini mengantarku kembali pada kisah beberapa tahun silam. Sosok gadis cilik berkuncir, yang melangkah penuh percaya diri di depan seorang lelaki paruh baya. Bersama setumpuk celoteh yang tak lebih adalah pengusir rasa ragu dan takutnya.
Itulah sosokku, dengan segenap keberanianku (walau lebih sering dipaksakan) diiringi senyum dan semangat percaya langkah - langkah ayah di belakangku.
Sebuah tekad yang memaksaku tuk berani berkata "Ayah... Ibu.. sungguh ku tlah berani hidup jauh dari rumah..."

Di detik ini, di ruang dan waktu yang nyaris membisukanku, aku melihat semua itu jelas di depan mata. Seakan dipertontonkan kembali akan tokoh "aku" di masa lampau. Langkah - langkah itu, celoteh - celoteh itu, senyum bangga yang tersungging di balik kerut paras itu...
Ah... episodemu baru saja dimulai, nak.......


Detik - detik menanti pukul 13:00

Rabu, 30 Juni 2010

MARI MENGHIDUPKAN SUNNAH RASULULLAH SAW

Apakah kebahagiaan itu? Kebahagiaan adalah ketika seluruh keinginan hati kita terwujud. Namun, siapakah yang mampu memenuhi seluruh keinginan hatinya? Jawabnya, tak seorangpun yang mampu memenuhi keinginan hatinya, karena hanya Allah sajalah yang bisa memenuhi kehendak hati setiap manusia. Oleh karena itu, siapa saja yang menghendaki keinginannya terpenuhi, taatilah keinginan Allah.

Yang Allah inginkan dari kita adalah, agar kita menjadikan Rasulullah sebagai uswatun hasanah. Syarat untuk dapat mencintai Allah adalah dengan mengikuti sunnah (cara hidup rasulullah). Sejauh mana seseorang mampu menghidupkan sunnah, maka sejauh itulah ia akan memperoleh kebahagian. Barangsiapa yang ingin keburukannya diganti dengan kebaikan, maka hiduplah dengan menjalankan sunnah.

Allah berfirman,”Katakanlah (wahai Muhammad)! Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan menghapus dosa-dosa kalian.” (Ali Imran : 31)

Rasulullah bersabda: “Tidak beriman seseorang diantara kalian, sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaran yang aku bawa.”

“Barangsiapa menhidupkan sunnahku, sungguh ia cinta kepadaku, dan barangsiapa yang mencintaiku, akan bersamaku dalam jannah.” (HR Tirmidzi)

“Barangsiapa berpegang teguh kepada sunnahku, dikala rusaknya umatku, maka baginya pahala satu orang mati syahid.” (HR Thabrani)

“Semua umatku akan masuk jannah, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan?” Beliau menjawab,”Siapa yang taat kepadaku, maka ia masuk jannah, dan siapa yang ingkar kepadaku, maka sesungguhnya dialah yang enggan!” (HR Bukhari)

……

Sunnah rasulullah demikian banyaknya, karena hampir di seluruh aktivitas kita, di situ ada sunnah. Namun ada beberapa aktivitas harian yang sungguh kita tidak bisa menghindar darinya, yaitu makan, tidur dan ke kamar mandi. Alangkah indahnya, jika di seluruh aktivitas yang tidak bisa kita hindari tersebut, kita hidupkan sunnah. Maka yang demikian, akan menjadikan aktivitas-aktivitas itu bernilai ibadah dan akan diberi ganjaran oleh Allah SWT. Selain itu, hidup kita menjadi berkah.

More over,…jika kita ajarkan kepada orang lain tentang sunnah-sunnah ini, kemudian mereka menghidupkannya karena informasi dari kita, maka pahala akan mengalir terus ke kita. Contoh kecil, jika seorang ibu, istiqomah mengajarkan anaknya untuk makan dengan tangan kanan, seraya menjelaskan bahwa itu adalah sunnah, maka jika seumur hidupnya anak tersebut makan dengan tangan kanan, pahala akan terus mengalir kepada sang ibu. Seru ya,..kalau dalam kehidupan dunia kita mengenal MLM maka, untuk urusan akhirat ,kita sebut ini Multi Level Pahala.

ADAB-ADAB MAKAN

1. Mencuci tangan di air yang mengalir. So, cuci tangan di “mangkok kobokan” itu nggak nyunnah, jadi kalo ada kran mending kita cuci tangan di situ.

2. Jika ada, disunnahkan mencicipi garam dengan ujung jari. Fungsinya menghidupkan syaraf-syaraf di mulut kita dan insya Allah dapat menghilangkan 70 penyakit.

3. Sebaiknya kita menunggu makanan, bukan makanan yang menunggu kita. Jadi kalau sudah dihidangkan harus segera dimakan.

4. Disunnahkan memakan buah-buahan sebelum makan nasi. Fungsinya melancarkan pencernaan, jadi ada pemanasan dulu sebelum makan yang berat. Itu juga kalau ada.

5. Jika makanan datang, maka berdo’alah “ Allahumma baariklanaa fiimaa rozaktanaa wakinaa adzaabannaar.” Artinya, “Ya Allah berkahilah pada kami rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami, dan selamatkanlah kami dari siksa neraka.”

6. Disunnahkan makan berjamaah dalam satu nampan.

7. Apabila kita lupa membaca doa sebelum makan, maka ucapkanlah. “Bismillahi awwalahu wa akhiru.” Artinya, “Dengan nama Allah pada awalnya dan akhirnya.”

8. Jangan memakan makanan atau minuman yang masih panas. Karena air yang bertemu dengan tiupan nafas kita akan menghasilkan asam karbonat. Nah asam karbonat ini, jika masuk ke dalam tubuh akan mengganggu kesehatan jantung.

9. Tidak disunnahkan makan di atas meja dan duduk di kursi. Sunnahnya duduk di bawah, lipat kaki kiri dan diduduki, sedang kaki kanan menapak di lantai dan paha menempel pada perut. Duduk tegak, tidak bersandar, fungsinya agar makanan dapat turun ke lambung dengan sempurna.

10. Dilarang makan dan minum sambil berdiri.

11. Makan dan minun dengan tangan kanan. Disunnahkan menggunakan tiga jari.

12. Apabila minum, pegang gelas dengan tangan kanan dan jari kelingking berada di bawah gelas.

13. Jika ada lalat pada makanan atau minuman, hendaknya lalat itu ditenggelamkan dengan ujung jari, baru dibuang. Karena lalat membawa penyakit, di sebelah sayapnya dan penawar di sebelah lainnya.

14. Mulailah dari yang dekat.

15. Jangan mencela makanan. Rasulullah melarang mencela makanan. Selama hidupnya beliau tidak sekalipun mencela makanan. Jika suka beliau makan, jika tidak suka tidak beliau makan, tapi tidak pernah mencela.

16. Makan secukupnya. Berhentilah sebelum kenyang. Jika ingin memenuhi perut, maka bagilah menjadi 3, 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk minuman dan 1/3 lagi untuk udara.

17. Ketika makan jangan membicarakan urusan dunia, karena itu perbuatan orang yahudi. Dan juga jangan diam, karena itu amalan orang nasrani. Sebaiknya, ketika makan kita sebut kebesaran Allah atau berdzikir.

18. Cuci tangan sesudah makan di air yang mengalir.

19. Do’a sesudah makan, “Alhamdulillahiladzi atha’manaa wa saqoonaa wa jaa’lanaa minal muslimiina.” Artinya, “Segala puji syukur bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum dan menjadikan kami dari golongan orang-orang muslim.”

ADAB-ADAB TIDUR

1. Sebelum tidur, berwudhulah kemudian shalat dua rakaat.
2. Diperbolehkan melakukan shalat witir sebelum tidur.
3. Membaca Al-Qur’an paling sedikit 10 ayat, namun lebih utama lagi membaca surat As-Sajadah dan Al-Mulk, sebab sebuah hadist menyebutkan bahwa Rsulullah tidak akan tidur sebelum mambaca kedua surat tersebut. Hadist lain menyebutkan bahwa barangsiapa membaca surat Al-Mulk setiap malam, maka ia akan diselamatkan dari siksa kubur.
4. Mengibaskan alas tidur sebelum dihamparkan atau menebah tempat tidur sebelum digunakan, agar makhluk-makhluk yang tak terlihat, yang mungkin bisa menyakiti dapat menyingkir. Semut kecil misalnya. Manfaat lain, agar alas tidur besih tentunya dan nyaman ditiduri.
5. Niatkan untuk shalat Tahajjud. Jika kita tidak melaksanakan karena tertidur, maka kita akan tetap mendapat pahala shalat Tahajjud tersebut.
6. Membaca tasbih Fatimah, yaitu Subhaanallah 33 x, Alhamdulillah 33 x, Allahu Akbar 34 x. Insya Allah akan menghilangkan segala kepenatan setelah beraktivitas di siang hari.
7. Membaca surat Al Fatihah, Al-Ikhla, Al-Falaq dan An-Nas, kemudian dihembuskan kepada kedua telapak tangan, dan diusapkan keseluruh tubuh. Untuk wajah, gunakan hanya tangan kanan. Hal ini dilakukan sebanyak 3 x.
8. Bermuhasabah,…yaitu menghisab diri.
9. Membaca doa sebelum tidur, yaitu “Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut” artinya : Dengan nama Allah aku bangun dan dengan nama Allah aku tidur.
10. Disunnahkan memakai celak sebelum tidur. Keutamaannya adalah membuat mata cantik, bercahaya dan jika diamalkan secara istiqomah, maka penglihatan mata tidak akan menjadi kelabu.
11. Sesama laki-laki tidak boleh tidur berdua dalam satu selimut, dan sesama wanita juga tidak boleh tidur berdua dalam satu selimut.
12. Rasulullah melarang tidur dengan kaki mengarah ke kiblat.
13. Barangsiapa membaca Al-Ikhlas toga kali, maka pahalanya sama dengan mengkhatamkan Al-Qur’an.
14. Setelah bangun membaca doa, yaitu “Alhamdulillahil ladzi ahyaanaa ba’da maa amaa tanaa wa ilaihin nusyuur” artinya : Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kamimsetelah mati, dan kepadaNyalah tempat kami kembali.

ADAB-ADAB ISTINJA

1. Sebelum memasuki kamar mandi disunnahkan membaca doa “ Allhumma inni ‘auudzu bika minal khubutsi wal khobaaits” artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari syetan laki-laki dan syetan perempuan.
2. Memasuki kamar mandi dengan mendahulukan kaki kiri.
3. Dianjurkan memakai alas kaki ketika berada di kamar mandi.
4. Dianjurkan memakai tutup kepala selama berada di kamar mandi. Tapi jangan tutup kepala yang biasa kita gunakan untuk shalat.
5. Jangan berbicara ketika berada di dalam kamar mandi. Jadi nyanyi2 di kamar mandi itu enggak nyunnah.
6. Dilarang kencing sambil berdiri. Salah satu manfaatnya, agar najisnya tidak terciprat kemana-mana.
7. Disunnahkan berdehem tiga kali setelah buang air kecil, agar semua kotoran keluar.
8. Tidak boleh buang air kecil dan besar dengan menghadap atau membelakangi kiblat.
9. Tidak diperkenankan menjawab salam ketika berada di dalam kamar mandi.
10. Dilarang membawa atau membaca lafazh “Allah” atau “Muhammad” atau ayat-ayat AlQur’an ke dalam kamar mandi. Jadi liontin atau kaos-kaos dengan lafazh diatas tidak boleh dipakai ke kamar mandi.
11. Tidak boleh mandi berdua di dalam kamar mandi kecuali suami istri.
12. Jangan melihat kemaluan.
13. Jangan makan dan minum ketika di dalam kamar mandi.
14. Tidak boleh buang air kecil di tempat air tergenang.
15. Berhati-hatilah dengan percikan najis, Rasulullah bersabda bahwa kebanyakan siksa kubur disebabkan karena tidak berhati-hati dlam beistinja.
16. Tekan perut kita ketika buang air besar.
17. Bersihkan diri setelah buang besar atau kecil.
18. Keluar dengan mendahulukan kaki kanan.
19. Doa setelah keluar kamar mandi “Ghufroonaka. Alhamdulillahi ladzii adzhaba annil adzaa wa ‘aa fani” artinya : Aku memohon ampun kepada-Mu. Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesakitan dariku, dan telah menyehatkanku.

Semoga bermanfaat dan semoga Allah memberi kita kekuatan untuk menjalankan amalan-amalan tersebut. Amiin

Ummu Ali (ummuali.wordpress.com)

Selasa, 22 Juni 2010

Aku Pilih Berdusta

Anak : "Ibu... sudah makan ?"
Ibu : "Sudah, dek.. makanlah yang lahap dan kenyang."
Anak : "Bu, kenapa ayah belum juga pulang? Apa ibu sudah telpon ayah, Bu?"
Ibu : "Iya.. sudah, dek.. Ayah sedang menyelesaikan kewajibannya di luar kota. Ayah juga titip salam kangen dan sun sayang buatmu... "
Anak : "Tapi, Bu.. besok adek harus bayar uang sekolah. Apa Ibu ada uang, Bu?"
Ibu : "Oh ya? InsyaAllah ada, Dek... Sudah, makanlah..."
Anak : "Bu... kenapa akhir2 ini, adek sering lihat Ibu melamun, Bu? Ibu juga jadi jarang sekali tersenyum. Kemarin Ibu habis nangis ya, Bu? Adek lihat mata ibu merah..."
Ibu : "Ibu cuma sedang kangen sama ayah, Dek.. Ibu ga papa kok. Kemaren waktu bersih - bersih kamar, mata ibu kena debu. Jadi merah gitu... "
Anak : "Oooo......" (sambil meneruskan makan dengan lahap)

===================================================================

Wanita ternyata sangat pandai berbohong saat langkah - langkahnya mulai tak terkendali oleh keadaan. Berbohong demi senyum orang - orang tercinta. Berbohong karna tak ingin terlihat lemah dan kalah. Berbohong, karna kejujuran yang menyakitkan, lebih ia pilih untuk ditelan sendirian....

*Sudah, dek.. makanlah yang lahap dan kenyang ----> Ketika yang tersisa di meja makan hanyalah sepiring nasi dan sepotong daging.

*Iya.. sudah, dek.. Ayah sedang menyelesaikan kewajibannya di luar kota. Ayah juga titip salam kangen dan sun sayang buatmu... -----> Detik - detik penantian itu sungguh menyiksa. Bahkan hanya dengan sepatah kata lewat sms atau telpon pun tak kunjung dihadirkan sang suami.

*Oh ya? InsyaAllah ada, Dek... Sudah, makanlah... -----> Ibu akan berusaha mencarinya untukmu, sekalipun harus berjuang mencari pinjaman semalaman ini.

* Ibu cuma sedang kangen sama ayah, Dek.. Ibu ga papa kok. Kemaren waktu bersih - bersih kamar, mata ibu kena debu. Jadi merah gitu... ----> Inilah air mata cinta. Yang akan selalu ibu teteskan dengan ikhlas. Suatu hari, jika kau telah mengenal dan berteman dengan 'cinta', kau akan memahaminya.

Senin, 21 Juni 2010

I Love Monday

Jika banyak orang mendengung2kan "I hate Monday" (termasuk yang juga sering saya lakukan), hari ini saya memilih meneriakkan "I love Monday". Mengapa?
Karna pagi tadi langit yang begitu cerah dan biru sudah menyambut dan memaksa bibir ini tuk tersenyum seindah pesona yang dibaginya. Ya, sesederhana itu saja alasannya.

Langit pagi ini sungguh memukau saya. Seakan tak pernah sebelumnya, kecantikan seperti ini terhampar nyata di depan mata. Tanpa sadar, dari atas kuda jantan bermesin 'Ega' tersayang, kepala ini berulang kali menengadah demi curi - curi pandang mengaguminya. Padahal ulah saya itu, sangat berpotensi membahayakan dan mencelakakan diri sendiri bahkan orang lain. Alhamdulillah, Allahu Rabbi masih memberi keselamatan kepada saya dan orang - orang di sekitar saya, hingga tiba di kantor pagi tadi.

Belum selesai kekaguman ini akan indahnya langit, satu lagi kekuasaan Sang Pencipta berhasil 'mengusikku'. Lewat siluetnya yang seakan malu - malu, ia tampilkan sosoknya yang misterius dalam hamparan keangkuhan nan gagah. Ah.. Argopuro... Semakin lengkap sajalah wisata hati pagi ini, yang membuat lisan tak henti - hentinya mengalun tasbih dan tahmid.

Kalau dipikir - pikir, kenapa ya sindrom i hate monday itu begitu mewabah? Padahal, hari itu adalah awal dari hari kita di minggu yang akan berjalan. Kalau di permulaan saja, kita sudah memberi sugesti yang melemahkan, bagaimana mungkin langkah - langkah selanjutnya akan menjadi mudah dan bersemangat ?
Dan itu saya buktikan hari ini. Senin yang "aras2-en", senin yang membosankan, senin yang isinya berharap segera datang waktu tuk pulang, pergi entah ke mana. Bermula dari senyum yang 'dipaksakan' karna cantiknya langit pagi ini, lalu disusul oleh gagahnya siluet sang Argopuro, cukup membuat saya sedikit lebih berani mengatakan "I love Monday". Dan saya pun menikmati hari ini seperti layaknya saya menikmati hari Jumat yang merupakan pertanda waktu berlibur telah tiba. Tak percaya? Buktikan saja.....


(Ya Allah, moga saja saya bisa memeliharanya, tak hanya untuk hari ini. Tapi di Monday - monday yang berikutnya, Amin....) ^_^



*menemani dan mengalun lembut, We Will Not Go Down - Michael Heart

Rabu, 16 Juni 2010

-muhasabah-

Menjadi tua, bukanlah keinginan setiap orang. Dan kita tidak bisa memilih untuk bertahan menjadi muda lebih lama, karna perjalanan usia jelaslah sesuatu yang pasti.
Lalu bagaimana dengan kedewasaan? Adakah dia berjalan seiring dengan me-nuanya usia? Bisakah seseorang yang terlihat sudah tua, dibilang pula bahwa dia t'lah dewasa?

Teringatku akan seorang sahabat, yang sempat menemaniku melewati kehidupan di kota orang beberapa waktu lamanya. Dia masih muda, sangatlah muda. Terpaut beberapa tahun usianya dariku. Hari - hari pun kami lewati bersama layaknya remaja putri lain yang (katanya) beranjak dewasa. Namun entah, sejauh yang kurasakan berada satu atap dengannya, selalu ada saja dari dirinya yang membuatku tergugah. Entah senyum keceriaannya, ketegarannya, kesabarannya dalam menghadapi setiap masalah yang datang, hingga kegigihannya saat berjuang tuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Yah.. memang tak ada manusia yang sempurna. Tapi setidaknya, dari diri sahabat kecilku itu, kutemukan secercah makna dari sebuah kedewasaan.

Dua puluh dua tahun. Bukanlah lagi usia yang pas tuk menyebut dirinya 'anak - anak' bukan? Tapi kalaupun hendak dibilang dewasa, benar sudah pantaskah? Jika masalah sepele saja, kadang menjadi bahan uring - uringan seharian. Saat sebuah kata maaf pun, masih begitu sulit terucap atau diberikan pada sejumput kesalahan. Jadi teringat lagi, pada keponakan yang masih berumur 5 tahun, yang terus - terusan menangis dan 'ngambek' berhari - hari, gara - gara sepatu yang diinginkannya tak kunjung terbeli.
Hehehe.. kok jadi merasa masih kanak - kanak kalo gitu ya? :P

Inginnya dibilang dewasa, biar bisa melakukan ini itu sesuka hati. Supaya tidak dianggap remeh dan selalu menjadi pupuk bawang dalam segala 'permainan'. Biar dipercaya dan dianggap ada dalam setiap perhelatan. Tapi apakah itu saja tujuan seseorang menjadi dewasa dalam hidupnya?
Hummm... ternyat benar... menjadi tua itu pasti.. tapi menjadi dewasa, adalah sebuah pilihan..... :)

Sabtu, 17 April 2010

Telaga Hati

Ya Rahman... jika Kau perkenankan dia sebagai yang terbaik bagiku,
mudahkanlah langkah ini...
beri kami kekuatan menghadapi setiap uji dan coba,
hingga sang waktu dengan ijin-Mu,
membawa dan menyatukan mimpi kami ke dalam ikatan suci....

Namun jika bukanlah dia yang terbaik tuk iringi perjuangan ini,
berkenanlah tuk terangi hati kami dengan cahaya ke-ikhlasanMu..
karna kami percaya, apa yang terlihat baik dan indah bagi kami,
belum tentu begitu sejatinya...
Kebaikan dan keindahan-Mu lah yang jauh lebih mutlak dan hakiki...

Kupasrahkan jalan hidupku pada-Mu Ya Rabbi...
setelah doa dan ikhtiar menjaga hati kulalui
Tetap kokohkanlah perisai hati kami,
tuk menjaga kesucian anugrah-Mu yang telah berkubang di hati ini...


Semua karna kubersyukur, tlah mengenal cinta.......

Jumat, 16 April 2010

^__^


Pernah membayangkan, kita mengidap sebuah penyakit di mana dunia seakan hanya berhias hitam dan putih ? Tak ada warna, tak ada irama, semua berlalu begitu saja. Satu sama lain tak peduli, bahkan mungkin memendam iri dengki. Asal milikku beres, selama urusanku selesai dan tuntas, masa bodoh tentang toleransi.
Penyakit yang sebetulnya sangat sederhana, namun siapa sangka jika dipelihara dapat memicu ketegangan yang siapapun pasti tak mengharapkannya. Siapakah dia?

Virus yang lumayan mewabah itu adalah... semakin sulitnya bibir ini menyungging sebuah senyuman. Mengapa saya mengatakan virus, karna memang sifatnya yang menular dan tak kan mampu dihindari oleh mereka - mereka yang antibodi (baca : antihati)nya kurang bagus. Sebenarnya darimana kita bisa selalu memproduksi sang senyum ini ? Apakah cukup dengan menarik bibir ke kanan dan kiri secara simetris? Kalo saya boleh menganalisa dengan keterbatasan dan kesederhanaan saya, sebuah senyum nan indah itu bisa terlahir cukup dengan berbahan bakar hati yang ikhlas saja. Ya.. semuanya akan terasa lebih ringan saat dimulai dari hati yang legowo. Tanpa tendensi apapun, tanpa mengharap ini itu, murni berjudul ketulusan. Jika ini sudah bisa kita miliki dan terapkan dalam tiap langkah, dijamin... yang namanya muka masam dan kecut akan lari terbirit - birit menjauhi kita.

Kenapa senyum? Karna sekalipun begitu kecil dan sederhana, sebuah senyuman terbukti memiliki kekuatan yang luar biasa. Keindahannya mampu luluhkan segumpal amarah dan emosi. Coba bayangkan, betapa damai dan indahnya dunia, jika kita bisa menanamkan sebuah senyuman di setiap penyelesaian segala permasalahan. Tak selalu harus diakhiri dengan pertikaian dan kekerasan bukan? Dengan senyuman pula, terbukti segala keruwetan berfikir bisa teratasi. Tubuh yang lelah karena rutinitas yang mungkin membosankan, jelas perlu sedikit peregangan. Otak yang dipaksa terus menerus berfikir, juga pasti mengalami kelelahan. Sedikit rileks dengan tersenyum, biasanya simpul - simpul keruwetan akan terurai dan kita bisa berfikir lebih jernih. Mungkin ini juga alasan, mengapa senyum dikatakan sebagai salah satu obat dan olahraga yang menyehatkan.

Suatu hal penting dari senyuman, yang hingga detik ini juga masih membuat saya terus tersenyum adalah, keberadaannya yang merupakan bukti nyata kehadiran mereka yang terkasih dan berarti bagi kehidupan kita. Senyuman ibunda contoh nyatanya, selalu menjadi inspirasi dan pembakar semangat yang tak pernah tak saya rindukan, ketika saya jauh darinya. Mungkin sama halnya dengan mbak - mbak, mas - mas, kita, dan pembaca semua. Bahwa seukir senyum di wajah indah orang - orang yang terkasih, selaksa pelangi yang hapus air mata langit dan menggores keanggunan di dindingnya.
Maka dari itu, tersenyumlah........... ^_^

Senin, 05 April 2010

Cara Allah Mencinta

"Aku mencintaimu karna agama yang melekat padamu, jika kau hilangkan agama
dalam dirimu, maka hilanglah pula cintaku padamu.....
"

itu kata2 imam Nawawi yg sangat menginspirasiku hingga hari ini. Bahwa
keindahan fisik, materi dan apapun yg terlihat mata itu semu adanya. Akan
usang dan sirna seiring berjalannya waktu.
Siapa yg tak suka melihat yg indah2, siapa yg tak gemar berburu yg cantik2,
siapa yg tak mau bergelimang kenikmatan dan kemewahan, tapi apa arti
semuanya jika yang tertinggal hanya kekecewaan saat satu demi satu dari
mereka pergi perlahan, karna ketidak abadiannya.

Notes dari seorang sahabat berikut, mungkin bisa mewakilinya....

============================>>>>

Suatu malam Ade mengajukan pertanyaan kepada suaminya, Akang, “Apa yang
membuat Akang memilih saya menjadi isteri Akang? Bukankah saya tidak
lebih cantik dari teman-teman perempuan Akang yang lain?”
Akang yang mendapat pertanyaan itu hanya menyunggingkan senyum tanpa
menjawab sepatah kata pun. Mungkin pertanyaan itu terlalu retoris karena
disampaikan hanya satu hari setelah pernikahan mereka. Akang pun tetap
sibuk menyemir sepatunya untuk kerja esok hari.

Merasa tak puas hanya mendapatkan senyum manis sang suami, Ade pun
mendekati Akang dan mengulangi pertanyaannya. ”Jawab atuh kang, Ade
butuh jawabannya...?”

Tiba-tiba tangan Akang yang berlumuran semir warna hitam mendarat mulus
di kiri dan kanan pipi Ade yang putih. Ade tak sempat berkelit dan
hasilnya, wajah Ade pun menjadi cemong. Sesaat kemudian Ade pun ngambek
menekuk wajahnya, bibirnya maju beberapa senti. Jawaban yang
diharapkannya tak keluar sedikit pun dari suaminya, justru tangan Akang
yang berlumuran semir hitam yang mewakili jawaban itu.

Melihat isterinya kecewa dan nyaris meneteskan air mata, Akang langsung
menarik tubuh mungil isterinya itu, mendekapnya erat dan kemudian
menghadapkan wajah isterinya tepat dihadapan wajahnya. Hidung mereka
hampir bersentuhan, hanya beberapa mili saja jaraknya. Ia memberi
isyarat hendak mengatakan sesuatu yang serius, bening air di sudut mata
Ade tertahan tak jadi tumpah. Bak kembang yang baru mekar, wajah Ade
berubah cerah menunggu tak sabar gerangan apa yang akan disampaikan
suaminya.

”Andai wajah Ade benar-benar hitam sehitam semir ini, Akang akan tetap
mencintai Ade,” kalimatnya terlalu datar, belum membuat senyum Ade
mengembang. Langit di wajahnya masih sedikit mendung, belum sepenuhnya
cerah. Ade hanya menganggukkan kepalanya agak ke atas seolah sedang
bertanya ”lalu?”

Mengerti isyarat ”lalu?’ isterinya, Akang pun mengeluarkan barisan
kata-kata yang nampaknya sudah lama tersimpan. ”Cinta Akang bukan cinta
biasa”. Ah, lagi-lagi Ade kecewa, ia memalingkan wajahnya sedikit ke
kiri pertanda protes. Mungkin dalam hatinya Ade berkata, ”punya suami
nggak kreatif banget, jiplak Siti Nurhaliza”.

Tapi Akang pun sebenarnya belum selesai. Kalimat ”cinta Akang bukan
cinta biasa” itu hanya kalimat pembuka rangkaian kalimat yang sudah
tersimpan rapih di kantongnya. Senyum yang lebih manis lagi disuguhkan
ke wajah isterinya dan, ”Akang mencintai Ade bukan karena kecantikan
Ade, bukan karena satu sisi pun di tubuh Ade. Ingat, mungkin tiga puluh
tahun lagi Ade tidak secantik hari ini. Kalau Akang hanya melihat
kecantikan Ade, cinta Akang akan berkurang seiring dengan berkurangnya
kecantikan Ade”.

Wajah Ade tambah cerah. Tapi Akang seperti tak memberi kesempatan
isterinya untuk berkata-kata.

”Jika Ade bertanya, apa yang membuat Akang memilih Ade sebagai isteri
Akang, jawabnya Allah. Allah yang memilihkan Ade untuk Akang. Jadi yang
paling tahu kenapa Ade yang dipilih Akang menjadi isteri, tentu saja
Allah. Sedangkan kecantikan, serta hal-hal fisik lainnya yang ada di
diri Ade, ibarat pakaian yang menghiasi tubuh pemakainya, tak ubahnya
seperti seekor burung merpati, apapun warna bulunya tak mengubah namanya
tetap merpati. Hakikat merpati bukan pada warnanya, melainkan pada
penurut dan kesetiaan yang menjadi sifatnya”.

Ade pun tersipu. Kali ini ia yang benar-benar tak sanggup berkata.

”Sayang, benci, marah, atau cinta itu semestinya diletakkan pada
piringan Allah. Alasnya hanyalah Allah, sebab Allah-lah yang menciptakan
semua rasa itu”.

Senyum Ade tipis manis menghiasi wajahnya. Binar matanya menunggu tak
sabar barisan kata indah suaminya.

”Coba kita tiru cara Allah marah, sayang atau bahkan cinta kepada
hamba-Nya...”

Ade tak sabar mendengarkan,

”Ingat kisah Adam ketika diusir Allah dari surga? Allah bukan marah
kepada Adam, tetapi marah lantaran sikap Adam yang melanggar aturan
Allah. Bahkan boleh jadi, Allah tidak membenci dan melaknat syaitan
karena zatnya, melainkan karena sikapnya yang sombong, membangkang dan
tak mau tunduk kepada Allah. Coba pelajari sejarah Bilal bin Rabbah,
wajahnya tak tampan, kulitnya hitam legam, tetapi Allah mencintainya
karena keimanannya yang tak terbanding. Pelajari juga alasan Allah
menjadikan Abu Lahab sebagai salah satu figur penghuni neraka, adalah
karena sikapnya yang menentang Rasulullah”.

Berguguran bening air dari sudut-sudut mata isterinya. Sementara Akang
belum memberikan tanda-tanda akan menghentikan kalimatnya.

”Dan episode cinta yang meniru cara Allah mencinta ini, dipentaskan
dengan cantik oleh Muhammad Rasulullah bersama para sahabatnya. Ummat
Muhammad mencintai putra Abdullah itu bukan karena ia cucu Abdul
Muthallib, salah seorang yang paling disegani masyarakat Quraisy. Juga
bukan karena Muhammad keponakan Abu Thallib yang cukup terpandang.
Adalah sifat mulia Muhammad yang membuat orang-orang mendekat dan
menjadi sahabatnya serta mengikuti ajarannya”.

***

Akang pun memeluk isterinya seraya berbisik, ”cintai Akang karena Allah
de, cintai Akang sepanjang Akang tetap dekat kepada Allah. Cintai Akang
dengan cara menegur Akang setiap kali menyimpang dan berbuat salah.
Begitu pula cara Akang mencintai Ade...”

Senin, 25 Januari 2010

Dia Ibuku

Braaakkkk!

Gadis kecil itu membanting pintu kamarnya, lalu melompat ke atas tempat tidur. Menangis. Tanpa melepas seragam pramukanya, ia terus sesenggukan di balik bantal dan guling yang selalu menemani tidurnya. Terngiang terus di benaknya kejadian yang ia alami beberapa jam lalu.


Ayo coba anak – anak, masing – masing dari kalian membuat satu buah tulisan yang menceritakan tentang ibu kalian. Setelah itu, ibu akan absen dan yang dipanggil namanya harus membacakan tulisannya di depan sini.....

Ibu Sri guru bahasa Indonesia itu, sengaja memberikan tugas yang menurutnya sangat berhubungan dengan hari itu yang bertepatan dengan hari ibu. Sekaligus sebagai bahan penilaiannya untuk ujian akhir di semester ini.

Ibuku, adalah seseorang yang sangat kuat. Kata ibu, sewaktu masih pendidikan dulu, beliau mampu berlari mengelilingi lapangan bola lebih dari 10 kali. Menyaingi kawan – kawan prianya. Kini, dengan kedua tangan dan peluit di mulutnya ia mampu mengendalikan kota. Dialah ibuku, yang seorang polisi wanita.” Amri, bocah lelaki berbadan kurus dan berkacamata dengan bangga membacakan bait terakhir tulisannya. Tepuk tangan seisi kelas pun ikut mengakhiri ceritanya.


Beda lagi dengan Bela, gadis mungil berambut keriting ini seakan tak mau kalah membanggakan ibunya.

Mamaku sangat cantik. Kata papa, dulu mamaku adalah idola dan pernah menjadi model. Baju mamaku bagus – bagus. Kalo sudah besar nanti, aku ingin seperti mama. Aku akan minta diajari dandan. Aku juga akan minta semua baju – bajunya.” Di akhir cerita, Bela juga menyampaikan profesi mamanya yang seorang pengusaha butik di sebuah kota kecil di Bali.


Aku bangga memiliki bunda. Karena dia adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tangannya mampu lahirkan anak – anak yang pintar dan cerdas. Bundaku juga pasti adalah seseorang yang pintar. Karna waktu kutanya, ia pernah mendapat beasiswa sekolah di luar negeri. Tak hanya itu, memiliki bunda seorang guru juga semakin memudahkanku waktu mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah, hehehe.....” sekali lagi tawa dan tepuk tangan riuh seisi kelas, menyambut cerita Dedy tentang bundanya.


Siang itu, wajah – wajah kecil dan polos mereka mampu bercerita, betapa rasa bangga dan cinta itu berlimpah. Untuk sesosok wanita yang frekuensi keberadaan dan kasih sayangnya paling mendominasi hidup mereka hingga detik itu. Wanita mulia yang dijanjikan surga untuk perjuangannya saat menghadirkan mereka di dunia.

Namun berbeda bagi Fida. Mendung sedari tadi menyelimuti wajah dan hatinya. Namanya memang belum dipanggil untuk maju, tapi hingga detik itu pun ia masih kebingungan harus menuliskan apa di kertasnya yang masih kosong.

Dinda, ibunya adalah seorang wartawan. Elyas, adalah putra seorang bidan. Fahri, Gendis, Gita, dan Hamid semuanya memiliki ibu yang berprofesi hebat dan membanggakan. Sedangkan Fida, hatinya berkecamuk. Haruskah ia berdusta tentang siapa dan bagaimana ibunya? Baginya, wanita itu tidak memiliki profesi yang membuatnya kagum apalagi bangga. Ingin rasanya ia menangis lalu berlari meninggalkan kelas. Berlari dari tugas yang tak mampu ia lakukan.

Krrrrrriiiiiinnnnggggg......................


Baik anak – anak, kita lanjutkan di pertemuan minggu depan. Untuk yang belum maju, tolong disiapkan dengan baik.

Bel akhir pelajaran yang berdering, sedikit membuat hati Fida lega. Setidaknya ia memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan apa yang akan ia tuliskan sekalipun harus berdusta.

Fida.... aku penasaran tentang cerita ibumu, aku tunggu minggu depan ya.. Aku yakin, ibunya Fida adalah ibu yang hebat!” perkataan Intan, semakin merobek hatinya.


======================================***===================================


Fida... sayang... ayuk ganti baju, sholat terus maem dulu. Baru pulang kok langsung tidur. Kamu sakit, nak?” lembut wanita separuh baya itu bangunkan Fida yang tertidur karna lelah menangis. Dipegangnya dahi putri tercintanya itu. Tidak panas. Dibelainya lembut pipi gadis cilik itu, sambil kembali ia coba bangunkan. Fida menggeliat sebentar. Sebenarnya dia sudah mendengar dari pertama kali ibunya memanggil dan membangunkannya. Namun ia enggan membuka mata. Selain karna gelisahnya siang tadi, juga karena takut ibunya tahu bahwa ia habis menangis.

Mataku pasti bengkak, dan ibu pasti tanya macam – macam. Aku malas menjawabnya..” gumamnya dalam hati.


Ayo, nak... sholat trus maem dulu....” ibu belum menyerah.

Iya bu, bentar lagi... ibu duluan aja. Aku tar nyusul...” Fida menjawab masih dengan ogah – ogahan.

Merasa putrinya sudah bangun walau belum beranjak dari tempat tidurnya, ibu meninggalkan kamar. Menuju dapur, menyiapkan kembali makanan untuk Fida.

Sementara di dalam kamar, setelah memastikan ibunya pergi, Fida baru benar – benar membuka matanya. Terasa sekali matanya yang berat karena terlalu lama menangis tadi.

Apa yang harus aku karang untuk tulisan itu minggu depan ? Apa mungkin akan kutulis saja, bahwa ibuku bukan siapa – siapa, bukan orang hebat, karna ia hanyalah seorang ibu rumah tangga.... Ah, aku tak mau malu di depan teman – teman hanya karna ibuku. Fida, sang bintang kelas ini, juga harus menunjukkan bahwa ibunya adalah orang hebat!” hatinya kembali bergumam.


Di meja makan, ibunya masih setia menunggu. Fida datang dengan wajah yang sedikit kusut. Sudah berusaha ia basuh mukanya, terutama mata, agar tak tampak habis menangis. Namun tetap saja, gurat – gurat kekesalan dan kesedihan tak bisa ia sembunyikan.

Mata kamu itu kenapa, Fida?” tanya ibu sambil mengambilkan nasi di piringnya yang masih kosong. Pertanyaan itu tak segera dijawab oleh Fida. Tatapannya menyapu isi meja makan yang tak pernah berubah setiap harinya. Selalu lengkap dan sesuai seleranya. Setidaknya itu sedikit mengobati hatinya.

Gak papa, bu... tadi kelamaan tidur ‘mengkurep’ kayake..” ujar Fida sambil menyendokkan nasi ke mulutnya. Tak banyak obrolan di meja makan siang itu. Tak seperti biasanya, Fida lebih memilih banyak diam dan menjawab pertanyaan ibunya singkat – singkat saja.

Tadi di sekolah gimana? Masak gak ada yang istimewa? Tumben – tumbennya anak ibu yang cantik ini gak cerewet kayak biasanya ?” Ibu terus menyerang Fida karna kediamannya itu.

Fida masih bertahan dengan diamnya. Yang ada di benaknya hanya apa dan bagaimana yang harus ia tulis tentang ibunya. Minggu depan seperti akan hadir dihadapnya beberapa menit lagi. Melihat kondisi Fida yang tak wajar, ibu semakin yakin ada sesuatu yang terjadi pada gadisnya itu. Tapi ibu juga memilih diam. Ia tak ingin terlalu memaksa dan bermaksud memberikan kesempatan bagi Fida untuk tenang dengan dunianya sendiri dulu.

Fida memilih segera menuntaskan makan siangnya itu dan ingin segera mengurung diri lagi dalam kamar. “Bu..... kenapa ibu gak kerja sih, bu? Kenapa ibu suka jadi ibu rumah tangga yang cuma diem di rumah?” Wajah polosnya kemudian berlalu meninggalkan meja makan dan ibunya yang terdiam dalam kebingungan.


=====================================***====================================


Hari Minggu, adalah hari yang paling dinanti – nantikan oleh Fida. Karna di hari itulah, bapak selalu meluangkan waktunya untuk jalan – jalan bersama keluarga. Walau hanya sekedar berkeliling kota dengan sedan coklat tua tahun 60an, atau bahkan bertamasya ke pinggiran kota menikmati indah dan hijaunya alam.

Pagi itu pun, mereka berenam telah menikmati lengangnya jalan protokol yang biasanya macet dan bising. Telaga Sarangan, tujuan mereka hari itu.

Fida adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Di usianya yang ke – 4 tahun, ibu hamil adik pertamanya. Tiga tahun kemudian, disusul si bungsu yang hadir ke dunia. Dan Fida ditakdirkan menjadi satu – satunya anak perempuan di keluarganya.


Ayoo... mana ini anak bapak yang paling cantik kok tumben ga ada suaranya? Biasanya sepanjang jalan nyanyi – nyanyi terus?” bapak mencoba mencairkan suasana yang sedari tadi tenang. Lelaki berkumis dan berkacamata ini, sesekali melihat cermin yang mampu memantulkan bayangan ketiga putra – putrinya di kursi belakang. Si bungsu pulas tertidur. Putra keduanya, asyik menikmati lolypop yang dibeli sebelum berangkat tadi. Dan Fida sedari berangkat terus melihat keluar jendela, menikmati pematang yang memanjang sambil terus membisu.


Telaga Sarangan siang itu, laksana penyejuk bagi hati dan jiwa yang letih oleh waktu yang terus memburu. Bapak, ibu, Fida, Rio, dan si kecil Ari larut dalam pelukan semesta yang terhampar nyata di hadapan mereka. Mereka tertawa, bercanda, dan terlihat bahagia seperti biasa. Fida pun mulai bisa melebur dengan suasana dan berlari riang ke sana kemari. Walau gelisah sejatinya masih mewarnai hati kecil itu.

Fida gak seperti biasanya, kenapa ya, dek ?” Bapak berujar sambil menyeruput kopi hangat dan mengamati putra- putrinya yang saling berkejaran.

Iya, mas.. aku juga menyadarinya dari kemaren. Dia cenderung lebih banyak diam. Tapi aku memang sengaja belum bertanya banyak, biar dia tenang dengan kesendiriannya dulu...” Ibu memilih menyembunyikan apa yang sebenarnya juga mengganggu benaknya belakangan ini. Terutama pertanyaan Fida yang terakhir sebelum meninggalkan meja makan beberapa hari lalu.

Yawda, aku percaya sama kamu, dek.. Tapi kalo bisa, ndang diselesaikan. Kasihan kalo berlarut – larut. Bentar lagi dia kan mau ujian akhir

Inggih, mas... nanti coba aku ajak dia bicara..

Di bawah pohon asem yang rindang, sepasang suami istri itu menikmati kebersamaan berbalut kehangatan mentari.


======================================***===================================


Siang yang terik, tak membuat langkah gadis cilik bertas biru muda itu melemah. Rasa khawatir dan penasaran, mengalahkan tetes peluh yang membasahi seragam merah putihnya.

Intan, sahabat sekaligus teman sebangkunya tidak masuk sekolah hari itu. Padahal pagi harinya, Fida masih sempat menerima sebuah telepon dari Intan yang mengingatkan untuk membawakan buku catatannya yang dipinjam Fida seminggu lalu.

Intan sakit apa ya... ?” hati Fida bergumam sambil mengingat – ingat letak rumah Intan. Ia percepat langkah kecilnya, mengingat ijin yang ia sampaikan pada ibu melalui telpon umum di depan sekolah tadi, ia tak akan pulang terlampau siang. Kurang satu blok lagi, lalu terhamparlah deretan rumah megah yang bentuk bangunannya nyaris serupa. Hanya warna dan tatanan taman di halaman depan yang membuat masing – masing rumah itu terlihat berbeda.


Rumah megah bercat hijau dan berpagar tinggi itulah rumah Intan. Tiga kali sudah Fida coba memencet bel di balik pagar, namun masih belum ada tanggapan. Ketika dia membalikkan badannya dan memutuskan untuk pulang, mbak Rat pembantu di rumah itu tiba – tiba keluar dan memanggilnya.

Maaf ya non... Mbak lagi nemenin non Intan. Dia gak mau makan, mana badannya panas juga.” mbak Rat sedikit tergopoh sambil membuka gembok pagar.

Intan sakit apa to, Mbak ? Tadi pagi lho, masih telpon aku...


Mbak ga tahu juga, non... Tiba – tiba mau berangkat sekolah tadi, badannya panas terus menggigil. Mbak takut, ibu bapak juga lagi ga ada di rumah..” terlihat jelas kekhawatiran di wajah perempuan muda itu.


Lho?! Tante sama om ke mana ? Tapi tahu kan, Mbak kalo Intan sakit ?” pertanyaan Fida yang terakhir ini, tak sempat terjawab oleh mbak Rat. Karna langkah mereka sudah sampai di tepi tempat tidur Intan yang kini sedang tergolek pucat di balik selimut lumba – lumbanya. Fida menempelkan punggung tangannya ke dahi Intan, seperti yang pernah diajarkan ibunya. Benar. Badannya panas sekali. Kenapa dibiarkan di rumah saja ? Apa dokter sudah datang kemari dan memeriksanya ? Hati Fida bertanya – tanya.


Bunda... Bunda....” sesekali mulut Intan mengingau dan memanggil bundanya. Fida tampak begitu sedih melihat kondisi sahabatnya itu. Tapi ia juga bingung, karna tak ada yang mampu ia lakukan. Beberapa kali ia memalingkan kepalanya ke arah mbak Rat, berharap dia segera melakukan sesuatu. Tapi beberapa kali pula, yang ia lihat adalah mbak Rat yang bermata sayu dan terus gelisah. Fida tahu, mereka berdua kini berada dalam kebingungan yang sama.

Ibu sudah coba mbak telpon tadi pagi non.. Kata ibu, non Intan suruh istirahat aja dan ga perlu masuk sekolah hari ini. Mbak juga dipesenin ibu buat kasih non Intan obat penurun panas yang ada di laci obat. Tapi sampe sekarang, panas non Intan semakin menjadi....” mbak Rat akhirnya bercerita.


Sudah coba telpon tante lagi mbak ? Kenapa ga dibawa ke dokter ?


Habis Duhur tadi nomer ibu tiba – tiba ga bisa dihubungi, non... Mbak juga ga berani bawa non Intan gitu aja. Takut dikira lancang, non....


Tapi kasihan Intan, Mbak....


Iya non, mbak tahu.. tapi mbak musti gimana lagi non... Mbak bingung....” pipi perempuan muda itu mulai basah oleh air mata.

Ya Allah.. apakah tante Ria tidak khawatir dengan kondisi putrinya ? Apakah saat ini dia benar - benar sibuk hingga tak sempat walau hanya menanyakan kabar putrinya yang sedang sakit ? Kasihan Intan... Beri ia kekuatan ya Allah.... Gadis kecil itu terus berdoa dalam hatinya.


======================================***===================================


Lama, perempuan separuh baya itu menekuri serakan kertas di atas tempat tidurnya. Tumpukan kertas yang bukanlah lembaran – lembaran biasa. Karna lembaran – lembaran itulah yang mampu menceritakan perjalanan sekaligus perjuangan wanita ayu yang telah 10 tahun menyandang gelar ibu itu. Diamatinya lagi lembar demi lembar yang merekam namanya begitu jelas. Amaliyah.

Beriring air mata yang terus mengalir, waktu seakan berjalan mundur. Mengantarnya menapaki setiap jengkal kisah di masa lampau. Elu, sanjung, dan puji terasa masih begitu lekat di ingatannya. Ketika beberapa kali dia berhasil mengharumkan nama almamaternya melalui berbagai kompetisi ilmiah. Riuh tepuk tangan penonton, juga terasa masih begitu nyata. Saat semangat dan kegigihannya beberapa kali mampu memenangkan berbagai kejuaraan bulutangkis. Bidang sastra dan musik pun pernah dicicipinya. Amah remaja, memang sangat mencintai aktivitas.


Hingga tatapannya tertahan, pada selembar kertas yang tadinya terlipat rapi dalam amplop. Sebuah surat pemberitahuan tentang keberhasilannya menembus seleksi program beasiswa magister sains di Australia. Bersamaan dengan itu pula, muncullah bayangan Hasan suaminya diikuti Fida, Rio dan si kecil Ari yang bermanja – manja dalam gendongannya. Air mata itu semakin deras mengalir. Teringat kembali ia pada pertanyaan putri sulungnya beberapa hari lalu. Sebuah pertanyaan yang membuatnya kini berada di tengah kebimbangan yang teramat sangat. Adakah ia telah salah membuat keputusan di masa lalu ? Ia telah melukai dan mengecewakan hati bidadari kecilnya. Itu yang terus menghantui benak dan batinnya.


Masih terekam jelas di ingatannya, segala cita dan ambisi yang begitu ingin diraihnya. Amah kecil, selalu berkata lantang setiap ada yang menanyakan tentang apa cita – citanya. ”Aku ingin menjadi ilmuwan !” Dia pun dengan yakin mengatakan, bahwa tak sedikitpun takut kepalanya akan menjadi botak karena harus menyandang gelar profesor. Sungguh Amah kecil yang riang, lincah, dan penuh ambisi.

Fragmen demi fragmen kisah hidup, ia lalui nyaris dengan sempurna. Keluarga yang begitu mencintainya, prestasi yang gemilang, hingga tibalah saat di mana dia harus memutuskan tuk menyempurnakan separuh diennya.


Hasan, lelaki yang ia kagumi karena akhlaq, kecerdasan, dan kelembutan hatinya. Lelaki yang pertama kali dilihatnya saat memasuki kampus kuning itu. Salah satu pengajar yang menjadi idola para mahasiswa, karena kepandaian dan kerendahan hatinya. Awalnya, Amah hanya menjadi begitu tertarik dan antusias pada mata kuliah Psikologi yang dibawakannya. Tapi waktu, justru membawa dan menyuburkan benih – benih kekaguman dalam hatinya menjadi cinta yang sesungguhnya. Hasan lah lelaki yang akhirnya ia pilih tuk mendampingi hidupnya.


Keputusan untuk menikah, adalah perjuangan batin yang dirasakan begitu berat oleh Amah. Berbagai cerita dan pengalaman sahabat, membuatnya yakin bahwa menjadi seorang istri sekaligus ibu, bukanlah sesuatu yang mudah. Peran mulia di mana melalui tangan merekalah, keberlangsungan rumah tangga dan akhlaq turun temurun digantungkan. Tak salah jika ada pepatah yang mengatakan, bahwa kejayaan suatu bangsa tak lepas dari andil seorang wanita, seorang istri, seorang ibu.

Sungguh tak mudah saat dia harus merelakan semua ambisi dan cita – citanya, semua asa serta mimpi yang selama ini telah ia renda nyaris begitu sempurna, dan memutuskan untuk benar – benar mengabdikan dirinya pada keluarga. Murni menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga. ”Aku hanya tak ingin, berbagi nikmat dan pujian dari suami untuk orang lain. Saat dia tak menemui hidangan tersedia di rumah, karna aku masih sibuk menyelesaikan pekerjaanku di kantor. Hingga akhirnya dia harus makan dan membeli masakan di luar rumah. Istri macam apa diriku, jika membiarkan dan tak mampu menyambut suamiku yang lelah setelah bekerja seharian, walau hanya dengan dandanan sederhana dan sesungging senyum manis.Aku pun tak rela, jika cinta dan kasih yang menaungi putra – putriku harus mengalir dari hati selain milikku.... ” Itu yang selalu ia katakan, setiap ada yang kembali menanyakan dan membuatnya ragu pada keputusannya. Ya, Amah telah rela, ia benar – benar ikhlas mengorbankan seluruh mimpi dan ambisinya, demi keluarga, suami, dan anak – anaknya.


”Bukan ibu tak ingin membuatmu bangga, nak.... Sungguh ibu ingin memberikannya secara sempurna. Bukan sekedar materi, puja dan puji, maupun kuasa yang tinggi. Tapi Ibu ingin kau bangga, karna mendapat cinta kasih yang utuh dan tulus dari sesosok wanita sederhana yang kau panggil ibu.... ” Amah larut dalam buai masa lalu dan perih batinnya karena merasa telah mengecewakan buah hati tercinta. Hingga dering telepon dari ruang keluarga membuyarkan semuanya....

========================================***=================================


Fida terus menatapi tetes demi tetes yang keluar dari botol infus dan mengalir pada nadi Intan sahabatnya. Mulutnya tak henti mengucap doa, agar teman sebangkunya itu bisa segera sembuh dan kembali bercanda dengannya. Positif thypus dan demam berdarah, begitu kata dokter yang memeriksa Intan tadi. Terlambat sedikit lagi saja, mungkin Intan tak akan tertolong. Kadar trombositnya sudah mencapai 20.000, sangat jauh dari batas normal. Dokter pun langsung berinisiatif untuk melakukan transfusi darah melihat kondisi tersebut

Sabar ya,nak... ayuk terus berdoa buat Intan. Semoga Allah memberinya kekuatan...” wanita bergamis abu – abu itu membelai lembut kepala Fida.


Iya, Bu... Fida cuma kasihan lihat Intan. Waktu sakit, biasanya sedikit – sedikit aku manggil Ibu. Minta disuapin, minta ditemenin, tapi Intan sekarang...... ” Fida mulai menangis di dekapan ibunya.


Bundanya Intan ndak ke sini, karena memang beliau belum tahu. Mungkin baterai handphonenya habis, jadi ndak bisa dihubungi. Tapi percayalah pada ibu, begitu beliau tahu, pasti akan langsung datang ke sini. Lagian ada Fida dan ibu kan di sini, Intan ga sendirian...” lembut wanita itu membesarkan hati putrinya.

Fida merasakan kebahagiaan yang begitu melimpah setiap ia berlindung, merasakan hangat peluk dan dekap ibunya. Hati kecilnya mengucap syukur yang tak terkira, karna kapanpun ia mau kebahagiaan itu selalu mampu ibunya hadirkan. Rasanya jarang bahkan hampir tak pernah, Ibu tak ada saat Fida benar – benar membutuhkannya. Ibu selalu ada, tak pernah absen maupun bolos dari setiap tawa bahkan air mata Fida.

Itu pula yang akhirnya membuat Fida berinisiatif menelpon ibunya siang tadi. Resah dan rasa khawatirnya pada Intan, membuatnya tak peduli sekalipun nanti harus dibilang lancang telah berinisiatif seperti itu. Satu hal yang sangat diyakininya. Intan sedang sakit parah dan harus segera dibawa ke rumah sakit.


Hari itu, Fida belajar dua hal berharga. Tak selalu apa yang terlihat indah dan manis, begitu pula rasa sejatinya. Fida sering sekali merasa iri pada Intan. Gadis tunggal itu seakan punya segalanya. Rumah yang indah bak istana, orang tua yang sukses, berbagai macam mainan yang menghibur, dan keindahan – keindahan lain yang sering membuat Fida gigit jari. Tetapi di balik semuanya, Intan justru sangat kekurangan kasih sayang dan perhatian bahkan dari kedua orang tuanya sendiri. Fida benar – benar diajarkan bagaimana caranya untuk selalu mensyukuri apa yang dimiliki.

Hal berharga kedua yang didapat Fida adalah ia disadarkan tentang permata mulia nan indah yang ia miliki dan beberapa waktu lalu sempat ia remehkan keberadaannya. Ibunya. Wanita sederhana yang hanya seorang ibu rumah tangga itu, diyakini Fida justru jauh lebih hebat dan keren dibanding ibu siapapun. Fida menyesal telah salah menilai ibunya. Tangisnya semakin deras, peluknya pun semakin erat. Hatinya tak bisa memungkiri, betapa ia menyayangi bidadari kehidupannya itu.


Ibu dan Fida tinggal di rumah sakit hingga malam harinya. Mereka tak tega meninggalkan Intan sendirian sore tadi. Bunda Intan sendiri baru tiba di rumah sakit jam 9 malam. Tangis dan raut penyesalan tergambar jelas di wajahnya. Setelah memastikan semuanya jauh lebih tenang, ibu segera mengajak Fida pulang. Mengingat esok bukan hari libur, dan Fida harus bersekolah seperti biasanya.


=======================================***==================================


Malam itu, Fida tak bisa langsung merebahkan lelahnya di peraduan. Ia baru ingat, tugas menulis tentang ibu seminggu lalu, harus dikumpulkannya besok. Dipaksanya mata dan tubuh yang lelah untuk tetap terjaga hingga ia tetap dapat duduk tegak di kursi belajarnya. Beberapa bola – bola kertas berserakan di atas meja dan lantai kamar. Remasan kertas yang menjadi saksi betapa Fida telah begitu salah menilai ’profesi’ ibunya. Fida melihat tak ada yang istimewa dari profesi ibu rumah tangga, tak ada yang mampu ia banggakan. Hingga akhirnya, ia harus mengarang berbagai profesi hebat tentang ibunya. Tapi, setiap ia akan mengakhiri tulisannya, hati nurani itu berteriak seakan tak bisa terima dengan semua kebohongan yang ia buat. Dan entah telah berapa puluh tulisan yang ia buat, namun selalu berakhir dalam remasannya dan tergeletak sebagai bola – bola kertas itu.


Itu kemarin. Saat waktu belum pertemukan ia dengan sebuah kisah hikmah yang mampu mengajarkannya tentang arti bersyukur. Selembar kertas putih berukuran folio dan sebuah pena di tangan kanan, telah siap mengantar hati Fida yang tak ragu lagi tuk berkisah tentang betapa hebat ibunya. Tak ada lagi keengganan ataupun rasa malu di hati gadis kecil itu. Semua tumpah, jari jemarinya pun terus menari......


=~~~=*=~~~=*=~~~=*=~~~~

Tatkala hijaunya dedaunan tak kuasa lagi jemput gersang ilalang,

senyummu hadir sebagai hujan....

Ketika derasnya kehidupan, goyangkan jiwa dari keistiqomahan,

kelembutanmu selaksa angin yang dengan sabar bawa mendung pergi perlahan...

Di tanganmu ibu... yang tiada menjadi begitu luar biasa.....

Dan jika saja bukan hanya Allah Rabbku, satu – satunya Tuhan yang berhak di puja,

kuingin menyembah dan bersujud di kakimu....

=~~~=*=~~~=*=~~~=*=~~~~


Fida... bangun, nak... Sudah subuh....” terdengar ketuk dan panggilan lembut dari luar kamar. Pintu perlahan terbuka, dan muncullah sosok ibu yang masih berbalut mukena. Dihampirinya buah hati yang ternyata begitu nyenyak terlelap di atas meja belajar. Selembar kertas berukuran folio yang telah terisi oleh tulisan, tergeletak rapi di sisinya.

Kau pasti bekerja keras semalam, nak... Hingga tak sempat memindahkan tubuhmu yang lelah ke tempat tidur....” dipandangnya gadis kecil yang begitu manis terlelap itu dengan penuh iba.

Sebenarnya ibu ingin segera membangunkan Fida, karena adzan Subuh sudah lewat beberapa menit lalu. Namun niat itu terurungkan oleh rasa ingin tahunya pada goresan pena di atas kertas yang tergeletak di sisi putrinya. Dipungutnya kertas itu perlahan,



Pernahkah kalian dengar tentang kisah Abunawas yang cerdik ? Yang selalu bisa memecahkan setiap masalah dengan kelihaian akalnya. Ibuku, jauh lebih hebat daripada itu.

Pernahkah juga kalian tahu tentang kisah Rama dan Shinta dalam wayang jawa ? Tokoh Shinta yang digambarkan sangat lembut dan cantik serta dicintai siapapun yang mengenalnya. Percaya atau tidak, namun aku sangat yakin, ibuku jauh lebih anggun, lebih lembut dan lebih cantik daripadanya.

Tentu kalian juga pernah kan, mendengar kisah Samson manusia kuat dan perkasa itu? Ah, tapi ibuku jauh lebih kuat dan tangguh daripada sekedar Samson.

Kalian tentu bertanya – tanya, lantas seperti apa dan siapakah ibuku ? Manusia mulia yang membantuku hadir di dunia dalam separuh hidup matinya itu, adalah Amaliyah. Ya, Amaliyah, itu saja.

Sebuah nama yang jika mendengarnya saja, hati ini begitu tentram. Sebuah nama yang tak pernah mengeluh saat lantai yang telah susah payah dibersihkannya, kukotori lagi dengan kenakalanku. Sebuah nama yang tak pernah absen menyambutku sepulang sekolah dengan senyumnya, sekalipun muka cemberut dan masam karena lelah yang lebih sering kutunjukkan untuk membalasnya.

Sebuah nama yang begitu sering membohongiku dengan senyumnya, walau sebenarnya aku tahu dia baru saja reda dari tangisnya. Sebuah nama yang selalu mengajarkanku banyak hal dan meyakinkanku tuk tidak pernah menjadi wanita yang biasa – biasa saja.

Ibuku bukan dokter. Ia pun bukan seorang guru, profesor, wartawan, pengusaha, ataupun segala profesi hebat lainnya. Namun, dialah ibuku... wanita terindah yang mengabdikan dirinya utuh bagi keluarga. Aku bangga memilikinya, dan jangan pernah tanyakan seberapa besar rasa sayangku padanya.....



Air bening itu deras mengalir hingga membasahi sebagian mukena putihnya. Hati – hati, ditaruhnya lagi perlahan kertas yang baru saja ia baca, di sisi putri kecilnya yang masih lelap tertidur. Lembut, ia kecup kening gadisnya itu. Tak kuasa pula ia tahan hasratnya tuk memeluk buah hati yang ia sadari semakin tumbuh beranjak remaja.

”Bersandarlah.... bersandarlah, Nak... bahu dan hati ini akan terus ada untukmu, hingga kapanpun.....”, hatinya berbisik.



Alhamdulillah, yang telah bersarang dan berloncatan dalam imaji dari November 2009,

akhirnya kutuntaskan pula di Jember, 25 Januari 2010

Kupersembahkan untuk siapa saja yang pernah atau sedang menjadi putri, ibu, dan calon ibu