Sabtu, 20 Agustus 2011

Semua tentang Kita

Gemuruh yang memecah keangkuhan sunyi....
kita tertawa lepas di bawahnya,
berlarian dan saling berteriak seperti anak kecil,
sahut menyahut seakan tak mau kalah oleh gemuruh air,
ingin tunjukkan pada semesta, bahwa kita ada......

Setapak yang kadang terjal dan mendaki,
kita lalui bersama tanpa sedikitpun peduli.
Kita tahu.... Kita telah sama - sama lelah,
namun senyum dan celoteh itu, yang menguatkan kita untuk terus melangkah...

Beralaskan pasir putih,
dan ombak yang datang dan pergi membawa gelitik buih.
Berbalut semangat dan tawa,
mengalir berjuta mimpi dan cita dari lisan kita
Sambil tak kapok - kapoknya menebak, mana benua Australia.
Lupa waktu,
memandangi laut lepas, seakan kita pun bersama - sama ingin terbang bebas....

Gubug kecil di pinggiran danau yang menjadi saksi.
Bagaimana kita berdebat tentang rajawali,
dan sok peduli mengomentari sampah yang berserak di sana - sini.
Satu yang paling kuingat dalam perjalanan ini.
Kita yang saling menertawakan,
kekonyolanku berteriak histeris tak karuan,
saat kita nekat mencuri jalan,
dan harus meniti jembatan yang cukup tinggi..

Malang ( Coban Rondo - Coban Talun - Coban Pelangi - Coban Rais - Balekambang - Lembah Dieng )
Kita pernah ada dan menoreh senyum di sana.......
 Aku merindukan kita..........

Sabtu, 06 Agustus 2011

Bintang



Bintang - bintang itu, berkelip isyaratkan sesuatu,
adakah ia merindu..... ? 

Rabu, 03 Agustus 2011

Ibu atau Istri

Ketika seorang lelaki dihadapkan pada pilihan, ibu atau istrinya, mana yang harus ia dahulukan ?

Tergelitik sekali hati ini, ketika melihat salah satu scene sinema Ramadhan 'Para Pencari Tuhan 5' yang menceritakan tentang bagaimana seorang suami dihadapkan pada kondisi dilematis, harus memilih atau mendahulukan siapa, antara ibu atau istrinya. Azam (Agus Kuncoro) memilih untuk keluar rumah dan pura - pura tidak mendengar apapun, ketika ibu dan Aya (Zaskia) istrinya, memanggil namanya dari dalam kamar mereka pada waktu yang bersamaan. Baginya itu adalah yang paling adil, ketimbang bingung memutuskan harus masuk ke kamar yang mana. Hingga celetuk Azam yang terakhir kudengar, "Ibu dan istriku... keduanya adalah pintu surga yang sama - sama sulit......"
Dan masih banyak scene - scene lain, yang mengisahkan hal serupa. Yang dari kesemuanya, selalu membuatku tersenyum - senyum geli sendiri namun akhirnya merenung dan tergelitik untuk menuliskan ini.

Hasil surveyku terhadap beberapa kawan lelaki, hampir keseluruhan dari mereka, adalah 'anak ibu'. Bukan. Bukan berarti anak ibu yang aku maksud di sini adalah anak manja yang selalu bersembunyi di balik ketiak ibunya. Anak ibu yang kumaksud, adalah mereka yang begitu menyayangi dan sangat dekat sekali dengan ibunya. Ya, sebengal apapun dia, secuek apapun sosoknya, tapi saat dihadapkan pada satu kata, ibu, semua tadi langsung berganti dengan kelembutan dan kasih sayang. Aku pribadi, adalah seseorang yang begitu mengagumi siapapun lelaki yang sangat menyayangi dan memuliakan ibunya. Karena biasanya, dengan sikap dasar itu, mereka pun akan selalu memuliakan wanita, termasuk istrinya nanti.

Lalu bagaimana jika suatu hari nanti kita dihadapkan pada kondisi, memiliki suami yang begitu menyayangi ibunya ? Atau sebaliknya, memiliki ibu mertua yang sangat menyayangi anak lelakinya ? Tak perlu meriang dan panas dingin dulu. Yuk, coba kita pahami lagi bagaimana kedudukan ibu, suami dan kita sebagai seorang istri.
Ibu, adalah seseorang yang mengandung, melahirkan, merawat, serta mendidik suami kita hingga bisa sesempurna saat ini. Suatu hal yang wajar jika seorang ibu begitu mencintai dan menginginkan yang terbaik bagi buah hatinya. Bukankah demikian juga yang tercermin dari ibu kita sendiri. Dan dalam Islam, bagi seorang lelaki yang telah menikah, yang paling berhak atas ketaatan dirinya adalah ibunya. Sedangkan yang paling berhak atas ketaatan dan diri seorang istri adalah suaminya. Tentunya ini juga tidak berarti bahwa seorang suami hanya wajib memberikan ketaatan dan perhatian lebih kepada ibunya seorang, karena hak seorang istri kepadanya, juga menuntut sebuah tanggung jawab besar yang harus ditunaikan. Seorang suami yang berbekal ilmu, dan tentunya iman dan taqwa, pasti mampu dengan adil mengkondisikan hal ini sesuai keadaan dan kebutuhan saat itu. Suami jugalah yang wajib mendidik dan mengajarkan pada istrinya, bagaimana adab kepada kedua orang tua. Baik kepada kedua orang tuanya sendiri, maupun kedua orang tua suami. Mendidik melalui teladan yang diberikan, mungkin adalah cara yang terbaik. Dengan suami yang menghormati dan memuliakan orang tua istri, maka seorang istri pun diharapkan juga akan menghormati dan memuliakan orang tua suaminya.

Seorang istri, siapapun dan bagaimanapun sosoknya, pastilah ingin diperhatikan dan disayangi secara utuh. Terlebih oleh seseorang yang telah mengkhitbah dan menikahinya. Dan satu hal penting yang harus disadari oleh seorang istri nanti, bahwa mereka tidak hanya menikahi seorang lelaki saja, melainkan juga apa - apa saja yang suaminya miliki, termasuk orang tua dan seluruh keluarganya. Ibu suami kita nanti, juga adalah ibu kita. Jadi tidak perlu ragu untuk bersahabat dengannya. :-)

Perselisihan dan perbedaan pendapat yang terjadi di tengah perjalanan nanti, tentu adalah hal yang sangat lumrah. Karena justru disitulah letak indahnya sebuah pernikahan. Ketika beragam perbedaan tidak harus selalu dileburkan, melainkan diselaraskan walau tetap dengan warna warninya masing - masing. Dan yang terpenting, dari situlah kita dapatkan hikmah yang mendewasakan.
Jauhkan diri dari segala prasangka. Ikhlaskan setiap langkah hanya untuk beribadah dan mencari keridhoan-Nya. Ketika kita berjuang sekuat tenaga untuk menjadi istri yang baik, ibu suami kita pun pasti dengan otomatis akan menyayangi dan menghargai perjuangan kita. Karna beliau tahu, bersama kita, putra tercintanya pun mendapatkan kebahagiaan.

Rasa cemburu adalah rasa yang begitu wajar dan sangat manusiawi. Namun jika hal ini bisa sama - sama kita sadari dan pahami, tak ada alasan lagi bagi seorang istri untuk cemburu berlebihan terhadap ibu suaminya, bukan? :-)


~lecutan semangat bagi diri sendiri,untuk terus belajar dan belajar~

Selasa, 02 Agustus 2011

Menyapamu (kembali)

Tak ada yang lebih pantas terucap dari lisan ini selain ungkap syukur tak terhingga, karena Allah telah sekali lagi memberi aku, kamu, dan kita semua kesempatan untuk menyapa Ramadhan.
Selalu ada semangat baru.... selalu ada kisah dan hikmah baru.....selalu ada jiwa - jiwa yang terlahir baru.... Itulah yang kurasakan setiap kali Ramadhan datang. Bagaimana mungkin bahagia tak menyapaku pula di saat - saat seperti ini. Hari - hari yang tak pernah tak kurindukan kehadirannya di sepanjang tahun.

Entah kebetulan atau apa, Ramadhan kali ini dimulai di tanggal 1 Agustus, dengan harinya yang Senin pula. Hari di mana semua orang mengawali aktivitasnya seminggu ke depan. Bagiku, ini terasa pas sekali. Dan pagi tadi, walau masih dengan mata sedikit lengket dan jiwa yang aras - arasen, kupaksakan raga ini membelah dinginnya udara pagi bersama 'Upik' yang kini adalah teman setia ke manapun aku pergi.
Tiba di halaman parkir kantor, tak terlalu banyak yang berbeda. Hanya yang kurasakan, pagi itu terasa sunyi dan lengang. Entah aku yang kepagian, atau memang mayoritas orang lebih memilih 'beribadah' lebih maksimal di awal Ramadhan ini.

Ada hikmah dan kisah baru yang langsung dihadirkan oleh Allah, di awal Ramadhanku ini. Ya, aku, mungkin lebih tepatnya kami, baru saja kehilangan seorang sahabat, kakak, istri, sekaligus ibu yang ketegaran & ketabahannya patut diteladani. Duka menyapa kami.
Mbak Yurike, begitu kami biasa memanggilnya, dipanggil oleh Allah di usianya yang masih begitu muda hari Sabtu lalu. Mbak Rike adalah kakak kelas yang terpaut 4 tahun di atasku saat SMK dulu. Aku sendiri baru mengenalnya saat telah benar - benar hijrah di kota kelahiranku ini. Kala itu, aku bersama rekan sesama alumni yang berdomisili di Jember, mengunjungi mbak Rike untuk menjenguk sekaligus menyampaikan amanah dari rekan - rekan alumni Wikusama yang tersebar di berbagai kota dan provinsi.
Sudah cukup lama memang, mbak Rike harus berjuang dan bertahan dengan Diabetes yang semakin waktu makin melemahkan tubuhnya. Hingga terakhir, ia harus benar - benar bergantung pada suntikan insulin yang tidak pernah boleh telat waktu sekaligus takarannya.
Dengan kondisi kesehatan seperti itu, mbak Rike tidak pernah berhenti untuk terus berkarya. Ia memang sosok perempuan yang lincah dan selalu ingin memanfaatkan setiap peluang yang ia miliki. Terlihat jelas sekali di matanya, ia tak pernah mau bergantung dan menyusahkan siapapun. Kemauannya tinggi, walau sesungguhnya ia sangat menyadari itu tak didukung oleh kondisi fisiknya.
"Aku cuma ndak pengen nganggur dan akhirnya malah ngerasain + kepikiran sama sakitku.... tambah stress..." itu yang selalu ia ucapkan saat kami, sahabat - sahabat dan keluarga, mengingatkan tentang kondisi kesehatannya.

Mulai dari usaha catering yang dikerjakannya seorang diri, reseller peralatan rumah tangga, krupuk, aneka makanan,kue kering, souvenir, dan apapun yang bisa ia jual, semua dilakoninya demi terus bertahan dan melawan sisi lain dari jiwanya yang memaksa untuk kalah dan menyerah pada penyakitnya.Mbak Rike benar - benar mengajarkan padaku tentang keuletan, kerja keras, dan perjuangan dalam hidup. Malu rasanya, jika menyadari diri yang diberi kesempurnaan dan kesehatan ini, masih sering kufur akan nikmat dan mudah mengeluh saat mendapat cobaan.

Yang terbayang pertama kali saat mendengar berita duka ini adalah, Jendra dan Bisma. Dua putra kecil yang dititipkan Allah pada ibu muda ini. Tak tega rasanya membayangkan 2 anak yang masih berada di usia emas, harus kehilangan peluk dan belai mesra kasih sayang seorang ibu. Aku hanya percaya, bahwa Allah adalah Maha Penjaga, Maha Pelindung, dan Maha Kaya. Aku pun yakin, takdir ini adalah yang terbaik bagi mbak Rike juga seluruh keluarga yang ditinggalkan.

Hal penting lain yang juga tak mungkin kulupakan dalam episode ini, adalah tingginya kesetiakawanan dan kepedulian yang diajarkan oleh ikatan alumni SMK ku ini. Aku sendiri yang menyaksikan dengan mata kepala ini, mulai dari mbak Rike masih sakit, hingga terakhir kemarin,  bantuan baik berupa spirit, doa hingga materi tak henti - hentinya mengalir. Tak heran saat kami berpamitan untuk pulang sambil menyerahkan amanah dari teman - teman, Ibu mbak Rike langsung memeluk kami. Tangisnya pun pecah. Beliau menyampaikan ungkap haru & terima kasih atas kepedulian sahabat - sahabat mbak Rike, alumni MOKLET selama ini.
SubhanAllah... sungguh aku bersyukur sekaligus bangga, telah menjadi bagian dari keluarga besar nan hangat ini. Semoga silaturahim ini akan kekal terjaga hingga nanti. Hingga satu persatu dari kita pun, akan memasuki episode yang mbak Rike jalani saat ini. Dan semoga kita masih mampu saling menebarkan kehangatan dan manfaat.

"Selamat jalan sahabat kami...... moga Allah mengampuni segala dosa dan memberikan padamu tempat yang terbaik di sisi-Nya........"

p.s. : "Jendra....Bisma.... tetap jadi anak yang kuat ya.... Percayalah...bunda sangat menyayangi kalian.... Dan bahagiakan bunda di sana, dengan menjadi anak yang soleh......"