Jumat, 29 April 2011

Perjalanan 1

Keputusanku untuk berlabuh di stasiun Gubeng, tak sepenuhnya salah dan sia - sia. Walau harus menerima kenyataan bahwa tiket yang kucari sudah benar - benar ludes tak bersisa, ada sebuah berita penting yang tentu akan kulewatkan jika saja tadi benar kuputuskan untuk berhenti di Wonokromo. 
Pak Tomy, begitu lelaki paruh baya yang bersama denganku mengantri di loket itu , memperkenalkan dirinya. Tujuannya, Jember. Kota kelahiranku. Sebuah undangan reuni dari almamater kampus yang membuatnya menyempatkan diri singgah dan mengunjungi kota suwar - suwir itu.
"Saya alumni UNEJ Fakultas Hukum, angkatan '80, dek..." akunya padaku.
Obrolan kami terus berlanjut, sembari menunggu kapan terputusnya antrian yang mengular itu. Hingga sampailah klimaks dari obrolan dadakanku dengan orang asing yang baru saja kukenal itu.

"Bapak saya dulu juga kuliah di Fakultas Hukum UNEJ, tapi saya kurang tahu pasti angkatan tahun berapa..." seakan ada yang menggelitik hatiku untuk sampaikan pertanyaan itu.

"Oh ya? Siapa namanya? Sekarang di mana?" Pak Tomy menanggapi penuh antusias.

Kukisahkan sedikit tentang lelaki yang begitu kucintai itu padanya. Hingga akhirnya, aku pun teringat sebuah nama.
"Oh iya, kalo Pak Dewanto? Bapak tahu?"

"Ooh... Dewanto yang wartawan plus fotografer itu? Orangnya kocak dan lucu sekali?"

Aku mengangguk mantab sambil tersenyum. "Saya kenal baik dengan beliau. Kami juga pernah hunting foto dan ngecamp di hutan bersama..."

"Wah..adek suka fotografi dan berpetualang juga ya? Tapi sayang ya... sudah almarhum juga Dewanto itu..." ada yang berubah di raut wajah Pak Tomy.

Di detik yang sama, seperti ada palu godam besar yang menghantam ulu hatiku. Pak Dewanto meninggal? Apa benar yang dia maksud adalah Om De yang aku kenal baik itu? Bagaimana jika itu Dewanto yang lain? Tapi semua ciri - ciri dan karakter yang disampaikannnya tadi, memang sama persis dengan sahabat yang sudah seperti ayahku sendiri itu.

"Apa Bapak ndak salah dengar? Pak Dewanto meninggal?" berusaha aku meyakinkan lagi diriku.

"Iya dek... setahu saya dari kabar yang beredar di mailist dan yang disampaikan teman - teman, seperti itu. Almarhum meninggal karena jantung, mungkin malah sudah stroke." suasana obrolan kami, langsung berubah seketika itu.

"Sungguh, saya sama sekali tidak tahu tentang kabar ini, Pak.. Padahal saya satu kota dengan beliau. Memang akhir - akhir ini saya sudah jarang kumpul dengan teman - teman fotografi dan teman - teman yang suka ngeluyur menjelajahi alam. Ya Allah.... Innalillahi wa innailaihi roji'uun....." ada sebersit penyesalan dari kalimat yang meluncur begitu saja dari lisanku.

Pak Dewanto. Aku dan teman - teman lebih sering memanggilnya Om De. Lelaki berkumis tebal dan  berwajah penuh senyum itu, kukenal pertama kali di sebuah seminar fotografi yang diadakan oleh lembaga pers kampus yang pernah aku ikuti dulu. Orangnya ramah, sangat terbuka, suka bercanda, dan yang pasti, sudah makan banyak sekali asam garam dunia fotografi.
Pertemuan keduaku dengan Om De, sekaligus yang membuat kami semakin akrab dan dekat, adalah saat beliau meminta tolong padaku untuk membetulkan komputer di rumah yang ngambek. Ini juga gara - gara teman - teman lain yang sok - sok an mengajukan namaku sebagai pahlawan reparasi. Padahal aku sendiri juga sekedar tahu dan belum tentu juga selalu bisa menyembuhkan penyakit - penyakit yang menyerang komputer.
Aku saat itu sudah ketar - ketir saja bawaannya. Membayangkan bagaimana seandainya aku tidak bisa membantu. Tapi sudah kepalang tanggung, bismillah... aku niatkan saja untuk membantu semampuku. Penyakitnya klasik. Komputer kesayangan Om De itu terjangkit virus yang membuat sistem operasinya tidak berjalan normal. "Wah... bisa dibikin botokan ini ya nduk, virusnya...." masih kuingat jelas celetuk Om De kala itu.
Di malam pembasmian virus itu pula, akhirnya kami berbincang tentang banyak hal. Om De banyak bercerita tentang pengalamannya dalam hal memotret. Dan tentu saja, sudah hunting ke mana saja beliau selama ini. Om De juga memamerkan berbagai macam kamera dan lensa yang beliau miliki. Mulai dari yang masih analog hingga yang super canggih. Semua itu hanya membuatku semakin ngiler tak berdaya. Bagaimana tidak, sedang satu pun kala itu, aku tak punya.

Om De juga bercerita tentang masa - masa kuliahnya. Kecintaan beliau pada alam juga yang membuat beliau pernah menjadi awak aktif dari lembaga pecinta alam di fakultas Hukum UNEJ dulu. Kami semakin nyambung. Lebih - lebih saat tak sengaja kuutarakan pernyataan dan pertanyaan yang sama, seperti yang kusampaikan pada Pak Tomy di atas tadi. Aku bertanya tentang ayahku. Dan siapa yang mengira, ternyata Om De berkisah pernah begitu dekat dengan lelaki yang kucintai itu.
Aku langsung membayangkan. Ayahku yang juga humoris dan suka berpetualang, digabung dengan Om De yang berkarakter serupa, pasti mereka cocok sekali.

Kenangan terakhir dan yang paling berkesan dengan Om De adalah, saat kami hunting dan bermalam di tepi pantai Nanggelan. Sebuah pantai eksotis di kota Jember yang sebelumnya sama sekali tak pernah kulihat dan dengar namanya. Kami bersepuluh kala itu. Rata - rata adalah para fotografer media - media lokal, para mahasiswa pecinta alam, dan aku sendiri yang entah mewakili siapa.
Rombongan Om De berangkat lebih awal. Dan aku sendiri, bersama keempat teman lain, baru berangkat siang harinya. Kami berlima, sama sekali tidak menyangka jika ternyata pantai eksotis yang dijanjikan Om De, harus kami tempuh dengan medan yang tidak mudah. Sudah berasa seperti ninja Hatori saja kala itu. Mendaki gunung, menuruni lembah, menguak padang ilalang, sempat tersesat di kali mati dan rawa - rawa, dan nyaris bermalam di hutan bakau. Entah mitos bahwa dilarang mendaki gunung dalam jumlah ganjil itu benar atau tidak, tapi kami berlima memang sempat tersesat hingga 5 jam lamanya.
Bagai mendapat oase di tengah gurun pasir, kebahagiaan tak terlukiskan saat suara ombak sayup - sayup mulai kami dengar. Ketika kami mulai menginjak bibir pantai, dari kejauhan tampak sinar senter dikelip - kelipkan. Kami berharap itu rombongan Om De yang tentunya sudah tiba dari siang tadi. Dan setelah semakin dekat, serta merta Om De memeluk kami satu persatu. Ada butir bening mengalir di pipinya. Tampak sekali raut khawatir dan haru di wajah beliau. "Oalah rek..rek.. aku ndak mbayangin kalau kalian sampai benar - benar hilang...."
Kawasan Nanggelan memang termasuk kawasan yang dilindungi. Tidak banyak orang yang bisa dengan mudah keluar masuk area ini. Aku sendiri bisa berkunjung hingga bermalam di sana, tentu saja karena ada seorang Om De yang mengajakku.

Itulah sosok Om De. Seorang sahabat dan ayah, yang karakter dan kegigihannya akan selalu kuingat. Sekalipun akhirnya aku sampai di antrian terdepan, mendapati kekecewaan yang kedua karena ternyata tak ada satu tiket pun yang tersisa, dan harus kembali ke stasiun Wonokromo demi lebih mendekati terminal, ada 1 hal penting yang tetap kusyukuri. Seandainya aku tidak bertemu Pak Tomy, tentu saja kabar duka ini entah berapa waktu lamanya, baru akan kudengar.


Selamat jalan Om De... semoga Allah mengampuni dosa - dosa dan menerima seluluh amal ibadah selama di dunia. Semoga Om De mendapat tempat mulia dan bersama dengan golongan orang - orang yang beriman, di sisi Rabb.... AllahummaAmin.....

(bersambung)


----June 2008, Some memorable portraits from Heaven of Nanggelan ----


1 komentar:

Ainur R.F mengatakan...

semua yang bernyawa di dunia ini pasti akan mati :)
hal yang salah pada saat adanya kematian adalah bersedih hati. kita harus tetap tabah dan sabar.