“Aku pulang
sekarang,ya?”
“Sepertinya belum Mas,
aku belum merasakan apa – apa….”
Kurang lebih, itu isi pesan singkatku dengan suami di Rabu
siang itu. Aku memang sudah berjanji padanya
untuk selalu mengabarkan setiap kondisi yang terjadi padaku. Sederhana.
Karena kami terpisah oleh jarak ribuan kilometer. Dan dalam kondisi siaga
seperti saat itu, tentu sebagai seorang suami, ia memiliki beban moral
tersendiri. Pun setelah mendengar kabar dariku tentang flek – flek yang mulai
keluar, bisa kurasakan kepanikan dalam bahasa smsnya.
Rabu siang tanggal 1 Agustus 2012, sesaat sebelum aku
berwudhu untuk sholat Duhur, aku mendapati flek – flek serupa darah berwarna
kecoklatan. Ah… apakah sudah waktunya ? Secara usia kandungan memang sudah
masuk 9 bulan, tapi apa iya ini tandanya ? Aku mencoba menenangkan diri, dan memutuskan untuk tetap berwudhu dan sholat.
Selesai sholat, aku masih belum benar – benar bisa tenang. Di jam itu, ibuku
masih belum pulang dari kantornya. Kuputuskan untuk menelpon ibu mertua, demi
menenangkan hati.
“Sudah mulai keluar
flek Bu, tapi saya belum merasakan apa – apa….”
“Iya mbak, tapi itu
sudah tanda – tanda… tiap wanita berbeda – beda. Ada yang langsung merasakan
sakit, ada juga yang tidak. Sudah… sekarang samean tenangkan diri dulu. Tetep
ndak papa sholat dan ngaji. Sama terus berdoa supaya dimudahkan semuanya. Ibu
juga berdoa dari sini.”
Aha.. jika memang ini tandanya,berarti tak lama
lagi…sebentar lagi… kita akan bertemu,nak…. Aku berusaha menenangkan diri
sesorean itu. Walau tetap saja, gelisah dan rasa takut kadang menyelinap. Aku
putuskan mengikuti saran ibu untuk memperbanyak mengaji. Apalagi kurang 1 juz
lagi aku mengkhatamkan bacaan Qur’an ku di awal Ramadhan ini. Ya,
Alhamdulillah… walaupun sedang hamil tua, Allah masih memberiku kesempatan
& kekuatan untuk tetap menjalankan ibadah puasa. Bermodal keyakinan,
insyaAllah kuat! Aku masih bertahan hingga hari itu. Sambil mengaji, kuelus –
elus lembut perutku sambil membisikkan, “Adek,
keluarnya nunggu Ayah pulang ya,Nak…”
Sekitar jam 5 sore, ada telepon masuk dari suamiku. Dia
memastikan sekali lagi tentang kondisiku hingga sore itu. Aku pun
meyakinkannya, bahwa hingga detik itu aku masih merasa biasa – biasa saja.
Belum ada yang berubah dan kurasakan, apalagi rasa sakit. Sekali lagi, aku
memintanya untuk tenang. Dan yang mengagetkanku, saat kutanya dia ada di mana,
dengan santainya dia menjawab, “Nih, aku
di kereta.. mo pulang ke sana. Udah, samean ndak usah kaget. Tadi aku juga
telpon ibu dulu. Dan beliau yang meyakinkanku untuk pulang. Aku jauh sayang..
kalo nunggu besok atau nunggu kabar sampe samean ngerasa sakit dulu, bisa –
bisa ndak nututi. InsyaAllah si dedek ndak lama lagi keluar. Tunggu ayah
ya,Nak…”
MasyaAllah… tak terasa air mata ini menetes. Tidak bisa membayangkan bagaimana pontang-pantingnya suamiku di sana. Menerima kabar dariku siang, ujug – ujug sore itu sudah duduk manis di kereta. Padahal aku tahu sendiri, bukan perkara mudah untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain di sana. Di kota sebesar Jakarta, kemacetan sudah menjadi rahasia umum. Belum lagi harus ngurus cuti, beli tiket, nyiapin ini itu… ah,suamiku…… :’)
MasyaAllah… tak terasa air mata ini menetes. Tidak bisa membayangkan bagaimana pontang-pantingnya suamiku di sana. Menerima kabar dariku siang, ujug – ujug sore itu sudah duduk manis di kereta. Padahal aku tahu sendiri, bukan perkara mudah untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain di sana. Di kota sebesar Jakarta, kemacetan sudah menjadi rahasia umum. Belum lagi harus ngurus cuti, beli tiket, nyiapin ini itu… ah,suamiku…… :’)
Rasa tenangku bertambah. Ayah jabang bayi yang masih sering
bergerak – gerak aktif di dalam sana, sedang dalam perjalanan pulang. Aku
melewati malam itu dengan senyuman.
Menjelang sahur, sekitar pukul 3 pagi, aku merasa ingin
buang air kecil. Dan betapa kagetnya aku, saat kudapati flek – flek yang keluar
walau belum terlalu banyak, namun semakin jelas. Aku putuskan untuk sms suami. Dan
seperti biasa, dia selalu berusaha menenangkanku sambil berpesan untuk tidak
berpuasa dulu hari itu. Aku manut, dan memilih untuk melanjutkan tidurku lagi.
Namun ternyata aku tidak benar – benar bisa tertidur. Karena aku mulai
merasakan sesuatu yang aneh di perutku. Rasa sakit yang belum terlalu kuat,
datang dan pergi. Apa ini yang namanya kontraksi ya ? Hatiku bertanya – tanya
sendiri.
Setelah sholat Subuh, rasa sakit itu masih ada. Ritmenya pun
semakin jelas. Aku sempatkan untuk menanyakan ini pada ibu sebelum beliau
berangkat bekerja.
“Kalo sudah semakin
sering sakitnya, langsung ke rumah sakit aja ya,mbak… mungkin memang sudah
saatnya…” ibu yang berusaha tenang tetap tak mampu menyembunyikan gurat –
gurat kekhawatiran.
Setelah memastikan bahwa aku baik – baik saja dan masih bisa
ditinggal, beliau berangkat. Dan aku, memutuskan untuk berbelanja sayur ke mlijo di depan gang sambil jalan – jalan
pagi. Dalam hati, jika memang sudah dekat saatnya aku harus tetap bisa tenang
dan rileks. InsyaAllah itu akan membantu mempermudah jalannya persalinan. Sampai
di rumah, gelombang dalam rahimku itu semakin kuat. Namun jaraknya masih sama,
kira – kira setiap 10 - 15 menit sekali.
Selesai sarapan, aku memilih untuk rebahan sambil sesekali melirik jam di handphone. Sambil menikmati gelombang cinta yang datang dan pergi, tak henti – hentinya aku bersyukur pada Allah. Karena Dia telah memberiku kesempatan hingga sampai di detik – detik ini.
Selesai sarapan, aku memilih untuk rebahan sambil sesekali melirik jam di handphone. Sambil menikmati gelombang cinta yang datang dan pergi, tak henti – hentinya aku bersyukur pada Allah. Karena Dia telah memberiku kesempatan hingga sampai di detik – detik ini.
Tepat pukul 11 siang, sebuah taxi datang. Aku tahu itu
suamiku. Setelah sebentar memeluk dan mencium perutku, dia menyuruhku bersiap –
siap. Taxi sengaja dipesan sekalian untuk mengantar kami ke rumah sakit. Sambil
meringis, aku sambar baju dan jilbab yang sudah kusiapkan. Tanpa istirahat atau
sekedar minum air putih dulu, suamiku dan aku langsung berangkat lagi menuju
rumah sakit.
Di dalam taxi, gelombang itu semakin kuat. Setiap ia datang, tanpa ragu kuremas tangan suamiku. Dengan tetap tenang, ia mengusap kepalaku sambil membisikkan kata – kata sabar.
Di dalam taxi, gelombang itu semakin kuat. Setiap ia datang, tanpa ragu kuremas tangan suamiku. Dengan tetap tenang, ia mengusap kepalaku sambil membisikkan kata – kata sabar.
Setibanya di rumah sakit, ibu telah menunggu di pintu masuk. Wajah beliau nampak ikut memucat, melihatku berjalan perlahan sambil sesekali meringis. Ya, ibu mana yang tega melihat anaknya menahan sakit. Sampai di dalam, aku dibaringkan di sebuah ranjang untuk dilakukan pemeriksaan dalam. Kebetulan sekali, bidan yang saat itu memeriksa adalah temanku semasa masih duduk di sekolah dasar, Febriana namanya.
“Masih pembukaan 1,Ges… masih lama. Biasanya kalo anak pertama, bisa sampai 14 jam ke pembukaan lengkap.” jelasnya sambil tersenyum.
Wow, 14 jam ? Tak bisa kusembunyikan rasa kagetku. Itu
artinya, aku masih harus bertahan dan menikmati gelombang ini, hingga 14 jam
lamanya.
“Gimana, mau tinggal
dan nunggu di sini, apa mo pulang ? Monggo terserah samean aja…”
Dalam hati aku berfikir, daripada harus menikmati gelombang
ini di sebuah tempat yang berjudul rumah sakit, lebih baik aku pulang. Suasana
rumah setidaknya bisa membuat hati lebih santai dan tenang. Ya, dan aku
memutuskan untuk pulang lagi. Tas besar berisi perlengkapan bersalin sengaja
kutitipkan di sana, karena toh aku nanti akan kembali lagi.
Sampai di rumah, aku dan suami memilih beristirahat di
kamar. Berbaring berdua sambil tetap berpegangan tangan. Kami ngobrol banyak
hal. Sekali dua kali suami menggodaku dan melontarkan candaan. Aku tahu, dia
berusaha menghiburku dan membuatku rileks di tengah perjuangan menikmati
gelombang itu. Saat sang gelombang datang, seperti biasa aku langsung meremas
kencang tangan suamiku. Tak sedikitpun kutemui
rona keluh kesah di wajahnya atas perlakuanku itu. Sebaliknya, penuh
keteduhan sambil sesekali mengusap lembut perutku, ia membisikkan kata – kata
sabar dan semangat. Untukku, dan untuk jabang bayi di dalam sana.
Perjuangan itu, berlanjut hingga pukul 4 sore. Saat ibuku datang, jeda waktu datangnya gelombang sudah kurang dari 5 menit sekali. Dan kami pun memutuskan untuk kembali lagi ke rumah sakit sore itu juga.
Sesaat sebelum adzan maghrib, aku sudah berbaring lagi di ranjang yang sama. Bidan yang menangani kali ini berbeda. Bu Puji namanya. Bidan senior yang tak lama lagi memasuki masa purnanya.
“Sudah pembukaan 6,mbak Gesti… sebentar lagi. Ditunggu saja di sini ya…”
Perjuangan itu, berlanjut hingga pukul 4 sore. Saat ibuku datang, jeda waktu datangnya gelombang sudah kurang dari 5 menit sekali. Dan kami pun memutuskan untuk kembali lagi ke rumah sakit sore itu juga.
Sesaat sebelum adzan maghrib, aku sudah berbaring lagi di ranjang yang sama. Bidan yang menangani kali ini berbeda. Bu Puji namanya. Bidan senior yang tak lama lagi memasuki masa purnanya.
“Sudah pembukaan 6,mbak Gesti… sebentar lagi. Ditunggu saja di sini ya…”
SubhanAlloh. Antara percaya dan tidak, bahagia sekali
rasanya. Terlebih Bu Puji mengatakan, untuk anak pertama, ini termasuk cepat
sekali. Dan biasanya, jika sudah sampai di pembukaan 6, menuju pembukaan
lengkap tidak lama lagi. “Terimakasih, Rabb… mohon beri hamba kekuatan lagi dan
lagi…”
Suami dan ibuku bergantian menjaga di ruang bersalin. Terus memberikan semangat kepadaku yang sudah memposisikan diri semanis mungkin di atas ranjang perjuangan.
Satu…dua…tiga…entah sudah berapa kali gelombang itu datang lalu pergi lagi. Ibu menggenggam tanganku kuat – kuat. Sesekali, kudapati ada air mengalir di sudut matanya. Beliau tahu pasti apa yang kurasakan saat itu. Karna, Ya… Beliaupun pernah merasakan hal yang sama saat berjuang melahirkan dulu. Ah, Ibu… beginikah rasanya perjuangan dan pengorbananmu dulu, menjadi perantara hadirnya gadis mungil yang kini terbaring lemah di hadapmu. Merasakan dan memperjuangkan hal yang sama.
Suami dan ibuku bergantian menjaga di ruang bersalin. Terus memberikan semangat kepadaku yang sudah memposisikan diri semanis mungkin di atas ranjang perjuangan.
Satu…dua…tiga…entah sudah berapa kali gelombang itu datang lalu pergi lagi. Ibu menggenggam tanganku kuat – kuat. Sesekali, kudapati ada air mengalir di sudut matanya. Beliau tahu pasti apa yang kurasakan saat itu. Karna, Ya… Beliaupun pernah merasakan hal yang sama saat berjuang melahirkan dulu. Ah, Ibu… beginikah rasanya perjuangan dan pengorbananmu dulu, menjadi perantara hadirnya gadis mungil yang kini terbaring lemah di hadapmu. Merasakan dan memperjuangkan hal yang sama.
Pukul 19.30, Bu Puji
melakukan pemeriksaan dalam kembali. Sudah pembukaan 8. Dag..dig..dug…
Kurasakan jantungku berdetak semakin kencang mengiringi pasang surut gelombang
dalam rahim. Bidan dan perawat yang ada dalam ruangan itu, tampaknya sudah
mulai mempersiapkan segala peralatan untuk persalinan.Sebentar lagi, ya…tak
lama lagi. Kita akan bertemu malaikat kecil. Seperti apakah sosokmu. Adakah kau
seorang bidadari atau pangeran mungil.
Pukul 20.00, gelombang yang datang semakin hebat dan berjarak dekat. Bu Puji menyampaikan, sepertinya memang sudah saatnya. Sudah pembukaan lengkap. Beliau sempat mengajariku bagaimana cara mengejan. Ya, mengejan harus dilakukan bersamaan dengan gelombang yang datang. Dan letak kekuatannya bukan di leher (atas), tapi di bagian bawah. Serupa saat kita ingin buang air besar.
Gelombang pertama di pembukaan lengkap itu tampaknya akan datang. Satu…dua… Uuuuuuhhhhhhh…. Aku berusaha mengejan sekuat yang aku bisa. Tapi ternyata salah. Aku masih mengejan di bagian atas. Saat gelombang itu datang, memang rasanya spontan ingin mengejan sekuat – kuatnya. Tapi ternyata juga tidak sesederhana dan semudah itu. Kesempatan kedua datang, masih belum berhasil. Menjelang kesempatan ketiga, dokter dan bidan yang hadir di ruangan itu menyarankan untuk dilakukan induksi. Karena setelah ditunggu – tunggu, tiba – tiba sang gelombang menghilang. Jika tak ada gelombang, bagaimana mungkin bisa mengejan. Tentu saja yang juga dikhawatirkan adalah kondisi bayi di dalam jika tidak segera dikeluarkan.
Botol dan selang infus sudah disiapkan. Suami tetap
menggenggam erat tanganku. Dalam tatapnya, aku tahu ada sejuta doa dan semangat
yang mengiri perjuangan ini. Aku hanya bisa berpasrah, benar – benar berserah
diri memohon yang terbaik dari Alloh. Ketika jarum infus sudah disiapkan, tiba
– tiba dokter mengatakan untuk membatalkan induksi. Karena kepala bayi yang
sudah mulai terlihat dan tanda – tanda kontraksi yang mulai muncul lagi.
Alhamdulillah… Kamu memang anak pintar,Nak… hayuk berjuang lagi ya…
Begitu gelombang yang ketiga ini datang, aku berusaha meyakinkan diri, bahwa aku bisa. Bismillahirrohmanirrohiim. Dan, uuuuuhhhh……… dalam hitungan detik, pukul 20.15 lahirlah malaikat kecil kami itu. Laki – laki. Bersamaan pula dengan pecahnya tangis haru. Ibuku menangis. Suamiku yang sedari tadi menopang tubuhku, juga menangis sambil memeluk dan menciumiku. Dan aku, sambil tak henti – hentinya mengucap syukur dan bertasbih, tak mampu lagi berkata apa – apa.
Hangat. Hangat sekali rasanya ketika kurasakan ada sepasang
kaki kecil menendang – nendangku dari bawah sana. Setelah sedikit dibersihkan
dan diselimuti, ia langsung diletakkan di dadaku. Inilah saat – saat terindah
itu. Saat di mana pertama kalinya kedua mata kami bertemu. Saat di mana kulit
kami bersentuhan juga untuk yang pertama. Dan yang paling menakjubkan, saat
naluri seorang bayi membawanya untuk menemukan puting susu ibunya. Itulah pula
pertama kalinya bayi yang masih merah itu menyusu kepadaku. SubhanAlloh… aku
telah menjadi seorang ibu.
Kurang lebih hampir 1 jam lamanya proses IMD (Inisiasi
Menyusu Dini) itu. Tak lama setelahnya, bayi kecil kami dibersihkan dan
ditimbang. Beratnya 3,2 kg dengan panjang 51 cm. Alhamdulillah, sehat dan
sempurna. Memang itulah doa yang selalu kami panjatkan selama proses kehamilan.
Sengaja kami tak pernah menanyakan jenis kelamin si jabang bayi setiap jadwal
periksa rutin bulanan dilakukan. Lelaki maupun perempuan, sama saja bagi kami.
Keduanya merupakan anugerah dan rizqi yang terindah dari Allah. Yang terpenting
sehat dan sempurna. Walau kebahagiaan tak terkira, tetap saja tak bisa
disembunyikan oleh suami dan ibuku saat mereka mengetahui bahwa bayi kami laki
– laki. Ya, ternyata harapan itu walau kecil tetaplah ada. Mereka sempat
terbersit ingin putra pertama kami itu laki – laki. Sekali lagi sudah
sepantasnyalah kami bersyukur.
Selesai diadzani oleh suami, aku dan bayi mungil itu dibawa
ke kamar. Sengaja memang aku meminta kepada pihak rumah sakit untuk melakukan
rooming in (rawat gabung) dengan bayiku. Tujuannya tak lain adalah, agar aku
bisa selalu dekat & bisa menyusuinya kapanpun dia mau. Dan Alhamdulillah,
rumah sakit tempatku bersalin ini, sangat pro ASI. Sehingga niatku untuk benar
– benar memberikan ASI eksklusif itu sama sekali tidak dipersulit.
Malam pertama itu, sukses kami lewati bertiga. Aku, suamiku,
dan bayi lelaki kami. Lengkap rasanya keluarga kecil ini. Dengan sebuah status
baru sebagai seorang ibu, aku tahu ada tanggung jawab besar yang tak mudah,
sedang menantiku. Dan yang paling dekat di depan mata adalah, aku ingin bisa
memberikan haknya untuk mendapatkan ASI hingga 2 tahun, insyaAllah.
Bayi laki – laki itu, kami beri nama Ibrahim Putra Ramadhan.
Dengan harapan, kelak ia pun meneladani kekuatan dan ketegaran bapak para nabi,
Ibrahim. Aamiin.
*Suatu hari entah
kapan, mungkin kau telah menjadi sesuatu saat membaca ini,Le… Ya, inilah
perjalananmu & perjuangan kita berdua, yang coba Ibu simpan dalam goresan
kata – kata. Ayah maupun Ibu, tak pernah meminta balasan apapun untuk setiap
kisah yang telah kita lewati bersama. Jadilah putra yang soleh,Nak.. Ya,cukup
itu saja…. J
1 komentar:
Jadi dedek yg Soleh ya, Baim :)
Posting Komentar