Senin, 14 Februari 2011

Long Distance Marriage

Tak pernah terbersit sebelumnya dalam benak, jika suatu hari nanti harus dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Cita - cita atau cinta ?
Tak bisakah kita menggapai keduanya bersama? Benarkah harus selalu ada yang dikorbankan?
Ada seorang sahabat yang berujar, tiap orang bolehlah punya cita - cita, namun tanpa cinta, dapat dipastikan hidup mereka akan hampa. Cita - cita bisa disusun kembali bersama cinta di sisi kita. Namun benarkah semudah itu? Bagaimana jika ternyata bersama cinta, ada sebuah penyesalan, kekecewaan, ketidaktulusan, karena cita - cita yang sesungguhnya belum pernah berhasil diraih.

Kemarin, tak sengaja menemukan sebuah artikel tentang LDM (Long Distance Marriage), ya, hubungan pernikahan jarak jauh. Dari cerita dan kisah - kisah di dalamnya, agak serem dan ngeri juga membayangkan. Saat semua tentunya akan begitu indah, manis dan halal dalam sebuah biduk pernikahan, namun nyatanya raga harus terpisahkan dari yang terkasih.
Lalu kira - kira, bagaimana agama sendiri memandang hal tersebut ?

Yang jelas ada sebuah atsar atau contoh dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu kali Khalifah ‘Umar bin Khattab mendengar seorang perempuan berkeluh kesah karena merindukan suaminya yang belum juga kembali dari medan perang, dan ketakutannya akan berbuat dosa karena mengharapkan sentuhan kasih sayang. Maka Khalifah ‘Umar pun bertanya kepada putrinya sendiri, Hafsah, sang Ummul Mu’minun (ibunda kaum beriman) yang juga istri Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berapa lama kiranya seorang istri dapat bersabar ditinggal oleh suaminya. Empat hingga enam bulan, ujar Hafsah. Maka sejak itu, ‘Umar bin Khattab’ menetapkan bahwa seorang prajurit Muslim tidak boleh pergi ke medan perang lebih dari empat bulan.
Di masa ini – bukan perang fii sabililah yang memisahkan suami dari istrinya – maka perlu kita pertanyakan benar se-urgent apa long distance marriage. Tidak sedikit rumah tangga rusak kesuciannya karena si istri atau si suami pergi dalam jangka waktu sangat lama. Di surat kabar, majalah dan media elektronik bertaburan cerita tentang seorang lelaki yang melampiaskan nafsu seksualnya kepada yang haram, karena si istri bekerja sekian tahun lamanya di Saudi Arabia atau tempat-tempat lain. Kita dapati juga berita-berita tentang perempuan-perempuan yang rusak akhlaqnya – berzina dan kemudian hamil - dengan lelaki – lelaki asing di tempat mereka bekerja.

Pernikahan, tentu saja, bukan sekedar sarana memperoleh kepuasan seksual namun melibatkan seluruh fungsi pernikahan yang ditetapkan oleh Syari’ah dan dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya saja, suami adalah pemberi nafkah istri dan anak-anak nya, tapi dia juga seorang Imam yang harus memastikan kelurusan aqidah dan ibadah keluarganya. Dia seorang pelindung yang menjaga anak istrinya dari marabahaya fisik, sekaligus mata air kasih sayang rumah tangga sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu bersikap lembut dan penuh cinta kepada anak-anak dan istri-istrinya.

Rumah Tangga adalah jalinan hak dan kewajiban kepada Allah Ta’ala dan jalinan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Suami memikul segerobak tanggung jawab kepada Allah dan kepada istrinya, selain tentu saja memiliki hak-hak atas istrinya yang tak boleh dilanggar oleh siapa pun, termasuk oleh si istri sendiri. Demikian pula, seorang perempuan memikul beban syariah yang luar biasa karena statusnya sebagai istri. Mereka memikul beban tanggung jawab kepada sang suami, sekaligus memiliki segerobak hak yang dia bisa tuntut dari suami nya dan hak ini tak boleh dilanggar oleh siapa pun apa lagi oleh suaminya.

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya seorang istri belum dapat dikatakan telah menunaikan kewajibannya terhadap Allah sehingga ia telah menunaikan kewajibannya terhadap suaminya seutuhnya. Dan Jika suami nya memerlukannya sedangkan pada waktu itu dia sedang berada di atas kendaraan, maka tidak boleh ia menolaknya” (HR Thabrani)
Lalu bagaimanakah bergudang-gudang hak dan kewajiban ini bisa tertunaikan dan terpelihara baik bila suami dan istri hidup berjauhan? Memang ada masa nya ketika perpisahan tidak bisa dielakkan misalnya ketika berperang atau berdagang dan seorang istri yang baik didefinisikan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 34 sebagai “Wanita yang shalihah adalah wanita yang taat pada Allah dan memelihara diri di balik suaminya (saat suami tidak ada) oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…  ”
Namun selayaknyalah long-distance marriage tidak dijadikan norma atau malahan dianggap biasa. Semestinya model rumah tangga seperti ini justru harus dijadikan keadaan darurat yang memaksa baik suami dan istri untuk terus berdoa kepada Allah Ta’ala dan berikhtiar untuk segera berkumpul.

Masalah juga bisa timbul akibat tidak terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing tadi. Suami dan Istri sama-sama memiliki kebutuhan lahir dan batin yang bisa muncul setiap saat dan tentu akan sulit terpenuhi bila berjauhan jarak. Ketika pasangan tidak ada disamping bila tidak disertai kekuatan iman, bisa jadi tergoda.
Ya, sebagaimana disentuh diatas, kesulitan utama saat jauh dari pasangan adalah menjaga diri. Hal inilah yang harus ditanamkan pada masing-masing pasangan untuk menjaga aqidah dan seluruh jiwa dan raga agar tetap memelihara kesucian dan kehormatan diri dan rumahtangga.
Dibutuhkan komitmen luar biasa besar bagi suami dan istri untuk terus memelihara diri agar berjalan dalam syari’ah saat terpisah jauh dari pasangan mereka. Jangan lupa pula untuk memilih lingkungan dan pergaulan yang baik. Bila istri ditinggal suami, maka pastikan tempat tinggal istri memang aman sehingga istri juga bisa menjaga diri.
Selain itu, pasangan harus membuat program komunikasi yang baik. Jangan berpisah begitu saja. Misalnya jadwal kunjungan yang rutin, baik si suami yang pulang ke rumah setiap dua minggu sekali, atau si istri yang berkunjung ke kota atau negara tempat suami bekerja.

Menjalani long distance marriage memang ibarat memakan buah simalakama. Pilihan untuk hidup bersama atau hidup terpisah sama-sama mengandung resiko yang tak ringan. Maka, yang penting pasangan harus bisa menetapkan sebuah pilihan ingin membentuk sebuah keluarga seperti apa. Lalu, mintalah kepada Allah dalam do’a yang sungguh-sungguh agar bisa membentuk keluarga seperti itu. InsyaAllah do’a yang penuh keikhlasan akan dikabulkan Allah.

Bagi siapapun yang mungkin kini berada dalam kondisi ini, -sedang menjalani LDM, atau baru berkehendak memutuskan ber-LDM- esensi dari semuanya adalah, hidup tetaplah sebuah pilihan. Jikalau memang mungkin teraih seluruh yang kita inginkan, pasti ada salah satu atau bahkan salah dua yang prosentasenya akan menjadi lebih kecil dari yang lain. Yang menjadi target utama adalah, betapa hati dan raga itu sesungguhnya telah terjaga dalam sebuah ikatan yang suci dan halal. Bukankah menikah termasuk dalam ibadah yang sangat bagus untuk disegerakan :-) Tentang jarak yang masih memisahkan, kembali pada kekuatan azzam dan komitmen dari kedua belah pihak. InsyaAllah Rabb, akan menunjukkan jalan dengan kuasa-Nya. Karna bukankah Ia tak akan pernah memberikan masalah tanpa solusi kepada hamba, padahal keadilan dan keseimbangan adalah Maha Sifat-Nya...


sumber + nara sumber : teman, sahabat, saudara, berbagai artikel

2 komentar:

devie mengatakan...

*porward ke Lil

terima kasih sudah di rangkumkan dengan kata-kata yang cakep. :)

indrunk mengatakan...

like this, bun :)