Senin, 26 Oktober 2009

Putra

Bapak dan ibuku sudah meninggal, mbak…. tabrakan di Klakah…” Jawaban yang begitu polos ini meluncur dari bibir bocah itu. Bocah lelaki yang suaranya beberapa menit lalu kudengar menggema memenuhi bus jurusan Surabaya – Banyuwangi yang kutumpangi ini.
Muhammad Syahputra. Itu jawabnya saat kutanya siapa namanya. Dia mungkin satu dari ribuan, bahkan mungkin jutaan seniman – seniman jalanan kecil di negeri ini. Bermodal ‘alat musik’ sederhana, berupa kayu kecil yang di ujungnya tergantung beberapa seng yang dipotong bulat sehingga mampu menghasilkan bunyi – bunyian saat digoyang – goyangkan atau ditepukkan ke telapak tangan, ia bekerja dengan menumpang bus – bus antar kota dari pagi hingga malam hari. Perjuangannya tidak mudah, hidupnya keras, terlihat dari raut wajah kecil dan sorot matanya yang sayu namun tetap tajam. Di usianya yang baru 12 tahun, dia harus bekerja menanggung hidup kakek, nenek, dan seorang adik perempuannya yang masih kecil. Ia yatim piatu, yang hidup bersama sepasang orang tua yang tak mampu bekerja lagi.

Bus terus melaju, semakin kencang menyeruak gelap dan dinginnya malam itu. Semakin ke timur, makin banyak pula penumpang yang turun. Bus kian lengang. Tanggul, tempat tujuan Putra masih sekira 45 menit lagi. Sesekali kulihat dan amati wajah bocah kecil di sampingku. Kepalanya mulai terantuk – antuk, dia pasti sangat lelah.
Tidur aja Put, nanti deket – deket Tanggul mbak bangunin…” Perkataanku disambutnya dengan senyuman dan anggukan kepala.
Aku semakin asyik memandang ke luar jendela. Menelusuri sungai Bondoyudho yang memanjang di sebelah kanan jalan. Sungai yang memiliki aliran cukup unik di setiap pertemuan atau persimpangannya. Ya, seperti air sungai itu. Hidup ini akan terus mengalir bukan ? Di sepanjang alirannya, kita akan dipertemukan dengan banyak sekali kisah. Aliran yang deras ataukah tenang, semuanya tetap akan membawa kita hingga tiba di muara kehidupan dan bertemu lautan hikmah. Putra, adalah setitik dari kisah yang aku temui di sepanjang aliran kehidupanku. Bocah kecil itu, harus merelakan untuk menahan dahaga kasih sayang orang tua terutama ibu di usianya yang masih sangat dini. Belum lagi, roda kehidupan yang terus mengejar dan memaksanya untuk terus berlari lebih dan lebih kencang lagi. Hidup ini benarlah sebuah perjuangan, itu yang diajarkan Putra padaku lewat tatap matanya.

“Kinccrriiinngg…!!!!” Bunyi yang cukup keras, sempat membuat seisi bus yang memang sudah semakin sepi penumpang itu, menatap ke arah kami. Apa yang salah ? Dalam hati aku bergumam. Aku mencoba melihat ke bawah kursi tepat di bawah kaki Putra. Ternyata, senjata sekaligus sahabat yang menemani Putra bekerja setiap hari itu yang terjatuh. Alat musik sederhana dari kayu dan seng. Segera kupungut dan kutengok Putra. Benar saja, dia memang telah terlelap hingga tak sadar barang yang tadi digenggamnya begitu erat, kini terjatuh.
Bus tetap melaju. Tikungan – tikungan yang cukup tajam, tak membuat sang sopir sedikit mengurangi kecepatannya. Tapi kuakui, kau memang sopir yang lihai dan cekatan, pak. Bawa kami dengan selamat hingga tujuan ya…
Bus yang sesekali bermanuver, membuat Putra yang pulas terlelap tiba – tiba terjatuh ke lenganku. Sedikit kubenahi posisi dudukku, agar membuatnya lebih nyaman bersandar dan tak terbangun. Istirahatlah, Put… kutahu kau pasti sangat lelah….
Mendekati daerah Tanggul, aku membangunkannya. Tampak dia begitu kaget dan tergambar rasa tidak enak di wajahnya. Saat menyadari dia telah tertidur bergitu nyenyak dan bersandar di lenganku. Aku tersenyum sambil menepuk pundaknya dan menyerahkan ‘senjata’nya yang terjatuh dan kupungut tadi.

Makasih ya, mbak… Kalo maen ke Tanggul mampir aja ke rumah. Rumahku di belakang pasar. Nanti kalo Mbak keliatan aku ngamen di lampu merah Mangli Jember, panggil aja ya… aku juga kadang ke sana…” dia telah berdiri dan bersiap untuk turun.

InsyaAllah… Ati2 ya, Put… Salam buat mbah dan Siti adekmu. Tetep terus belajar lho, ya…” perkataanku yang terakhir sebelum ia turun sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Mendung tak bergelayut di langit malam itu. Namun tiba – tiba air menetes dari langit hati yang beratapkan haru………


Jember, 9 Agustus 2009

2 komentar:

dewin mengatakan...

Seandainya itu sebuah pengalaman pribadi, anda sungguh membuat saya iri...

petirr mengatakan...

fiksi atau nonfiksi ini bun?
*kalo aku diposisimu bun, keknya aku ndak isa sebaik kamu deh...

salut bwt bundooo (K)