Minggu, 22 Februari 2009

-Not Allowed-

Beberapa waktu yang lalu, di kantor tempatku menjalani training insyaAllah 6 bulan ke depan, diadakan program rutin dari PMI. Yups! Tak lain tak bukan, itulah kegiatan yang konon akan mengundang para nyamuk, drakula dan vampir berkumpul dan berpesta! Hehehe...
Kegiatan suntik - menyuntik, alkohol, dan tentunya tajamnya jarum yang menusuk kulit.

Aku yang notabene amat sangat takut bin phobia sama yang namanya jarum, ternyata punya penasaran yang tak terperi dan tak terobati berhubungan sama kegiatan tadi. Bagaimana tidak, sudah terhitung 6 kali aku gagal untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Mulai dari masa SMK dulu. Teman2 IRC (PMRnya SANTRA), mengadakan kegiatan donor darah di bulan puasa. Aku yang waktu itu masih begitu licik dan alergi sama jarum (sebetulnya sampe sekarang! :P), tentu mengambil jarak paling jauh dari ruangan yang dipenuhi manusia - manusia berbaju putih dan bersenjatakan jarum suntik di tangannya. Bisa dibilang kegiatan ini rutin diadakan setidaknya setahun 1 - 2 kali, tapi tentu saja aku tak pernah punya nyali untuk mencobanya.
Hingga malaikat keberanian itu pun tiba....

Waktu itu aku menjalani PSG (Pendidikan Sistem Ganda) yang pertama. Berarti saat itu aku masih kelas 2 SMK. Instansi yang aku tempati, kebetulan mengadakan kegiatan donor darah. Entah apa yang merasukiku, tiba - tiba saja keinginan dan keberanian itu muncul. Mungkin juga karena termotivasi oleh banyaknya karyawan yang ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Aku yang masih culun dan sama sekali "nol" dalam hal donor darah, dengan pede-nya menuju ruangan pelaksanaan dan mendaftarkan diri. Jangan pernah tanyakan bagaimana perasaan dan frekuensi detak jantungku saat itu. Yang jelas, aku nyaris bisa mendengarnya. Tanganku juga begitu dingin seakan berada di ruangan bersuhu di bawah 10 derajat. Saat namaku dipanggil untuk tensi darah, "demam panggung donor darah" itu semakin menjadi - jadi. Namun, sebuah pertanyaan dari mbak - mbak yang memeriksa tekanan darahku, membuat hatiku antara senang sekaligus sedih.
"Mbak sedang datang bulan gak?"
Sambil sedikit berfikir aku menjawab dengan polos, "Iya, mbak..."
Mbak - mbak pemeriksa tadi tersenyum lalu menimpali, "Wah, maaf mbak... bagi wanita yang sedang datang bulan, tidak diperkenankan untuk mendonorkan darahnya..."
Ia juga menunjukkan daftar persyaratan, siapa saja yang boleh dan tidak boleh untuk berpartisipasi.
Rasanya lega bisa bebas dari jarum suntik yang menyeramkan itu. Tapi juga kecewa, setelah aku berjuang membunuh rasa takutku hingga akhirnya berani mendaftarkan diri.
Inilah pertama kali aku gagal untuk mendonorkan darahku.

Beberapa minggu setelah kegiatan donor darah tadi, dari pengeras suara diinformasikan bahwa bagi siapa yang belum mendonorkan darahnya kemarin diharap kesediaannya untuk diambil darahnya karena ada salah seorang karyawan yang putranya sakit dan membutuhkan darah. Informasi tadi terdengar seperti angin segar bagiku. Walau rasa takut itu masih ada. Saat itu aku sedang tidak datang bulan dan seingatku juga tidak ada dalam daftar persyaratan yang tidak diperkenanakan donor seperti yang pernah ditunjukkan mbak - mbak dari PMI kemarin. Hatiku mantab, yes, aku berangkat!
Saat hendak menuju mobil PMI yang sudah terparkir di bawah, tiba- tiba telepon berdering dan membawa kabar bahwa ternyata kebutuhan darah sudah terpenuhi.
Fiuuuhhh.......... Ini kali kedua aku gagal mendonorkan darahku.

Masa PSG telah usai. Ini terjadi saat aku duduk di kelas 3 SMK. Kembali ada kegiatan serupa dari PMI kota Malang. Dan sekali lagi, aku merasa kondisiku saat itu dinyatakn lulus seleksi untuk donor darah. Sampai di meja pendaftaran, kembali aku diajukan pertanyaan yang pernah aku terima dulu. Hohohoho.. semuanya lolos aku jawab! Tapi ternyata aku harus sarapan dulu. Baiklah, dengan segera aku sarapan di kantin sekolah. Begitu selesai, aku langsung kembali ke TKP. Dan rekor, di sesi ini aku sudah sampai berbaring di tempat tidur pendonor darah. Sambil mempersiapkan peralatan, mbak - mbak yang akan mengambil darahku sedikit berbincang. Dan kembali menanyakan pertanyaan serupa seperti di meja pendaftaran tadi. Walau sedikit bosan, tetap saja kujawab. Hitung - hitung menghilangkan rasa takut yang kembali muncul saat melihat betapa besar jarum yang akan menerkamku. Hingga pertanyaan itu terucap olehnya, "Kapan terakhir datang bulan, mbak?" Dengan mantab kujawab, "Dua hari yang lalu, mbak!" Dalam hati aku sangat yakin, aku lolos di episode ini. Tapi ternyata tak seperti yang kuduga.
"Maaf ya mbak, minimal yang boleh mendonorkan darahnya, seminggu setelah masa datang bulan berakhir. Jadi mbak belum boleh..."
What?! Gagal lagi???
Yah... ini kali ketiga aku tak diloloskan untuk donor darah.

Episode yang berikutnya, terjadi saat aku duduk di bangku kuliah. (Lebih tepatnya, saat masih sempat duduk untuk beberapa saat saja :D). Saat aku sedang berkumpul di sekretariat ECPOSE, UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang aku ikuti , tiba - tiba orang bagian kemahasiswaan yang biasa kami panggil dengan sebutan "Om", hadir dan terlihat bingung + tergesa - gesa. Salah satu dari kami yang ada di sana, bertanya padanya. Dan si "Om" ini melontarkan sebuah pertanyaan sekaligus penawaran yang membuat kami semua terdiam tiba - tiba. "Rek... adekku operasi, butuh darah.. Ada yang golongan darahnya O?"
Sepertinya tak ada satu pun dari kami yang bernyali untuk langsung menjawab. Namun hatiku berteriak, "Golongan darahku O!" Aku yang akhirnya sedikit mengalami jera karena tak pernah berhasil untuk donor darah, jadi ragu juga untuk menawarkan diri.
Seorang kawan akhirnya mengawali, "Aku O, tapi aku takut sama jarum suntik. Maaf ya, Om.." Hal serupa diungkapkan beberapa teman yang lain. Si Om mengerti dan sepertinya tak terlalu berharap lagi pada kami. Begitu ia hendak beranjak pergi, entah dari mana keberanian itu akhirnya muncul lagi, "Aku O. Berangkat sekarang, Om?"
"Wah, Ges! Serius? Kamu sehat, kan? Ya wes, nunggu sepupuku telpon terus aku minta dia jemput kita di sini! Suwun ya..."
Aku cuma bisa meringis, "InsyaAllah sehat! Asline yo takut aku Om, tapi penasaran! Ayuk, wes!"
Beberapa menit kemudian, sepupu si om yang ditunggu - tunggu akhirnya menelpon dan membawa kabar yang sekali lagi membuatku kecewa. Darah sang adik ternyata sudah tercukupi. Otomatis, aku tak dibutuhkan lagi untuk mendonorkan darahku. Fiuuuhh.... ini kali keempat aku kembali gagal untuk donor darah.

Episode yang ini, terjadi saat aku menjalani pendidikan di Malang beberapa bulan yang lalu. Kampus tempat aku di-diklat 6 bulan lamanya, mengadakan kegiatan yang sama. Tapi lagi dan lagi aku gagal, karena saat aku menuju ke gedung tempat dilaksanakannya kegiatan donor darah, mobil PMI + petugas - petugasnya sudah tidak di tempat. Mereka sudah pulang, dan malangnya ini adalah hari terakhir. Kembali aku kecewa, ini kali kelima aku gagal mendonorkan darahku.

Yang ini, baru saja terjadi beberapa hari yang lalu. Kembali aku dihadapkan pada "deg - degan" nya menanti saat - saat untuk pengambilan darah. Sekalipun telah berulang kali gagal dan tidak lolos dalam seleksi, entah aku masih belum bisa menyerah begitu saja. Malahan semakin penasaran. Seusai mengisi daftar dan menjalani ritual pertanyaan seperti yang sudah - sudah, tak biasanya aku diminta untuk diperiksa darah terlebih dahulu. Seakan petugas - petugas itu tak percaya, sekalipun aku sudah bilang bahwa darahku O. Untuk lebih meyakinkan katanya. Baiklah, aku manut saja. Jari tengah tangan kananku di tusuk oleh jarum dari sebuah alat mirip jepretan. Sakitnya lumayan, tapi syoknya lebih karena kaget. Dan tahukah hasilnya kawan, aku kembali tak diperkenankan untuk donor darah karena ternyata kadar HB ku yang rendah. Sekalipun tekanan darahku normal, aku melihat sendiri bahwa warna darahku memang tidak merah pekat. (Mungkin memang darah biru ya, aku ini... :P)
Oh, God.... ini lah kali keenam aku tak diijinkan untuk donor darah. Not allowed anymore...

Kenapa ya...? Seakan aku tak pernah berjodoh dengan donor darah? Atau mungkin Allah memang belum mengijinkan, seseorang di luar sana untuk menerima dan dialiri tubuhnya oleh darahku. Apapun itu, aku tak akan menyerah untuk terus mencoba. Sekalipun rasa takut itu selalu muncul menghantui dan nyaris menghalangi langkahku. Bahkan ibuku sendiri pun sudah bilang, "Sudah to, nduk... Ndak usah mekso. Berarti emang gak boleh donor kamu itu..."
Hehehe... dituturi seperti itu bukannya lega, malah semakin menjadi - jadi keinginan dalam diriku.
Yah..... mungkin memang belum saatnya.....

Senin, 16 Februari 2009

Dalam Diamku

Menapaki titian roman menggapai langit...
Bersama sebentuk cakrawala penghias angkasa

di hulu, kutemui kau dalam rupa sang surya
di hilir, elokmu berganti paras ayu candra merona

pun saat dunia membisu,
siluetmu menghambur..Memecah.. dan merasuki setiap sudut keheninganku

Sepasang merpati menyibak senja di langit jingga,
selaras kepak sayapnya beriku makna,
keindahan hakiki hanya terangkum
dalam guratan cantik tanganMu dalam diri seorang anak manusia..
Aku terpaku dalam keterpanaan,

Fillah...Fillah...Fillah...

Kamis, 12 Februari 2009

Salam Rindu

Terngiang sentuh lembut tangan yang kekar dan kasar...
Jemari yang pemiliknya slalu bergelut keras,
dengan hari dan mentari..
Dibelainya....
Diciumnya....
Kening ini penuh sayang..

Dalam lelapku yang semu,
kutahu kau sering menatapku, tatapan cinta...
Dalam galau kalbuku,kuyakin kau slalu mengiringiku, doa sepenuh jiwa...

Tanpa kusadari, struktur diri ini sedikit banyak bersumber darimu.
Banyak yang bilang, aku bak cermin sosokmu di dunia yang lain.
Itulah kau... Lelaki berjiwa besar dan tegar, yang slalu kupanggil "bapak"...

Adakah aku tlah menjadi seperti harapmu dulu?
Sudahkah aku menoreh senyum abadi itu di parasmu?
Ah,sayang...
Aku tak kuasa mendengarmu,
pun tak mampu sekedar menatap roman itu..
Suka kah? Duka kah?

Kini saat kau jauh,
begitu jauh...
Ku hanya mampu titipkan sebaris salam, bersama doa dalam air mata sujudku...
"Aku kangen,pak... Gadismu ini, mencoba slalu berarti seperti yang kau ingini..."

Minggu, 08 Februari 2009

Sedikit Nostalgi

"Gimana, masih suka baca puisi ?"
Itulah sebaris kalimat yang masih begitu kuingat dari seorang wanita separuh baya yang sore itu kutemui dan masih tampak begitu cantik. Suatu sore, di sebuah warung sate...
Awalnya aku tak yakin untuk menyapanya lebih dulu. (Maklum, mata dah empat :P ) Tapi kucoba mendekati wanita berjilbab yang duduk di luar warung saat itu.
Dan... bingo! Itu memang ibu guruku semasa di smp dulu. Beliau mengajar mata pelajaran favoritku, Bahasa Indonesia. Walau hanya 1 tahun aku dalam bimbingannya, yakni saat kelas 2, tapi kebersamaan dengan ibu yang cantik ini cukup memberiku kesan. Gaya bicara dan mengajarnya, ketegasannya, cara dia memarahi kami, suaranya yang sangat lantang, ah.. masa - masa di mana aku masih imut - imut. :P

Kalo boleh jujur, dari SD aku selalu memiliki kenangan manis yang berhubungan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Bahkan dengan guru Bahasa Indonesiaku semasa masih SD dulu, hingga saat ini masih terjalin silaturahim yang begitu baik. Bahasa Indonesia memang mata pelajaran favoritku. Tapi entah kenapa, aku selalu merasa nilai - nilaiku di mata pelajaran itu tak pernah bagus atau cemerlang. Dengan kata lain, selalu berada di garis aman atau standar - standar saja. Setiap ujian teori bahkan ujian nasional, nilai Bahasa Indonesiaku justru paling rendah di antara mata pelajaran lain yang diujikan. Bagiku, terlalu sulit untuk memilih jawaban - jawaban yang ada. Karena semuanya tampak begitu mirip.
Tapi aku boleh sedikit berbangga hati (gak boleh banyak2!) saat tiba materi yang membahas tentang sastra atau interaksi langsung secara lisan. Di episode ini, setidaknya aku masih sedikit menguasai dan lumayan mengerti. Apalagi yang berhubungan sama tulisan, cerita, percakapan, drama, wah.... 4 jam pelajaran pun, akan terasa berlalu seperti 5 menit saja.

Kita tinggalkan cerita tentang payahnya aku dalam ujian mapel Bahasa Indonesia. Sedikit membahas tentang yang diucapkan Ibu Sri di awal tulisanku tadi, aku memang suka puisi. Awalnya sebatas suka melihat dan membaca. Bagiku terlalu sulit untuk merangkai kata - kata yang sepintas begitu sederhana, menjadi bermakna sangat indah. Hingga kini pun, aku sering dibuat takjub oleh para pujangga atau rekan - rekan yang mendadak menjadi pujangga, dengan puisi - puisi mereka yang begitu menggugah. Kata demi kata, seakan memiliki rahasia dan mengandung beribu makna.
Sementara aku, hingga detik ini pun merasa, apa yang kutulis selalu terlampau sederhana. Kata - katanya lebih banyak yang lugas. Sepertinya memang perbendaharaan kata - kata sastraku masih sangat kurang. Apa aku perlu ngapalin kamus ya? :D

Waktu SD dan SMP dulu, aku memang sering terlibat dalam berbagai perlombaan baca puisi. Kata guru - guruku, termasuk ibu Sri tadi, mereka suka melihatku membacakan sebuah puisi. Bisa menyentuh perasaan katanya. Ini baru katanya lho..... :P Tapi entahlah... dari perlombaan yang kuikuti, bisa dibilang tidak pernah menggondol piala juara! Hehehe.... Eh, pernah kayaknya, itupun juara harapan. :D
Lalu bagaimana dengan sekarang? Apa aku putus asa alias mutung ? Mungkin sedikit. Tapi kecintaanku pada puisi dan sastra, insyaAllah masih begitu kuat hingga kini. Walau mungkin itu masih hanya mampu kuekspresikan dengan karya - karya amatirku di blog ini. Kenapa aku mem-bold kata 'masih'? Karena aku bercita - cita, suatu hari nanti apa yang aku fikir dan tuliskan, bisa bermanfaat. Bukan puji, materi, atau sebuah pengakuan dari orang banyak tentang keindahannya, tapi lebih pada mampu memberi arti....

Senin, 02 Februari 2009

Hey!

Hey, apa yang kau lakukan saat kau jatuh cinta ?

Blank

Setetes tak berarti sendiri....
Mengembara dalam sunyi yang tak bertepi
Ia serupa namun tak sama,
saling tautkan asa pada kuasa semesta

Yang terasing biarlah berlari
yang bergeming izinkan terus bermimpi...
Bukankah melodi pun tak slalu punya arti ?

Hitam... putih... abu - abu...
haruskah kupilih satu?
Lantas, bilamana jika ku mau biru?

Mereka bilang ini ironi,
mereka yakin ini hanya sugesti....
Aku yang gamang saat sendiri,
hanya mampu tersenyum tanpa arti...

Biarkan yang berkuasa nurani....
"karna tak kan ada dusta!", itu kata hati
Fiuuhh.....
jika sudah kehendak-Mu, adakah lagi yang mampu berbunyi?