Minggu, 14 Juni 2009

Wisata Hati

Sekali lagi aku membuktikan tentang kebenaran dan kekuatan sugesti. Entah siapa yang terakhir mendengarnya, yang jelas aku pernah tak sengaja berujar, “SubhanAllah, gimana ya.. rasanya di opname… diinfus…. Hiiiiiii….!!!” Walau sangat jelas rasa tak ingin dan gidik ngeri dari hatiku saat mengatakannya, namun rasa penasaran itu memang tak mau pergi. Aku terlalu sering seperti itu. Diam – diam berimajinasi dan membayangkan bagaimana kalau… seandainya… jika….

Dan sayangnya, itu bukan sesuatu yang selalu indah – indah.

Jika benar, ekspresi dari hati pun dapat menjadi doa yang ampuh, sepertinya lain kali aku memang harus lebih berhati – hati dalam mengendalikan imajinasi liarku.

Merasakan sakit memang bukanlah cita – cita bagi siapapun. Tapi percayalah, saat kita berhasil menemukan mutiara di balik lumpur – lumpur yang melelehkan keluh demi kesah, kenikmatan tiada tara itu akan membuat kita selalu merasa beruntung telah melewati setiap episode dengan cermat dan tekun. Kurang lebih seminggu lamanya, Allah memberiku rizqi berupa wisata hati. Ya… waktu yang sangat singkat bagiku untuk berlama – lama menikmati perjalanan gratis berhadiah itu. Dia kembali membawakan kisah untukku tentang senyum, ikhtiar, dan sabar. Tiga hal indah yang sebetulnya telah begitu sering aku tonton, namun entah terkadang masih sulit aku temukan dalam diriku. Seminggu lamanya, Ia juga pertemukan ku dengan begitu banyak wajah – wajah indah anak manusia yang bercahaya dalam doa tulus keikhlasan dan rasa peduli. Sungguh, jika perjalanan seperti ini selalu bisa aku tangkap sempurna tanpa diembel – embeli segala prasangka, betapa beruntungnya aku.

2 Juni 2009 malam, ibu dengan nada khawatir menghubungiku yang memang sudah dua hari lamanya absen masuk kerja dan istirahat di rumah. Beliau mengabarkan tentang hasil cek darah yang aku lakukan sore harinya. Positif Typhus dan trombosit yang berada di kisaran angka 130.000. Masih belum jauh dari normal sebenarnya, tapi dokter yang terakhir memeriksaku, menyarankan pada ibu untuk “mengamarkan” aku malam itu juga.

“Minta tolong adek mbak, siapin baju – baju. Bentar lagi tak jemput…” itu kalimat terakhir yang diucapkan ibu di balik keresahannya.

Bak seseorang yang hendak bepergian dan akan menginap untuk waktu yang lama, adek menyiapkan semua keperluanku. Aku hanya bisa tersenyum lemah, membayangkan betapa liburan ini akan segera aku lewati. Kira – kira seperti apa perjalananku nanti hingga oleh – oleh apa yang akan aku bawa, semua membuatku terus dan terus merenda imajinasi.

Tak berselang lama, ibu datang. Bersama motor kesayangan, ibu memboncengku menuju tempat berlibur itu….

Sampai di UGD, aku berjalan sendiri menuju ranjang yang telah disediakan. Dari pengalamanku semasa kecil yang begitu sering “ngriwuki” ibu dinas, aku tahu sebelum masuk kamar semua pasien harus diinfus dulu di sini. Suasana dan aromanya sama sekali tak asing. Ranjang putih dengan korden memutar sebagai pembatas, tabung – tabung oksigen, seperangkat botol – botol dan jarum suntik, semuanya khas rumah sakit. Aku berbaring di ranjang itu cukup lama. Menunggu perawat yang akan memasukkan jarum infus ke tanganku. Bersamaan denganku, ada seorang bocah kecil yang sepertinya juga akan “ngamar”, dan dia menangis begitu keras di balik gendongan sang nenek, mungkin karena takut diinfus. Aku hanya bisa melemparkan senyumku pada nenek dan cucu itu. Sambil berbaring, aku sempat sedikit berbincang dengan mereka. Ternyata, adek kecil tadi juga terkena demam berdarah. Kasihan. Tubuh mungilnya harus merasakan sakit dan dia hanya bisa menyampaikan semua itu dengan tangisnya.

Diinfus itu sakit. Terbayar sudah rasa penasaranku. Dan semoga itulah pertama dan terakhir kalinya aku berurusan dengan benda runcing tajam yang tebalnya hanya beberapa mili itu. Setelah sang jarum tertanam di punggung tangan kananku, dibawalah aku menuju istana tempatku berlibur beberapa hari ke depan. Sebuah kamar mungil, dengan satu ranjang dan sebuah kamar mandi di dalamnya. “Wah.. bener – bener nginep di hotel ini!” celetukku diikuti senyuman perawat yang mendorongku di kursi roda tadi. Namun, belum berselang lama aku menikmati tempat tidur baruku itu, tiba – tiba aku merasakan selang kecil yang menghubungkan botol infus dan jarum di tanganku itu basah. Sepertinya bocor. Dan, o lala! Ibu memutuskan, agar jarum infus itu dipindahkan saja. Aku yang sebenarnya sudah jera untuk ditusuk – tusuk lagi, hanya bisa mengangguk dengan pasrah. Rasa sakit yang luar biasa itu, harus aku nikmati lagi. Seorang perawat lelaki memindahkan tusukan jarum ke punggung tangan kiriku. Malangnya, setelah dicoba ternyata pembuluh darah di tanganku pecah. Sang jarum harus bergerilya lagi mencari lokasi. Bagaimana denganku? Tentu saja, masih dengan pasrah. Alhamdulillah, di tusukan yang ketiga tuan jarum mau bersahabat denganku. Dia sepertinya baru merasa nyaman berada di pergelangan tangan kananku. Dan malam itu, adalah malam pertamaku bertemankan botol infus yang terus menetes teratur satu … satu ….

Keesokan paginya, babak baru sudah menantiku. Hari itu kumulai dengan menyapa tuan jarum kembali. Ya, aku harus cek darah lagi. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan trombositku. Cek darah yang akhirnya kulalui setiap pagi ini, jadi terasa biasa bagiku. Sakitnya memang tidak seperti pada saat memasukkan jarum infus, tapi yang namanya berhubungan dengan tuan jarum sebisa mungkin sangat ingin aku hindari. Hasil cek darah pagi itu, membuatku terutama ibu semakin cemas. Angka trombositku menurun menjadi 110.000 saja. Dan penurunannya terus terjadi hingga ke nilai 54.000. Namun, betapa di sini kembali Allah menunjukkan tak terhingga kasih sayang – Nya. Aku yang seharusnya lemah dengan kondisi trombosit seperti itu, masih diberi – Nya kekuatan untuk tetap bercanda, tertawa, dan tentunya makan. Ya, untuk yang terakhir, perawat pun sampai kubuat heran. Nafsu makanku tidak terlalu signifikan berkurang. Menu makanan yang rutin hadir di setiap harinya, selalu berhasil kutuntaskan. Rekan, sahabat, saudara, dan semua yang berkunjung bahkan sering menyeletuk tak percaya bahwa seorang gadis dengan jarum dan botol infus di depannya saat itu, adalah pasien demam berdarah dengan trombosit yang sudah sangat rendah.

Aku yakin, semua hal menakjubkan yang terjadi padaku selama ‘liburan’ kemarin, tak lepas dari doa dan semangat dari mereka yang menyayangiku. Syukur dan rasa terima kasih tak terhingga terus mengalir, karena Allah membuatku sadar akan begitu banyaknya cinta dan kasih sayang di sekelilingku. Terutama untuk wanita tangguh dan hebat yang tak pernah melepaskan perhatiannya untukku, ibundaku tercinta. Telah lama aku tak merepotkannya hingga seperti kemarin :p. Aku pun jadi bisa banyak menghabiskan waktu berdua dengannya.

8 Juni, ba’da maghrib aku bersiap untuk kembali ke rumah. Dokter sudah mengijinkan pulang, walau kondisi trombositku saat itu masih 60.000. Ibu meyakinkan, bahwa aku akan semakin membaik dengan suasana di rumah. Aku pun sudah terlalu lama absen dari rutinitas sehari – hari. Itu yang paling menjadi beban pikiranku, tanggung jawab dan amanah yang seharusnya aku emban.

Alhamdulillah, malam itu aku merasakan kembali nikmatnya kasur, bantal, dan guling di rumah.

Pasca opname itu ternyata warna – warni rasanya. Yang paling nyata, adalah pipi yang semakin tidak proporsional. Melepas status sebagai pasien, ternyata berat badanku bertambah. Ketembeman pun semakin melekat nyata dalam wajahku. :p Pulang dari RS, aku belum boleh beraktivitas berlebihan. Walau sudah ingin berlari saja rasanya diri ini, tapi aku berusaha bersabar. Dua hari kuhabiskan untuk istirahat total di rumah. Di hari ketiga, bismillah, aku memutuskan untuk memulai aktivitas kembali. Kuakui ini terbilang bandel dan sedikit melanggar titah dokter. Karena kondisi trombosit yang dicek terakhir, masih jauh dari normal, 75.000! :p Tapi kuyakinkan hatiku, bahwa aku kuat dan bisa. Telah banyak yang menanti tuk aku selesaikan. Aku juga sudah kangen sama dunia luar! :D

Terimakasih ya Robb, wisata kali ini mengajarkanku banyak hal. Syukurku yang paling tak terkira, aku memiliki banyak kawan, sahabat, saudara yang menyiramiku dengan bgeitu banyak cinta.

Semoga aku selalu bisa mengambil hikmah di balik setiap kisah.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih atas pelajaran yang tlah kau tunjukkan

Anonim mengatakan...

Masih seperti yang kukenal dulu,
slalu ada senyum dikala suka maupun duka :)
-bukan anonim-

Anonim mengatakan...

Alhamdulillah dirimu udah dikasih kesembuhan.. take care ur self ya..
:)

**teman dari jauh**

wahyukurnianto mengatakan...

walah su su ...
akhirnya merasakan jarum buat donor darah kan ...

walau beda, tapi kalo nggak salah jenis jarumnya sama tu ... :p :p :p