Kamis, 14 Februari 2008

Sampul

"Don't judge a book by its cover! "

Kemaren habis diingetin lagi tentang itu. Dan mungkin benar.... sejauh perjalananku hingga kini, baik buruknya seseorang, lebih dominan aku putuskan dari apa yang aku lihat... dari apa yang aku dengar.... Terlalu cepat menilai sesuatu, ya..mungkin itulah aku.
Tak bisa dihindari, kebodohan dan kesalahanku itulah, yang membuatku jadi begitu sering kecewa alias dikecewakan, bahkan terluka.

So.. bagaimana kita harus menilai seseorang. Secara.. manusia itu kan makhluk 5 dimensi (kalo patung 3 dimensi, berhubung manusia bisa bergerak, ngomong dll. jadi dbkin 5 aja :D ), yang terlihat konkrit keberadaannya secara fisik. Setiap kita akan mengenal seseorang pun, mau tak mau fisik yang harus dihadapkan atau dipertemukan. Jadi menurutku, juga tak salah jika kita tetap berkesempatan untuk menilai seseorang saat itu.
Entah sebatas, ooo dia cantik, rambutnya indah, tutur bahasanya halus... dll....
Tapi... jangan lantas jadikan detik itu, sebagai waktu penarik kesimpulan dan meletakkan kepercayaan yang berlebih atau bahkan sedang - sedang saja. Bukankah semua butuh waktu?
Biarkan semuanya mengalir dulu secara alami, karna rambut bagus bukan jaminan hati juga tulus ;)

"Bapak itu ternyata nyebelin poolll... lho Dek..! Mo nglobi segala macam, susaaah.... pokoknya tentang birokrasi repot deh kalo ma tuh orang. Sudah gitu, orangnya agak genit kalo sama mahasiswi. Masak, pas cwok2 yang minta TTD / dana ke beliau, selalu diperumit. Begitu cewek, eh... langsung mulus......
Belum lagi kalo ngmong sama cewek selalu gimanaaa gitu nadany..... "

Takjub! Itu yang pertama pasti aku rasakan. Seorang pria separuh baya dan berwajah teduh, cukup rupawan, garis2 kuat di wajahnya menggambarkan sosok seorang bapak yang baik, bahkan aku sempat menilai kalo orang yang begitu kalem ini, cukup religius alias seorang ustadz.
Semua buyar, saat percakapan semalam terjadi. Dan semua ungkapan di atas ttg beliau, disambut dengan cekakak tawa saat aku sampaikan pada mereka.

Yah...begitulah aku, terlalu mudah bahkan sering tertipu oleh segala sesuatu yang kunilai. Terlalu polos dan lugukah diriku? heheheheheh....... :P

Kita selalu bersembunyi
dari wajah kita sendiri
kita membutuhkan topeng
karna dunia hanya memenangkan dusta
Andrei Aksana,
* yang masih harus banyak belajar... >.<

Selasa, 12 Februari 2008

Damai bersama - Mu


Aku termenung, di bawah mentari
di antara megahnya alam ini
menikmati indahnya kasih-Mu,
kurasakan damainya hatiku......

Sabda-Mu bagai air yang mengalir...
basahi panas terik di hatiku,
menerangi semua jalanku
kurasakan indahnya kasih-Mu....

Jangan biarkan damai ini pergi
jangan biarkan semuanya berlalu
hanya pada-Mu Tuhan,
tempatku berteduh
dari semua kepalsuan dunia..

Bila kujauh dari diri-Mu
akan kutempuh semua perjalanan
agar selalu ada dekat-Mu
biar kurasakan lembutnya kasihMu

== chrisye - Damai bersamaMu ==

Rabu, 06 Februari 2008

Cintaku dalam Hatimu....

==================================== ============================

Dia masih sibuk di dapur, dengan daster bunga kecil dan rambut dijepit biasa sangat alami. Senyum tulusnya, tatapan penuh kasihnya, baru pagi ini aku merasakan dia betul-betul bidadari yang diturunkan untukku.
Pagi kemarin masih saja aku membuatnya menangis.
Sayur sop yang disajikannya agak kebayakan minyak, ya agak.. terlihat agak mengkilat, agak keruh. Sementara telur dadarnya terlihat irisan bawang merah kecil menyembul. Wajahku menampakkan protes, mukaku agak tersungut.
“kenapa bang … ” sapanya halus, sambil sesekali menyuapi bayiku yang masih 6 bulan.
Tanpa bicara aku sodorkan telur dadarnya yang masih tampak irisan bawang merah.
Bahkan dengan kesal aku mencidukkan sop sambil komentar
“Ini sop apa sayur lodeh sih ?”
bidadariku itu hanya diam
“Aku buatkan telor ceplok ya bang ?”
suaranya sedikit bergetar.
“Ngga usah… aku agak kesiangan … ”
Meski begitu aku makan dengan lahap, karena aku tahu masakan istriku paling top untuk lidahku.
Bidadariku yang dulu kulamar untuk mendampingiku seumur hidup itu adalah teman sekolahku yang sudah aku kenal lama. Kepribadiannya yang dewasa bahkan sifat keibuannya, kesabarannya, kepandaiannya memasak serta tak kalah penting sifat religiusnya yang membuat aku semakin mantab untuk menikahinya.
“Aku berangkat dulu..dek.. ” pamitku sambil melangkah kedapur, dimana istriku masih menggendong satria kecilku sambil mencuci piring.
Aku mendekatinya, kusenggol bahunya.
“Adek.. abang berangkat….” Dia seperti tergagap dan segera menoleh untuk mencium tanganku, kebiasaan dia yang membuatku semakin mencintainya. Tapi apa ini tanganku tiba-tiba basah. Kucoba perhatikan dia setelah selesai aku mengecup pangeran kecilku dalam dekapan bidadariku.
“Adek sakit… ? ”
Dia hanya menggeleng lemah, wajahnya yang pucat mencoba tersenyum.
“kalo adek sakit, entar abang antar ke dokter… ”
Dia kembali menggeleng bahkan senyumnya berusaha semakin dilebarkan, buru-buru dia mengangkat ransel kesukaanku, teman kerjaku yang paling setia untuk dibawa ke sepeda motor.

“Assalamualaikum…”
akhirnya aku pamit, sambil mentowel pipi tembem pujaan hatiku, yang mencoba mengoceh.. “bi..bi..abi..”

Dalam perjalanan pikiranku berkecamuk hebat.

“Benarkah bidadariku tadi menangis..? aku yakin itu air mata !!! ada apa ? apa aku menyakitinya ? yang mana ? apa karena sikapku tadi waktu makan ? ahh…”
Pikiranku semakin berkecamuk. Dan mencoba mengingat-ingat kejadian. Yah memang tidak satu atau dua kali aku memberi komentar tidak sedap soal masakannya, bukan .. bukan karena masakannya tidak enak, aku yakin sangat sedap.. aku hanya menggoda atau mungkin mengingatkan. Bukan…bukan mencelanya… oh bidadariku itukah.. karena itukah ?
Atau karena tadi malam, ketika aku mencari berkas-berkasku yang tidak ketemu padahal aku yakin menaruhnya ditempat biasa, dan ternyata memang di beresin oleh bidadariku, karena si pangeran kecilku menangis ingin main-main computer kerjaku dirumah, karena takut rusak maka diamankan oleh dia, ya.. namun cara mengamankannya itu, menaruh berkas-berkasnya tidak rapi, hingga aku sulit mencari. Aku hanya menegurnya.. ? aku bukan bermaksud memarahinya, ya mana mungkin aku tega memarahi bidadariku..

Siang itu, aku ditugaskan untuk SPJ lokal alias keluar kantor tapi masih dalam kota dengan sahabatku Doni, jam makan siang dia mengajakku mampir dirumahnya yang kebetulan dekat dengan lokasi Kerja kami diluar kantor.
Istrinya riang menyambut kami dipintu.
“Zra… anggap rumah sendiri..” sapa Doni tak kalah riang, aku tersenyum lebar. Kutapaki tiap jengkal rumahnya.
Rumahnya sedikit lebih lebar dengan rumahku, tapi yang ini bangunannya lebih dominan, hampir setiap jengkal tanahnya terisi bangunan. Halaman depan rumah doni yang sempit hampir penuh disemen tanpa lahan bercocok tanam, ada tanaman itupun hanya 2 pot di pojok depan saja selebihnya lahan kosong dengan 2 bangku untuk duduk santai. Aku membandingkan dengan rumahku, rumah mungilku meski mungil tetap banyak lahan untuk berkebun, lahan depan ada kebun mini yang penuh dengan bunga-bunga cantik, lahan samping dimanfaatkan istriku untuk apotek hidup, bahkan didalam pun disejukkan dengan tanaman hidup media air. Cantik sekali !! Dimana-mana mata sejuk memandang.
“Zra, ayo masuk, langsung aja jangan sungkan-sungkan. ”
Doni menggiringku keruang makan.
Kembali tatapanku menyapu ruangan, ruang tamu, ruang tengah sebenarnya lebih lebar dari rumahku, tapi apa yang aneh ya ? hingga nampak terlihat lebih sempit, berbagai mainan si Alif - jundi pertama Doni – berserakan, tumpukan baju, juga buku jadi satu. Alat Elektronika yang full mengisi seluruh ruangan, berbagai fasilitas Lux tidak tertata apik. Aku jadi ingat rumahku, ruang tamu hanya ada seperangkat kursi tamu kecil dengan meja kecil disudut ruangan ada bunga hidup sementara setelahnya yang hanya dibatasi rak bolak-balik dengan modifikasi unik, hingga kesan ringan di mata. TV berada dibalik rak itu disampingnya ada buku-buku bacaan istri serta buku-buku koleksiku. penataannya yang unik membuatnya hiasan tersendiri. di ruang tamu yang kesannya dibuat agak lebih tinggi dari ruang tamu hanya di gelari karpet dan bantal besar-besar, kata istriku biar Azam jundi pertama kami bisa main-main lega. dan ruang makan yang akses langsung ke kebun mungil apotek hidup membuat selera makanku selalu meluap. Semua ruang hampir terlihat lega, terang dan sejuk. Sungguh hanya tangan-tangan telaten yang mampu menyulapnya menjadi seperti itu.
“Zra.. ayolah jangan malu-malu lekas ambil makanannya …”
Ops, rupanya aku terlalu banyak melamun, astagfirullah, kenapa aku jadi membanding-bandingkan begini. Segera aku sendokkan makanan kepiringku dan melahapnya, maklum jam makan siang sudah agak terlewat lama, perut sudah tidak mau berkompromi.

“Bang Azra… maaf loh kalo masakannya mungkin ngga enak.. maklum belajar ngga lulus-lulus… tulalit kalo soal masak memasak… ” tiba-tiba istri Doni sudah muncul dengan membawa buah-buahan.
“hehehe..istriku ini kayaknya perlu belajar banyak sama istrimu Zra… masakannya sih membuat aku merindukannya, tapi perutku ini kadang agak protes.. ya kan saying ? …jangan kesalon aja.. kapan-kapan silaturahmi ke Ibu Azra.. klklklklk ”
Doni berkata sambil melirik manja ke Istrinya.

Tiba-tiba hatiku nyeri, wajah bidadariku terbayang, ada kerinduan yang tiba-tiba menyesak ….ohh bidadariku … suami macam apa aku ini, selalu berkomentar tidak puas dengan penghargaanmu, dengan pengabdianmu, dengan segala upayamu, selalu saja aku menyikapinya dengan negatif, harusnya aku begitu beruntung mempunyaimu, walau selama ini lebih sering kurang yang aku berikan, engkau mampu menyulapnya menjadi sangat cukup, bahkan berlebihan untuk kami.
Sekilas aku menatap wajah istrinya Doni, cantik, semua yang dipakai sangat match mulai dari kerudung, warna lipstick hingga bajunya.. hehe meski aku ngga menampik bahwa itu terkesan sedikit glamaour. Jadi ingat ketika hari pertama sejak aku dan istriku resmi menjadi suami istri, dia berdandan dengan semuanya matching bahkan dandanannya agak sedikit tebal.
“dek.. mau kemana kondangan” kataku waktu itu
“ngga dirumah aja, mengantarkan abang ke kantor” jawabnya dengan senyum manja, dan aku tertawa ngakak, untuk kemudian memandangnya lama.
“jelek ah.. cantikan polosan .. ”
suer.. jujur memang istriku sudah cantik tanpa polesan, so untuk apa bermenor-menor ria bila tambah jelek. Dan bahkan sekarang untuk pagi-pagi berdandan seperti Istrinya Doni mana dia sempat, jundi kami akan terus merajuk tebar pesona didepan Umminya. Hmm tapi dibalik kesibukan itulah dia sangat cantik, sangat mempesona, pesona seorang Ibunya sangat kelihatan.
“ehemmm …. Zra.. kok melamum terus.. nampaknya benar Ma.. masakanmu ga enak.. Azra pasti sedang ingat masakan istrinya dirumah” Doni tersenyum mengerling ke Istrinya, yang dikerlingi turut tersenyum.
Oh ingin aku segera lari dari situ untuk pulang dan mengucapkan beribu maaf untuk istri tercintaku, tapi apa daya ternyata amanah pekerjaan ini harus membuat langkahku tertahan hingga larut malam.

Pagi ini, lama kutatap bidadariku.. dia masih saja sibuk, pangeran kecilku masih digendongannya, rengekan manjanya membuat bidadariku agak kerepotan.

Tatapku tetap tak mau lepas dari istri tercintaku, setiap tingkahnya seolah tarian bidadari yang indah. Senyumnya seolah guyuran air hujan di kemarau panjang. Kesibukannya seperti keindahan kupu-kupu yang terbang kesana kemari.
“Bang, air hangat sudah di kamar mandi, handuknya juga sudah ada, yang warna biru laut barusan adek cuci kemarin, jangan lupa hari ini jadwal abang keramas, samphonya juga udah aku siapin… katanya mau keluar kota lagi ya.. nih adek buatin Susu Jahe, biar capek-capeknya hilang … hehehe..cup..cup .. sayang.. aemm… ”
istriku berkata sambil terus membujuk buah hatiku dalam gendongannya. Aku masih menatapnya. Tidak ada respon dia menatapku. Aku terperanjat. Tatapan kami bersatu beberapa saat.
“Bang abang kenapa… ? ada yang aneh, cemot ya pipiku.. hmmm apa ..ooo… karena ini ya, dasterku kotor, tadi makanan si Azam… tumpah kena kakinya.. jadi gini deh…”
belum sempat suaranya habis, segera aku mendekat, kukecup keningnya.
“Dek, abang mencintaimu.. abang sayang sekali pada adek …hari ini abang cuti, kita keluar yuk jalan-jalan ke tempat kesukaanmu … ”
adindaku hanya menatapku kebingungan.

segera aku bergegas ke kamar mandi sambil melantunkan nasyid debu
“cintaMu dalam hatiku memenuhinya begitu…”

===//===
Ernie
Surabaya, 18 Juli 2005

*Top banget mbak Erni, habis baca ini aku jadi terharu biru, nangis bombay..... T_T

Jumat, 01 Februari 2008

-Gamang-

Nafasku beradu dengan ambisi yang serasa tak pernah mati....
Begitu banyak angan... begitu banyak mimpi....
namun ragaku tak acuh dan tak kuasa,
Lalu haruskah semua ini bermuara seperti lalu?
Bersinar..gemerlap.... lalu perlahan meredup dan pudar...

Ayolah hati.... sampai kapan kau akan terus mati suri?
aku sudah lelah didorong dan ditekan oleh egomu!
Tak sayangkah kau, pada detik yang harus mengalir percuma....
aku pun sebenarnya tak rela, jika semua asa musti terlupa

Bangun, ayo buka langkahmu!
kutahu kerikil di depan sana semakin tajam..
kulihat pula angin yang berhembus semakin kencang
tpi itu bukan alasan, bagi kita tuk acuh dari kosmos ini...

Ingat citamu...
ingat mimpimu....
ingat sederet harapanmu....
ingat pula cintamu....
perjuangkan mereka,
Berlombalah dengan mentari!

Biar ku di bilang angkuh!
Tak peduli ku dianggap gila!
Terserah apa kata mereka....
aku hanya tak ingin waktuku sia - sia........


P,01-02-08, -on vertigo-