Jumat, 13 Juni 2008

Mengulang Hari

Allahu Rabbi....
Betapa malunya diri, yang hingga kini belum bisa menjadi layaknya mentari bagi bumi...

Beri hamba kesempatan ya Allah,
izinkan hamba tuk berbenah menjadi jauh lebih baik lagi...
Jangan sampai orang berkata,

"Kau bukanlah apa, padahal sudah dewasa......"

Selasa, 10 Juni 2008

Biskit, 15 - 18 Mei 2008 (part 1)

Kamis, 15 Mei 2008

Sore itu mendung hitam menggelayuti langit, menggelitik rasa ragu untuk segera meninggalkan "pos" tempat ku berkarya sehari - hari. Pesan melalui ponsel dari salah seorang rekan senior, menyampaikan bahwa aku ditunggu di sekret (sebutan kami untuk basecamp tercinta) tepat pukul 16 : 30, dan akan segera berangkat ke lokasi bersama rekan - rekan senior lain yang juga menyusul.
Pukul 16:00, kutinggalkan "pos" sambil memastikan semua akan baik - baik saja selama aku tinggal beberapa hari ke depan. Beginilah nasib penjaga pos yang harus bertahan & bersiaga seorang diri setiap harinya. Niat mengambil cuti barang sehari pun, selalu "digandoli" dan baru disetujui jika alasan yang aku kemukakan benar - benar mendesak dan masuk akal. Tak ingin kumembahasnya, karna saat ini aku sudah siap di sekret menunggu rekan - rekan yang katanya juga akan berangkat menyusul.

Setelah personil lengkap, ditambah checking barang bawaan, kami berempat start dari sekret pukul 17:00, namun lebih dulu mengantarkanku ke rumah mengambil barang bawaan yang tentunya sudah kupacking malamnya.
Bang Malik vs Mbak Agnes dan Bang Iga vs aku. Berempat kami menuju Biskit, yang sedianya menjadi tempat orientasi Anggota Baru LPME Ecpose 2008. Dan aku, salah satu pesertanya, baru saja berangkat menyusul karna suatu alasan yang dapat dimaklumi.

Adzan maghrib berkumandang, kami masih bergelut bersama kendaraan di jalanan. Beruntung, rumah salah seorang alumni Ecpose tak jauh lagi. Kami sempatkan mampir untuk menjemput mbak Erlin, sholat Maghrib, sekaligus melengkapi bawang bawaan (merampok berbotol - botol air). Menjelang Isya', kami lanjutkan perjalanan menuju Biskit yang sudah tak jauh lagi. Formasi berubah, karena jumlah kami bertambah. Mbak Erlin membawa satu motor lagi miliknya. Dan aku putuskan untuk membawa motornya, mengingat mbak Erlin yang imut tak mungkin jika harus membonceng aku yang sebesar ini! Formasi saat ini, Bang Malik vs Mbak Agnes (tetep), Aku vs Mbak Erlin, Bang Iga vs motornya sendiri :D

Memasuki kawasan perkampungan, jalanan mulai dipenuhi pasir dan bebatuan. Untuk penerangan jalan, kami hanya mengandalkan lampu motor, karna di sana sangat minim bahkan nyaris tak ada lampu. Rumah penduduk pun bisa dihitung, dan cenderung saling berjauhan satu sama lain. Kiri kanan sepintas yang kulihat, hanya persawahan dan pepohonan besar.
Mendekati lokasi (Biskit), keadaan jalan semakin parah, suasana pun begitu gelap dan sepi. Tak terhitung berapa kali motor yang kami tumpangi harus terpeleset dan nyaris terjatuh karna kondisi tersebut. Mbak Erlin sempat kehilangan sandalnya selama beberapa menit (entah melayang ke mana, kesulitan mencari karena suasana begitu gelap), setelah nyaris terjatuh dari motor karena terpeleset pasir. Fiiuuhh... kalo tadi jadi sameyan yang bawa motor, trus aku bonceng di belakang, bakal jadi gimana ya mbak... :P
Sama sekali tak tertemui olehku orang yang lewat atau berada di luar rumah, padahal saat itu baru jam 7 malam. Sempat merinding juga aku dibuatnya.

Pertempuran melawan gelap dan jalanan itu berakhir juga. Kuikuti Bang Malik yang memarkir motornya di depan rumah salah seorang penduduk. Sambil celingak - celinguk, kuamati lokasi sekeliling. Sama saja. Gelap dan sepi. Tak ada tanda - tanda, keberadaan kawan - kawanku yang sudah berangkat lebih dulu dengan kereta siang tadi.
Teki - teki itu terjawab, setelah mbak Agnes menyuruhku mengikuti Bang Malik. Rumah penduduk tempatku memarkir motor tadi, tentu saja bukan tempat orientasinya. Lokasi yang akhirnya kuketahui bernama Biskit dan berupa tanah lapang dikelilingi pohon - pohonan besar ini, ternyata masih harus dijangkau dengan menyeberangi sungai kecil.

Sampai lokasi, para panitia orientasi langsung menyambutku. Menanyakan alasan keterlambatan, lalu check barang bawaan. Kenak deh aku! Sisir dan sabun muka serta beberapa peralatan lain, diamankan alias disita oleh mereka. Memang di list, yang boleh dibawa hanya peralatan mandi. Tapi sabun muka kan peralatan mandi ya? Ah... seperti tak pernah ikut PLDK (Pendidikan dan Latihan Dasar Kepemimpinan) semasa sekolah dulu aja.
Barang - barang yang semula terpacking rapi, kini berserakan di atas rerumputan. Kumasukkan sekenanya, lalu bergabung bersama rekan - rekan.
Peserta kegiatan tersebut, tak lebih dari 17 orang. Sembilan orang wanita, dan delapan orang pria. Malam itu, kami terbagi dua. Para peserta pria bertugas mendirikan tenda, dan kami para wanita berkutat dengan kompor menyiapkan makan malam. Menu malam itu, mie goreng instan.

Jam 20:00, kami dikumpulkan untuk mengikuti agenda acara diskusi ke-ECPOSE an. Dengan Mbak Erlin dan Mbak Agnes sebagai pemateri, kami diajak untuk tenggelam lebih dalam lagi, mengenal dan memahami segala sesuatu tentang ECPOSE. Mulai dari sejarah, struktur, perjalanan kegiatan, dipaparkan pada kami malam itu. Beratapkan langit dan berselimutkan dinginnya malam, satu dua pertanyaan muncul dari kami mengawali diskusi tersebut.

Break sekitar 1 jam, acara dilanjutkan dengan agenda selanjutnya. Aku menyebut acara ini, "Curhat dan Kenali Aku Lebih Jauh". Karna di sini, setiap peserta diwajibkan membeberkan segala sesuatu tentang dirinya, mulai dari siapa dia, apa kelebihan dan kekurangannya, hingga senior dan teman magang (selain sebagai peserta, sebelum pelantikan, status kami masih anggota magang) yang paling disukai dan tidak disukai. Acara itu berlangsung cukup seru dan ramai. Terbongkar juga siapa yang suka siapa, dan siapa yang alergi siapa. Malam itu kami harus saling membunuh rasa gengsi, sungkan, ataupun malu. Kami harus jujur!
Sekalipun terkadang memang menyakitkan, tapi acara ini tak lebih adalah proses pengenalan lebih jauh satu sama lain, dan bertujuan sebagai bahan koreksi diri. Tentunya ini sangat bermanfaat bagi kami, yang nantinya akan berjuang bersama dalam satu organisasi.

Pukul 23:00 acara diakhiri. Kami dipersilahkan istirahat, dan diingatkan untuk agenda keesokan harinya. Sebelum menuju tenda masing2 untuk merebahkan badan, beramai - ramai kami menuju kali kecil, untuk berwudlu lalu melaksanakan sholat Isya' berjamaah.
Belum selesai sholat Isya' kloter kedua, sebagian peserta yang sudah masuk tenda, dipanggil untuk keluar dan berkumpul. Begitu rekan - rekan selesai sholat, kami semua dibariskan jadi satu. Bisa ditebak lah, apa yang terjadi sesudahnya. Ber-judulkan evaluasi, para panitia mulai "metani" apa saja yang sudah kami lakukan sehari tadi. Dipojokkan atau disudutkan, selalu menjadi ending dari acara evaluasi ini. Tak terlalu kami pikirkanlah, toh itupun yang juga akan kami lakukan jika berada di posisi mereka kelak. Dan bukankah tak terlihat seperti orientasi, jika tak ada ketegangan ? ;)

Beberapa kawan sudah tak terdengar lagi celotehnya. Terlelap. Mungkin semua kelelahan, karena menurut cerita, mereka berjalan dari stasiun kemari. Dengan jarak tempuh kurang lebih 4 - 5 km. Tentunya dengan medan yang tak mulus. Beruntung aku mengendarai motor, walau harus terpeleset beberapa kali dan tanganku yang terasa pegal hingga saat itu karna menahan setir. Ah... suasana ini mengingatkanku akan petualangan2 alam semasa masih di Malang dulu. Poncokusumo, Buring, Cuban Rondo, Cuban Talun..... Aku jadi kangen kawan - kawan seperjuangan di OSIS SMK dulu. Mereka yang kini lebih banyak berkutat dengan kesibukan kerja dan kuliah. Adakah yang beberapa kali waktu, masih mengisi waktunya dengan tidur di tengah hutan seperti yang kurasakan malam ini. Kulirik arloji dalam kegelapan. Sudah terlalu larut. Aku harus segera menyusul rekan - rekan, karna jam 4 pagi nanti kami sudah harus bangun untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya....


Jumat, 16 Mei 2008

Tak kusangka. Udara sedingin ini, kutemukan juga di kotaku yang terkenal panas. Kukira, tak ada yang bisa mengalahkan dinginnya Batu, Malang. Di pagi buta itu, kupaksakan mata yang masih tak mau berkompromi, untuk segera terbuka. Kubangunkan beberapa rekan yang masih tertidur. Aku sendiri terbangun, selain karna kedinginan, juga karena seekor binatang (sepertinya semut, entah spesies dan jenis apa) menggigit jari tengah tanganku. Yang pasti semut itu sudah membuat aku begitu kesakitan hingga akhirnya terbangun. Gigitannya panas dan menyisakan perih. Seandainya kutemukan, kutekadkan untuk menggigitnya balik!

Senam pagi akan dimulai pukul 05:00. Kusegerakan langkah menuju kali kecil untuk cuci muka dan wudlu. Tak usah tanyakan bagaimana dinginnya air sungai pagi itu....


===== TO BE CONTINUED =======

Rabu, 04 Juni 2008

Seniman Jalanan

Beberapa minggu belakangan ini, badanku serasa habis di jalan. Travelling keluar kota, bisa kulakukan lebih dari 2 kali dalam seminggu. Fiuuh... tak apalah, demi suatu misi mulia aku rela menjadi hafal rute perjalanan plus nama - nama kecamatan yang kulalui. Aku juga rela, petugas terminal, sopir, dan kondektur bus yang kebetulan beberapa kali aku tumpangi, jadi mengingat sosokku.
Tentang misi tadi, tak ingin kubahas saat ini. Karna perjuangan dan perjalanannya belum berakhir. Nanti saja kukisahkan jika semua telah menjadi pasti. (emang penting yah?! :P )

Dari minggu - minggu ku yang melelahkan itu, ada sedikit fragmen yang ingin aku angkat dan coba ceritakan di sini. Kebanyakan orang menyebut mereka dengan istilah "pengamen", tapi mulai kemarin aku memilih menyebut mereka dengan "seniman jalanan". Tak semua memang, tapi mereka inilah yang ingin aku kisahkan sekarang.
Bermodal gitar, ecek2 (botol kosong diisi pake batu atau apa aku tak tahu!), plus pipa yang dirancang sedemikian rupa hingga menghasilkan bunyi2an menyerupai gendang, dan tentunya suara/vokal (yg entah merdu atau tidak), cukup membuatku meng-apresiasi jiwa seni yang mereka miliki. Ini lepas dari konteks kelayakan hidup, pendidikan, dan sosial lho ya....
Tak jarang aku temui mereka yang bisa perform dengan baik atau setidaknya cukup menghibur perjalanan. Walau tak sempurna, namun aku yakin, jika saja mereka memiliki sarana, pembimbing, dan segala hal lain yang memadai, kisah mereka tidak akan hanya berhenti di sini, sebagai penyanyi jalanan... Dewa, Gigi, Ungu, KangenBand, bahkan Didi Kempot, bisa jadi punya saingan baru!

Aku merasa beruntung, telah menumpangi bus AKAS + AC tarif biasa jurusan Surabaya - Banyuwangi siang itu. Walau akhirnya harus terpanggang dalam bus sekira satu jam lamanya di Porong, aku tak menyesal jika pertemuan dengan seniman jalanan itu yang harus membayarnya. Sosoknya terlihat jelas bukan dari suku Jawa. Rambutnya yang kriwil - kriwil ditambah kulitnya yang berwarna gelap (tentunya bukan karna terpanggang panasnya Surabaya), membuatku berkesimpulan sepertinya dia orang "timuran". Saat bus keluar dari terminal Bungurasih, pria berusia 30an itu baru naik. Senyum dan lakunya ramah, mencari dan memberikan ruang bagi penumpang yang belum mendapatkan kursi. Tak seperti seniman jalanan lainnya, ia baru mulai menyanyi saat suasana dalam bis benar - benar tenang. Tak ada yang mondar - mandir mencari kursi, ataupun asongan yang menjajakan makanan. Seakan dia benar - benar ingin didengarkan.

Sampai TOL Gempol, pria ini baru mengangkat suara. Sekali lagi bukan untuk menyanyi, bukan pula memberikan pembukaan untuk mengawali penampilannya. Inilah yang akhirnya mencuri simpatiku padanya. Dengan begitu sederhana, dia memberikan tausiyah ringan tentang hidup, dengan gayanya yang khas-menyelipkan gelak tawa di tengah perkataannya-, lalu akhirnya mengalunlah tembang2 lawas The Bee Gees. Usai lagunya yang pertama, tak serta merta dia melanjutkan ke lagu yang kedua. Sedikit dia bahas dan ulas tentang lagu dan penyanyinya, lalu kembali memberikan tausiyah2 ringan.
Aku yakin, tak hanya aku yang dibuatnya kagum siang itu. Kulihat ekspresi dan antusias penumpang lain yang jadi begitu tenang dan menikmati perjalanan. Istighfar-nya Opick, mengalun indah dan menjadi lagu terakhir yang dibawakan seniman jalanan itu. Sambil memejamkan mata, tak terasa bibir ini ikut melantunkan istighfar..

Ah... jika mengingat tausiyah2 nya tadi, hati kecilku berontak. Kenapa sosok yang di mataku terlihat bijak dan pintar ini, hanya menjadi seorang pengamen? Adakah dia menikmati hidup dan profesinya? Atau lagi - lagi,tentang fenomena terbentur kondisi dan keadaan? Apapun alasannya, kuyakini, pria yang sempat membuatku merenung beberapa saat ini, menjadi pintar dan bijak karena ia telah belajar pada guru dan sekolah yang abadi. Yang aku... bahkan mungkin kebanyakan orang sering lupa dan tak menyadarinya. Tentang sekolah yang tak akan pernah ada kata lulus hingga kita menjemput ajal, yakni kehidupan....

Lima ratus atau seribu rupiah yang biasa keluar dari saku, sepertinya tak pantas untukmu, mas....