Jumat, 31 Oktober 2008

Tentang Hikmah

Tak kan ada yang menyangkal bahwa “sehat itu indah”…
Kebahagiaan saat kau bisa berjalan dan lalui hari – hari dengan senyum tulus tanpa tersembunyi rasa sakit di baliknya.
Keceriaan saat kau bisa bebas berlari sekaligus tertawa, tanpa beban dan duka. Keindahan yang sempurna, saat siklus kehidupan selalu dimulai dan diakhiri oleh sebuah senyum spirit yang senantiasa menginspirasi.
Sedikit menyitir lirik dari sebuah lagu Opick yang berbunyi,
”bila mungkin ada luka coba tersenyumlah... bila mungkin tawa, coba bersabarlah....”

sedikit banyak memberi suatu bahan tuk bermuhasabah, bahwa tak ada senyum ataupun tangis yang abadi. Tuk itulah, selayaknya kita tidak dibenarkan tuk berlebihan dalam menyikapi setiap kondisi yang terjadi.
Senyum detik ini, belum tentu serupa dengan senyum detik berikutnya. Duka ataupun air mata saat ini, bukan berarti kesedihan yang tak berujung di masa selanjutnya. Mungkin ini juga salah satu jawaban tentang mengapa kita harus selalu zuhud dan mensyukuri setiap keadaan yang kita terima. Rendah hati dan ikhlas dalam menghadapi setiap kisah yang terukir dalam perjalanan hidup.

Hari itu, sama sekali tak terbayangkan, aku akan mengulang ”cerita” dari seorang sahabat dalam kehidupan nyataku. Sahabat yang baru saja pulih dari sakitnya dan kini mulai menjalani aktivitas normal seperti aku dan kawan – kawan yang lain. Sungguh tak pernah terbersit ingin, aku yang tergeletak di atas kasur dengan luka lebam di daerah pergelangan kaki hari itu. Sebuah musibah lebih tepatnya hasil kecerobohan telah kusemai. Peringatan keras untuk siapapun yang di rumahnya, asrama maupun kos terdapat tangga (lebih dari satu lantai) :
1. Dilarang maen HP waktu naik dan turun tangga
2. Dilarang ngelamun
3. Diharamkan berbincang apalagi bercanda dengan rekan, hingga tak menyadari apakah langkahnya telah memijak setiap anak tangga dengan benar.
Semua yang terpapar di atas, bersumber dari kisah nyata dan konkrit korbannya  Dan yang tersebutkan terakhir, adalah penyebab utama dari sakit yang aku rasakan saat ini.

Awalnya aku tak begitu khawatir dengan luka dan kondisiku pasca ”tragedi anak tangga” malam itu. Aku pun masih menyempatkan turun ke lantai dasar untuk mengikuti rapat persiapan Hari Listrik Nasional bersama rekan – rekan lainnya. Nyeri dan ngilu, hanya itu yang aku rasakan. Namun seperti biasa, aku selalu berhasil menahan dan menyembunyikan semua itu dari mereka yang menurutku tidak berhak untuk tahu.
Di tengah rapat, aku mulai merasakan ada yang tak beres dengan daerah pergelangan kaki sebelah kananku. Aku tak bisa menemukan mata kakiku. Karna saat aku mencoba meraba bagian yang sakit, bentuk pergelangan dekat mata kaki benar – benar tidak wajar. Aku coba memastikan dengan sedikit membuka kaos kakiku. Dan ternyata benar, yang kutemui.... adalah pergelangan kaki kananku yang membengkak di bagian mata kakinya. Melihat bentuknya yang sama sekali di luar kewajaran, ketakutan dan kekhawatiran mulai menghampiriku. Selesai rapat, aku bergegas kembali ke kamar yang terletak di lantai 4. Sekali lagi kupaksakan kakiku untuk melangkah, karna saat itu aku merasa masih mampu berjalan, walau jelas nyeri yang terasa membuat langkahku sedikit melambat dan tertahan.
Sampai di kamar, aku mencoba untuk tenang dan bersikap normal. Tak ingin ku semakin memperburuk suasana dengan membuat kawan – kawanku gugup maupun bingung. Perlahan dan sambil tersenyum setenang mungkin aku mencoba sampaikan apa yang baru saja terjadi. Ketakutan dan kekhawatiran yang sedari tadi mencoba tuk aku hindari, tak ayal tetap terjadi. Kawan – kawan panik, melihat kondisi kakiku yang semakin memprihatinkan. Bengkaknya, sudah seperti ibu – ibu hamil 9 bulan menurut mereka.
Syukur Alhamdulillah.... Heni, yang baru saja sembuh dari sakitnya, ternyata masih punya sedikit sisa obat yang lalu.
Atas saran seorang rekan, aku juga sempat merendam kakiku dengan air hangat dicampur garam. Menurutnya, itu cukup bisa membantu meringankan luka lebam dan bengkak.

Malam itu, menjadi malam pertama bagiku absen dalam apel malam. Lebih – lebih ini karena sakit yang menurutku cukup memalukan, karena begitu memperlihatkan kecerobohan dan kelalaianku, yakni jatuh dari tangga...... :P
Yang lebih menyedihkan, aku jadi susah untuk melaksanakan sholat secara normal. Aku harus melaksanakannya dengan duduk, karena kakiku masih begitu sakit saat kucoba untuk sujud dan duduk bersimpuh.

Singkat cerita, seminggu lebih telah berlalu. Berbagai ikhtiar pun telah coba kulakukan. Terimakasih tuk seorang kakak yang baik hati -moga Allah meridhoi stiap langkahnya-, yang sudah meluangkan waktu untuk menemani mencari tukang urut terdekat. Kawan – kawan di asrama yang merelakan motornya untuk kutumpangi sementara, saat berangkat kuliah. Terakhir, sempat membawa kakiku untuk ”difoto”. Sedikit terbersit kekhawatiran, karena bengkak yang ada, tidak mengalami perkembangan secara signifikan. Alhamdulillah, hasilnya untuk organ dalam semua normal. Kesimpulan dari dokter, jaringan lunak yang mengalami kerusakan. Untuk pulih, memang membutuhkan waktu yang lumayan lama. Intinya, tetep harus sabar dan telaten.

Fiuuuh..... tak ada yang tahu bagaimana mentari terbit esok hari. Dan tentunya tak akan ada pula yang pernah bisa menerka, seperti apa hari – hari kita disuratkan. Mengeluh dan meratap memang fitrah kita sebagai hamba sumber segala kelemahan. Tapi buat apa dilakukan, jika itu hanya semakin memberatkan hati dan tak menyudahi masalah.
”Percaya dan yakin sajalah... bahwa di balik setiap kisah pasti terkandung hikmah.”

Senin, 20 Oktober 2008

Elegi

Wahai hamba Allah yg hingga kini, begitu aq kagumi...
Sungguh tak pernah terbersit dalam inginku,
Tuk menjadi jauh dari senyum dan tawamu...
Namun aku rela, jika dengan itu, kelak bisa kumiliki senyum dan tawa itu dengan utuh..

Duhai seseorang yang kuharapkan menjadi imam hidupku,
Kutahu ini bukanlah ssuatu yang mudah tuk kita lewati..
Namun yakinkan diri..
Allah slalu tahu apa yang tersembunyi di balik hati, dan ridho-Nya.. Itu yang kita cari...

Wahai seseorang yang slalu hadir dalam doa - doaku,
Tak pernah terhapuskan namamu dari sujudku..
Dan insyaAllah akan slalu seperti itu..
Jika kau tanyakan, 'hingga kapan',
Sejatinya hanya kau yang tahu & tentukan jawabnya..

Jika Allah mengijinkan, aku akan tetap menunggu...
Hingga "kata2" nan suci darimu,
Membuatku halal untukmu...

Minggu, 19 Oktober 2008

Try to come back ....

Air yang mengalir di pipiku, tak terasa semakin deras. Lantunan adzan yang masih terdengar, membuatnya semakin tak terkendali. SubhanAllah…. Kutemui engkau lagi…. Bulan paling special, bulan paling indah, bulan berlimpah maghfirah dan kasih sayang Allah. Ramadhan…. Hari ini dapat kusambut kau lagi dengan senyum dan air mataku.

Tak kuasa kutolak angan yang membawaku kembali ke masa 2 tahun silam. Saat Ramadhanku juga kulalui seperti saat ini. Tak ada es buah favorit buatan bunda ataupun sambel bajak yang selalu hadir di menu buka puasa. Kembali kulewati Ramadhanku di perantauan….

Dan kota Malang, seakan berjodoh denganku. Karna kini hingga insyaAllah 5 bulan ke depan, akan kulewati hari – hari baruku di sana. Sebuah tes seleksi beasiswa pendidikan ikatan dinas, berhasil kulalui. Dan kini, bersama 277 rekan lainnya, kami akan ukir sebuah kisah baru.

Di sebuah asrama yang cukup sederhana milik universitas negeri di Malang kami tinggal. Layaknya siswa yang sedang menjalani pendidikan, hari – hari kami penuh dengan tata tertib dan aturan. Kegiatan berawal saat kami harus membuka mata di pukul 04:00 setiap harinya. Antre kamar mandi sudah menjadi rutinitas. Siapa yang paling pagi bangun, dial ah yang berhak akan air dalam bak yang masih berlimpah.

Pukul 05:00 senam pagi dimulai. Berangkat dari keterpaksaan karena kehadiran bapak – bapak pelatih & pembina jasmani dari DODIKJUR Malang, hingga kini menjadi sesuatu yang begitu aku nikmati bahkan butuhkan.

Kegiatan kuliah berlangsung dari pagi (pukul 07:00) hingga sore hari (15:15). Dan di malam hari tepatnya pukul 21:00, rutinitas apel malam harus kami laksanakan. Tentunya didampingi oleh bapak – bapak pelatih dan pengawas dari DODIKJUR lagi.

Begitulah keseharianku. Tak pernah lepas dari apel, baris berbaris, sikap dan teriakan sigap, aturan dan tata tertib yang mengikat, yang di awal tampak begitu aneh namun kini tlah begitu membudaya dan biasa. Dan dari sini kusadari satu hal, menjadi disiplin dan teratur itu tidak mudah…..

Kamarku di asrama terletak di lantai 4. Lantai teratas dari asrama yang kami tempati. Dan sepertinya ini yang nantinya akan menjadi alasan utama, jika saat aku pulang ke kampung halaman, bundaku bertanya tentang kaki dan betisku yang semakin membesar. Sangat masuk akal, mengingat dalam sehari, aku bisa naik turun tangga lebih dari 5 kali.

Dalam satu blok, aku tinggal bersama 6 rekan lain yang tentunya bernasib sama denganku, jauh dari rumah…

Aku akan mulai dari gadis manis berkacamata asli Tuban. Namanya Heni. Perawakannya kalem dan sangat keibuan. Yang menarik darinya adalah saat dia berbicara. Bahasa Indonesianya sering tercampur baur oleh bahasa dan logat Jawanya yang begitu kental. Ibu yang satu ini, juga memiliki hobi yang sering membuat kami kawan – kawannya, terkagum – kagum. Bagaimana tidak, dia bisa tidur pulas dalam berbagai kondisi. Saat sedang berdiri sekali pun! “Namanya ngantuk ya gimana lagi…..” itu yang sering dijadikan dalih pembelaan dirinya. Kami pun beberapa kali sempat memanfaatkan hobi uniknya itu, dengan keusilan dan kejahilan kami. Hehehe.. maafkan kami ya, Bu….

Aku pribadi, banyak belajar darinya. Sikap nrimo dan ikhlas dengan keadaan, ya itulah yang membuatku iri dan ingin menjadi sepertinya. Tak jarang pula dia berbagi tauziyah – tauziyah ringan dan segala hikmah tentang kehidupan yang ia tahu. Oh iya, satu lagi yang membuatku kagum padanya, yakni semangatnya. Saat dia tahu bahwa ada ‘sesuatu’ yang tidak dia mengerti dan kuasai, sebisa mungkin dia akan mencari tahu tentang ‘sesuatu’ itu hingga ia benar – benar mengerti.

Yang berikutnya adalah dua gadis Banjar yang memiliki kepribadian begitu kontras. Nurul yang begitu tertutup dan sedikit pendiam, dan Ries yang begitu riang, rame + suka bikin ulah. Yang kusebutkan terakhir ini, juga merupakan yang termuda usianya di antara kami berlima.
Ries dan Nurul sering membuat kami bengong bak sapi ompong, saat harus mendengar percakapan mereka yang begitu cepat dan sama sekali tidak kami mengerti. Tapi keberadaan mereka, membuatku semakin sadar tentang betapa kaya bangsa ini, dan beruntungnya aku tlah menjadi salah satu penghuni, yang berhak mendapat sebutan warga negara.

Kekagumanku tadi dilengkapi juga oleh seorang rekan lain yang berasal dari Pamekasan, Madura. Arini namanya. Gadis hitam manis berjilbab ini, terkenal dengan wajahnya yang tak pernah lepas dan jauh dari senyum. Membuat orang - orang di sekitarnya merasa senang dan nyaman berada di dekatnya. Kalo boleh jujur, dia sama sekali tak terlihat seperti orang Madura, yang menurut anggapan banyak orang, memiliki karakter atau watak yang cenderung keras. Dia sama sekali tak memilikinya. Arini ini orangnya cenderung kalem dan pendiam. Malah lucunya, di awal sempat kukira dia berasal dari Solo atau daerah Jawa lah :D

Yang unik di blok kami, selain ada Arini, juga ada Arina. Bak anak kembar sajalah mereka ini. Cuma yang satu hitam manis, yang satu lagi berkulit putih dan berwajah sedikit Asia. (mata - mata agak sipit :P) Kalo gadis yang satu ini, dari awal aku kenal... dia sudah kupastikan berasal dari Jawa asli. Orange kualeem puuoooll... Aku sering menjulukinya 'slow motion' dalam setiap gerak - geriknya. Benar - benar tertata... lemah lembut... dan gak cenderung 'biyayakan' seperti keenam kawannya yang lain :D
Arina berasal dari sebuah daerah yang membuatku langsung teringat pada salah satu tokoh sastra idolaku. Om Pramoedya. Ya... dia asli Blora, Cepu.

Yang terakhir, namanya Meiliana. Kami sering memanggilnya dengan "Mei" saja. Gadis asal Ngawi ini, selidik punya selidik ternyata punya darah keturunan orang Sumatera. Terbukti dengan parasnya yang ayu, kolaborasi antara Jawa dan Palembang. Aku pernah sedikit tertipu di awal pertama kali mengenalnya. Kukira dia orang yang begitu pendiam. Namun ternyata, hingga kini dia sering menjadi partner setiaku dalam hal "menggila" dan berbuat usil pada rekan - rekan yang lain.

Kami bertujuh sadar... bahwa kami berbeda. Dan itu tak kan pernah menyurutkan kami untuk terus menyayangi satu sama lain. Walau tak perlu dipertanyakan, di perjalanannya, telah beberapa kali terjadi konflik di antara kami. Perbedaan watak, karakter, budaya, dan kebiasaanlah yang sering menjadi pemicunya. Namun di sisi lain, yang mungkin baru saja kami sadari... bahwa ternyata perbedaan itu indah.... begitu indah....
Tanpa Ries dan Nurul, mungkin aku dan kawan - kawan yang lain, tak kan pernah bisa belajar bahasa Banjar. Begitu juga dengan kehadiran Arini. Kami yang sering "nguping" saat dia sedang ngobrol di telepon dengan keluarganya dan menggunakan bahasa daerahnya, juga sedikit demi sedikit mulai belajar dan tahu tentang bahasa Madura. Heni, Arina, Mei, dan aku sendiri... juga akhirnya banyak tahu... bahwa di dalam bahasa Jawa sendiri pun, begitu beragam pemahaman dan kosa kata baru yang secara makna dan maksud sama ternyata memiliki lafal dan penyampaian yang berbeda.
Belum lagi saat ada kebiasaan atau budaya salah satu dari kami, yang terlihat aneh dan begitu asing di mata yang lain. Mau tak mau... ya kami saling belajar. Belajar memberi... dan belajar menghargai....
Jika ada yang bilang bahwa berbeda itu rentan dengan perselisihan maupun pertentangan... kami tak mengingkarinya. Tapi satu hal yang harus kita sadari bersama, perbedaan tadilah yang justru menjadi pondasi kuat jika kita bisa saling menghargai dan bijak menyikapinya. Sungguh... berbeda itu indah.... berbeda itu belajar.... berbeda itu membuat kita kaya.....

Ramadhanku kali ini, sepertinya akan menjadi salah satu Ramadhan yang spesial dalam hidupku. Karna aku melaluinya dengan sebuah kisah bersama keenam saudari - saudariku yang membuatku banyak belajar tentang diriku... tentang bangsaku... dan tentang kehidupan. Terimakasih ukhti fillah... Aku sayang kalian....


Suatu hari di bulan Ramadhan,